Bagaimana masa depan demokrasi Indonesia, khususnya dalam pelaksaan Pilkada 2010? Bagaimana peran partai politik Islam dalam Pilkada dan berbagai kendala dalam demokrasi di Indonesia yang baru berjalan hampir satu dekade? Pewawancara CRCS, Hatib Abdul Kadir, menemui Priyambudi Sulistiyanto, salah seorang dosen di Flinders Asia Center, Flinders University, Australia. Kedatangan Priyambudi kali ini selain dalam masa liburan juga untuk mengisi bedah buku Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada) (2009), dimana ia menjadi editor bersama Maribeth Erb.
CRCS: Di kedua buku yang anda menjadi editor Regionalism in the Post Suharto (2005) dan Deepening Democracy (2009) nyaris tidak menceritakan kontestasi antara demokrasi dan syariah Islam yang sering didengung-dengungkan, bukankah salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh Negara paska kolonial Islam adalah kontestasi antara syariah Islam dan demokrasi?
Priyambudi: Untuk kontestasi antara demokrasi dan Islam, saya tidak bisa mengatakan banyak, karena di buku ini memang belum ada secara spesifik. Karena daerah-daerah yang memberlakukan Perda Syariah muncul setelah gelombang Pilkada pertama, tahun 2004. Karena saya punya keterbatasan waktu dan tidak tinggal di Indonesia, jadi sulit untuk mengawal proses perkembangan tersebut. Tapi Perda Syariah memang menarik, karena itu sangat dinamis, namun saya tidak punya data.
CRCS: Tulisan dalam buku terbaru anda juga sangat pesimistik dalam melihat masa depan demokrasi di Indonesia, bagaimana menurut anda?
Priyambudi: It is because mengingat waktu Pilkada tahun 2004 gelombang pertama banyak terjadi money politics, kecurangan Pilkada dan lain sebagainya. Tapi tugas akademisi kan memang begitu, harus selalu pesimistik. Karena memang dengan berpikir pesimis mendorong orang lain untuk melakukan studi lebih lanjut. Problem electoral demokrasi memang problem yang rumit di Asia Tenggara, karena kalau kita sudah nyoblos, seharusnya itu hanya tahap awal. Setelahnya masyarakat harus terus mengawal demokrasi prosedural. Jadi setelah orang terpilih menang, tugas warga tidak selesai, baik melalui radio komunitas, membuat paguyuban, mobilisasi massa, dalam konsep pembangunan daerah, bukan berdasarkan suka atau tidak suka.
CRCS: Apa yang membedakan antara Pilkada tahap pertama tahun 2004/2005, dan tahun Pilkada kedua tahun 2010/2011 ini?
Priyambudi: Saya kira Pilkada pertama itu masih baru, jadi ada hal-hal yang tak terduga, misalnya, koalisi partai di tingkatan wilayah lain-lain tidak selalu menggambarkan koalisi di tingkatan pusat. Partai politik juga belum mempunyai pola kepemimpinan, karena semua masih belajar. Menariknya, waktu itu banyak kandidat yang juga didukung oleh partai-partai kecil, tapi jumlahnya memenuhi syarat electoral threshold malah menang, seperti kasus di Banyuwangi. Juga, yang penting ada penyelesaian sengketa yang melibatkan mahkamah konstitusi, seperti kasus pemilihan gubernur Jawa Timur. Jadi banyak pelajaran yang bisa diambil dari Pilkada pertama. Pilkada kedua ini merupakan kelanjutan dari Pilkada pertama, hanya sekarang baik kandidat dan rakyat telah punya pengalaman, meski belum tentu membuat demokrasi di Indonesia lebih baik dan berkualitas. Tapi, semoga ke arah sana. Yang mengkhawatirkan adalah pemakain isu-isu yang bersifat keagamaan atau etnis, seperti di beberapa tempat di Kalimantan atau di Sulawesi. Namun secara umum Pilkada pertama dapat dikatakan sukses, di negara yang besar, dan melibatkan lebih dari 400 Pilkada itu termasuk prestasi. Semoga itu bisa ditingkatkan di Pilkada jilid dua ini.
CRCS: Bagaimana ide individualisasi dalam demokrasi, khususnya dalam praktik pemilu atau pilkada, dimana setiap individu mempunyai pilihan berbeda dengan yang lain bernegosiasi dengan keberadaan kolektif masyarakat, seperti klan, kekerabatan, keluarga, dan mode paguyuban lainnya?
Priyambudi: Ini memang butuh penelitian lagi, makanya saya mendorong teman-teman di Yogya ini untuk melakukan penelitian yang kemudian kita kumpulkan hasil riset tersebut, kemudian kita diskusi lagi. Fenomena demokrasi di sekitar kita ini menarik. Sebagai misal kandidat independen, kita harus tahu mereka, apakah tokoh masyarakat yang benar, petualang, atau preman. Kalau tidak nanti akan hilang lagi, memori kita kan cepat hilang. Tapi yang jelas, jenjang individualitas dalam demokrasi dengan kolektivitas masyarakat harus diisi dengan penguatan warga yang aktif atau active citizenship.
CRCS: Bagaimana peran-peran pemimpin ortodoks, seperti Kyai, Sultan dalam menghadapi mode demokrasi pilihan langsung seperti sekarang ini?
Priyambudi: Munculnya kekuatan lama, yang saya sebut dalam tulisan saya dalam buku terbaru ini sebagai “orang-orang Keraton� karena dulu ketika perang kemerdekaan, basis-basis keraton dan bangsawan priyayi di daerah-daerah dihancurkan oleh revolusi sosial, seperti daerah di Sumatera Utara, Kalimantan dan Pantura Jawa. Tokoh-tokoh lokal ini hilang karena proses revolusi sosial. Yang lebih menarik lagi, mereka mencoba eksis dalam demokrasi prosedural. Tapi susah mereka membangkitkan sentimen lama, karena orang semakin cerdas. Meskipun datang dari keluarga ningrat, kalo tidak kredibel, ya tidak akan terpilih. Kalau hanya mengandalkan nostalgia lama belum tentu pemilih untuk menunjuknya sebagai pemimpin. Saya mendorong teman-teman di Jogja, Solo, Cirebon dan Maluku Utara untuk melakukan studi tersebut. Mengenai kemungkinan pemain-pemain lama menggunakan simbol-simbol lama apakah hal tersebut efektif atau tidak?
CRCS: Sekarang juga muncul kalangan enterpreneur yang mencoba menjadi pemimpin lokal melalui proses Pilkada, apakah ini juga kabar baik untuk demokrasi kita?
Priyambudi: Dalam demokrasi memberikan ruang dimana setiap orang bisa berpartisipasi, terlepas dari latar belakangnya, baik purnawirawan TNI atau bekas preman, termasuk pengusaha, tidak ada pembatasan. Menariknya adalah bila saudagar tersebut menggunakan uang untuk memobilisasi masa, partai politik dan suara dengan jalan yang tidak demokrastis. Berbagai Negara di Asia Tenggara ada semacam fenomena seperti itu. Di Filipina itu kan orang-orang kaya dan tuan tanah menguasai perkebunan besar di daerah-daerah, yang disebut oleh John Sidel sebagai bos di daerah tersebut. Tapi memang sejarahnya mereka dulu ketika koloni Spanyol, orang-orang kuat tersebut muncul dan terus dikawal hingga pendudukan Amerika sebagai bentuk politik lokal di Filipina. Jadi sejarah bos lokal di Filipina itu sudah ratusan tahun dan mengakar secara kuat. Ini seperti tercermin dalam nama-nama keluarga seperti Aquino. Ini identifikasi dengan orang kuat di daerah. Di Indonesia proses seperti itu tidak ada. Pertanyaannya apakah Pilkada ini akan menghasilkan orang-orang kuat? Kita perlu studi lebih lanjut. Tapi yang jelas ada dua model pengusaha di Indonesia, yang pertama adalah yang telah mendapatkan proyek sejak dari jaman Soeharto, seperti Bakri dan Kalla. Kemudian kedua adalah pengusaha yang memang sukses di daerah, meski kadang mendapatkan bantuan dari pemerintah lokal. Pengusaha ini biasanya baru berkembang pada tahun 1990 an keatas, dimana ada proses kapitalisasi di tingkat lokal, seperti bisnis retail, property dan komunikasi. Jadi kita tidak perlu khawatir, meski banyak saudagar yang masuk politik.
CRCS: Bagaimana dengan wajah demokrasi Indonesia seiring munculnya gerakan quasi organisasi di Indonesia pada saat ini, seperti munculnya paramiliter Islam, gangster Islam, yang bergerak mendukung partai-partai politik tertentu?
Priyambudi: Pemakain gangster atau preman, menurut saya ini yang paling menakutkan. Premanisasi ini semakin kuat dan dimanipulasi oleh kandidat-kandidat yang menggunakan kekuatan dan gaya preman tersebut. Tugas kita sebagai akademisi adalah mengingatkan dengan kajian-kajian, tapi itu tidak kuat jika masyarakat sendiri masih mau juga dipakai oleh metode premanisme tersebut. Saya lebih memilih untuk menggunakan pintu budaya, sebagai jalan dimana warga yang aktif (active citizenship) bisa bersuara, tanpa mengenal perbedaan agama. Mereka bertemu di situs-situs kebudayaan tersebut, bisa melalui wayang, kethoprak, campursari misalnya. Ini adalah penguatan demokrasi melalui konteks budaya yang ada gunanya dan belum dimaksimalkan, melainkan hanya sebagai pengumpul suara.
CRCS: Lantas mengenai isu agama, bagaimana anda melihat Pilkada kali ini terhadap perkembangan partai-partai agama dan isu-isu agama yang dimunculkan?
Priyambudi: Sekali lagi ini butuh riset, seperti wilayah-wilayah yang menerapkan Perda Syariah di Tasikmalaya, Tangerang, Bulukumba, apakah itu refleksi dari masyarakat? Apakah ini memang keinginan masyarakat atau justru mempersulit rakyat, karena minoritas merasa tidak aman. Kita hidup di negara ini posisinya sama di mata negara, seperti yang tersampaikan dalam pasal 28 itu. Karena waktu Pilkada kan tidak ada kampanye syariah, baru ketika seorang pemimpin berkuasa meresmikan perda syariah. Untungnya, Perda ini juga sudah direview, karena dalam sistem konstitusi kita yang tertinggi adalah perundang-undangan nasional. Jika Perda menentang terhadap undang-undang tertinggi memang harus ditinjau kembali dan kemudian tidak boleh berlaku.
CRCS: Apakah itu kemudian berimplikasi pada masa depan partai politik Islam ke depannya?
Priyambudi: Saya kira kekuatan partai politik Islam akan berkurang. Begini polanya sejak tahun 1955, kemudian fusi partai agama tahun 1974, kemudian Pemilu 2004 suaranya turun, kemudian pemilu 2009 suaranya turun lagi. Saya kira pemilih Indonesia itu akan ke partai-partai tengah yang merangkul seperti kebanyakan orang Indonesia, dan tidak terlalu ekstrim ke kanan. Data Pilkada menunjukkan bahwa banyak partai yang berada di tengah seperti PDI P, Golkar, PAN atau koalisi dengan berbagai partai itu yang beragam itu yang menang. Saya kira data statistik juga sudah menunjukkan itu. Jualan agama itu sekarang tidak laku, bukti empirisnya terbukti dari Pemilu 1999, 2004, dan 2009 itu sudah jelas. Sekarang ini orang cenderung memilih pada figur, kalaupun ia didukung oleh tokoh Islam, kalau dia figurnya bagus, saya kira ia akan dipilih.
CRCS: Apa yang anda lihat sisi baik dari demokrasi yang telah kita jalankan selama hampir 10 tahun ini?
Priyambudi: Sisi baiknya adalah rakyat punya pilihan dan suara, walaupun itu masih dalam bentuk demokrasi prosedural, tapi itu sudah sebuah loncatan besar. Alangkah baiknya kalau setelah memilih, itu pemilih tetap mengawal, dengan ekspresi yang demokratis dalam berbagai sektor yang beragam. Konsep tentang warga negara yang aktif (active citizenship) itu perlu dibangun, karena konsep tersebut melibatkan semua orang, sedangkan konsep civil society itu kan sangat elitis. Berbicara politik bukan dalam kerangka lembaga formal di legislatif atau partai politik, tapi politik sebagai ekspresi sehari-hari atau everyday politics. Orang di warung, di pasar, itu juga perlu bicara politik yang bijaksana. Warga harus terlibat disana, khususnya dalam mengawal kandidat yang terpilih.
CRCS: Ok, terakhir, kira-kira sinyalir anda dalam pesta Pilkada 2010-2011 anda mensinyalir polarisasi model apa yang akan terjadi?
Priyambudi: Lebih ke siapa yang punya uang, dan siapa yang bisa mengorganisir massa. Bukan lagi masalah polarisasi agama dan etnik. Masyarakat sekarang sudah cerdas, tapi ketakutan saya juga masalah money politics dan premanisme. Karena untuk memobilisasi harus punya uang. Sekarang orang tidak mau diajak berkumpul tanpa uang, karena itu ekses dari politik uang yang selama ini muncul sejak demokrasi tahun 1999. Kedua, mencari tokoh masyarakat sebagai alat untuk mendapatkan suara dan sekaligus memancing uang dalam mencari dukungan. Jadi lebih kearah itu.
CRCS: Oke terima kasih
(HAK)