Belajar dari berbagai komunitas maupun akademisi perihal istilah dari berbagai masyarakat adat di Indonesia yang berkaitan dengan gender dan seksualitas, hal ini membuat saya penasaran: apakah istilah-istilah tersebut juga dapat berkembang ke skala nasional maupun dikenal secara internasional?
Wawancara
Tidak Cuma Saleh, Santri Juga Harus “Salih”:
Etika Lingkungan dalam Refleksi K.H. Habib Abdus Syakur
Bibi Suprianto – 3 Mei 2023
Pada tahun 2021, Indonesia tercatat sebagai negara produsen sampah plastik terbanyak keempat di dunia. Bahkan, menurut salah satu penelitian terkini yang dimuat di IOPscience, Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik yang dibuang ke laut terbesar ke-2 setelah Cina. Data-data tersebut makin menguatkan temuan Kementerian Kesehatan pada 2018 yang mencatat rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan kebersihan. Tentu saja ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Fakta ini membuat kita patut bertanya, apakah Islam tidak mengajarkan soal menjaga lingkungan dan alam? Ataukah kesadaran umat beragamanya yang kurang? Lalu langkah kongkrit apa yang bisa dilakukan?
Bincang Bersama Paul Knitter: Dialog Korelatif dan Dialog Antaragama (Bagian 2)
Vikry Reinaldo Paais – 1 Februari 2023
Jika di bagian sebelumnya kami berbincang tentang batas-batas dan peluang bentuk dialog antaragama, kali ini Paul Knitter masuk dan berefleksi lebih jauh tentang sejarah gelap antara kekristenan dan agama leluhur serta apa yang bisa kita lakukan terhadap hal itu. Lebih lanjut, Knitter berusaha membuka ruang dialog yang korelatif—baik sebagai umat Kristen yang berupaya mengabarkan kesaksian tentang Yesus, maupun sebagai pencari kebenaran sejati yang terus belajar dari tradisi agama atau kepercayaan lain.
Bincang Bersama Paul Knitter: Batasan dan Peluang Bentuk Dialog Antaragama (Bagian 1)
Vikry Reinaldo Paais – 31 Januari 2023
Di negeri yang berbineka seperti Indonesia, dialog antaragama seolah menjadi kata kunci untuk mendorong perdamaian dan mencegah ekses konflik keagamaan. Akan tetapi, dalam banyak kasus, dialog yang terjadi seringkali menjadi “forum obrolan” karena pesertanya menghindari pembicaraan tentang “isu keras” dalam perjumpaan antaragama. Tak jarang, dialog antaragama ini dilakukan antara dua kelompok yang sama-sama berlatar belakang inklusif sehingga pembahasan isu-isu sensitif—yang kerap menjadi pemicu konflik—kurang mendapat ruang. Di sisi lain, dialog agama memang bukanlah obat mujarab yang bisa mengatasi segala permasalahan keberagaman. Lantas, sejauh mana dialog antaragama efektif dilakukan? Apakah ada batasan dalam dialog antaragama? Apa yang bisa kita lakukan dengan batasan itu?
Hampir tidak mungkin untuk memiliki satu gambaran tunggal tentang model kebebasan beragama Eropa. Meningkatnya jumlah pemerintah Eropa yang menetapkan pembatasan agama adalah bukti bagaimana sekularisme gagal memfasilitasi hak untuk meyakini dan menjalankan agama seseorang.
Implementasi KBB yang lebih baik hanya dapat terjadi ketika lelaki berpartisipasi aktif bersama perempuan untuk mencari paradigma baru yang berpihak pada kesetaraan.