Saya pada akhirnya mewawancarai Tomas Lindgren, setelah ia melakukan studi lapangan untuk kedua kalinya di Ambon (2005 and 2009), di sebuah kafe di Yogyakarta. Pak Tomas mewawancarai orang-orang yang terlibat langsung dalam konflik dan beberapa akademisi lokal dalam melihat konflik di Ambon yang terjadi selama sekitar empat tahun (1999-2004). Ada banyak penemuan dan analisa penting yang disampaikan dalam wawancara ini
CRCS: Kali ini anda melakukan penelitian tentang apa?
Tomas: Saya tengah menulis sebuah buku tentang agama dan konflik, dan beberapa bagian di dalamnya berbicara tentang konflik di Maluku. Penelitian ini berfokus pada narasi masyarakat terhadap konflik agama, yang berdasar pada narasi tempat dimana mereka tinggal. Saya tengah mencoba mengilustrasikan konflik di Maluku tersebut
CRCS: Anda mengatakan kepada saya bahwa anda tengah melakukan riset narasi, namun sebagaimana anda ketahui, terkadang masyarakat bercerita tentang hal yang benar, tapi terkadang mereka juga berbohong mengenai konflik, kemudian bagaimana anda membedakannya dalam metode narasi tersebut?
Tomas: Ya, memang sulit melakukan itu. Tentunya tidak semua orang selalu berbicara benar. Jika kamu baca tulisan-tulisannya Victor Crapanzano, ia mencoba membedakan antara kebenaran sejarah dengan kebenaran naratif. Kadang-kadang orang berbicara hal bohong, tapi mereka percaya dengan terhadap apa yang mereka katakan. Saya percaya pada apa yang mereka narasikan. Terkadang, saya tidak percaya bawah narasi adalah kebenaran sejarah. Tapi terkadang mereka juga tidak berbohong, disinilah anda harus membedakan antara kebenaran sejarah dan kebenaran naratif. Kebenaran sejarah bisa jadi bahwa seseorang tersebut mempunyai pengalaman terhadap situasi tersebut, karena itu narasi adalah kebenaran, meskipun, saya berpikir bahwa ini bukanlah sebuah kebenaran sejarah.
CRCS: Pada beberapa hal, narasi bisa jadi sangat berbahaya, karena orang bisa bercerita pengalaman mereka dan menurunkan ke anak dan keturunannya. Narasi kemudian dapat menjadi sebuah stereotip dan bukankah itu bisa menjadi dendam berkelanjutan antara Muslim dan Kristen di Ambon?
Tomas: Hal ini memang bisa berbahaya, tapi narasi juga sangat penting untuk dianalisa, karena narasi mengkonstruksi tindakan kita, tingkah laku yang telah ternarasi sebelumnya. Kita hidup di dunia narasi, sebagai misal, kepercayaan saya adalah hasil dari sebuah narasi. Narasi adalah hal paling mendasar dalam hidup kita, karena kita tidak dapat berpikir apa yang terjadi kemarin jika tidak menggunakan narasi. Kita berbincang tentang permulaan hari, pertengahan dan akhir dari sebuah hari dan apa yang anda pikirkan, dan dunia menjadi lebih rumit karena adanya narasi. Dan yang saya lakukan sekarang sebagai seorang psikolog agama, saya ingin untuk melihat bagaimana mereka memahami dunia mereka dan cara mereka memahami tindakan-tindakannya.
CRCS: Apakah anda masih melihat segregasi di Kota Ambon?
Tomas: Sangat jelas, saya rasa sekarang menjadi lebih tersegregasi, bahkan sebelum konflik sudah tersegregasi, karena sebelum konflik orang Ambon punya wilayah Muslim dimana mereka menjadi mayoritas, anda wilayah dimana orang Kristen menjadi mayoritas. Kemudian selama konflik, keluarga minoritas Kristen berpindah ke wilayah dimana mereka menjadi bagian dari mayoritas, demikian pula minoritas Muslim juga berpindah ke wilayah dimana mereka dapat menjadi bagian dari mayoritas. Kemudian wilayah Muslim menjadi lebih Islami, dan wilayah Kristen juga menjadi sangat Kristen. Hal ini dapat memperburuk keadaan, tapi tidak juga bisa menciptakan konflik. Saya tidak yakin bahwa segregasi menyebabkan anda berkonflik, tapi hal tersebut sangat memudahkan orang untuk terprovokasi melakukan konflik. Karena itu saya berpikir adalah lebih baik jika masyarakat bercampur bersama.
CRCS: Menurut anda apakah untuk membangun perdamaian, masyarakat seharusnya mempunyai narasi general untuk melihat penyebab atau asal-usul konflik ini?
Tomas: Saya rasa adalah sangat penting untuk masyarakat mendengarkan masing-masing narasi. Masyarakat seharusnya saling tahun dan belajar narasi lainnya tentang konflik. Mungkin mereka akan sepakat pada narasi yang sama, tapi itu mungkin dimasa depan. Tapi yang harus kita akui adalah, masyarakat sendiri mempunya berbagai variasi dalam berbagai komunitas Muslim, dan saya kira akan ada juga variasi narasi pada berbagai komunitas Kristen tentang konflik ini. Hampir tidak mungkin menemukan kebenaran sejarah tentang konflik. Karena tidak ada yang tahu secara pasti berapa orang yang mati dalam konflik di Ambon, kapan konflik dimulai? Apakah benar konflik benar-benar telah selesai? Dan siapa aktor dibalik konflik ini. Ada berbagai narasi mengenai hal tersebut.
CRCS: Apa yang saya pelajari dari narasi ini adalah konflik agama tidak menjadi faktor utama penyebab konflik di Ambon ini, namun pada saat yang sama masyarakat melakukan peperangan berdasarkan nama Tuhan, masyarakat sangat mudah terprovokasi oleh isu agama. Bagaimana anda melihat posisi agama dalam konflik ini?
Tomas: Saya tidak percaya bahwa agama menyebabkan konflik. Selama melakukan wawancara di Ambon, masyarakat menarasikan bahwa konflik ini disebabkan oleh berbagai hal yang bersifat ekonomi dan politik. Namun konflik menjadi isu agama karena agama dilibatkan didalamnya, dan agama menjadian konflik sangat rumit, meskipun demikian agama bukanlah penyebab dari konflik itu. Sangat penting untuk diingat bahwa ada Muslim yang membunuh Kristen dan Kristen yang membunuh Muslim, tapi ini tidak berarti bahwa saya membunuh kamu karena kamu seorang Muslim. Hal ini bukanlah sebuah alasan utama. Sebagai misal, ketika saya bermain tenis, saya tidak bermain tenis karena saya seorang Kristen. Terkadang orang berkata bahwa agama menyebabkan konflik, dan agama adalah sebuah permasalahan. Saya tidak dapat mengatakan bahwa konflik secara terang-terangan dikarenakan oleh Muslim atau Kristen. Ada begitu banyak motif di dalam konflik, baik itu ekonomi, politik, agama dan sosial. Kita tidak bisa melihat bahwa agama menyebabkan konflik di Irlandia Utara atau di bekas Yugoslavia. Terlalu mudah untuk mengatakan demikian. Tapi saya juga tidak akan sepakat untuk mengatakan bawah agama tidak menciptakan konflik, karena agama itu sendiri tidak innocent. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa agama itu problematis, tapi bukan menjadi masalah itu sendiri.
CRCS: Mengapa masyarakat sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu agama?
Tomas: Jika anda melihat narasi, apa yang terjadi pada lebaran 19 Januari 1999, masyarakat Muslim menarasikan bahwa mereka usai melakukan sholat Ied yang tiba-tiba di serang di beberapa masjid. Kemudian gereja-gereja dan masjid-masjid dibakar. Banyak masyarakat bereaksi atas hal tersebut karena agama adalah komponen penting yang menjadi identitas di banyak masyarakat Indonesia. Hal ini juga karena Soeharto cenderung menciptakan dan menekankan agama hanya sebagai identitas. Muslim hanya sebagai identitas, Kristen sebagai identitas, Buddha sebagai identitas dan seterusnya. Identitas mereka terhubungkan erat dengan rumah-rumah agama. Identitas Muslim terhubungkan dengan masjid, dan identitas Kristen terhubungkan dengan gereja. Dengan demikian, kasus di Ambon adalah sebuah serangan terhadap identitas masing-masing.
CRCS: Apa perbedaan konflik di Ambon, jika anda bandingkan dengan konflik di Yugoslavia, Srilanka, atau di Thailand Selatan and Filipina?
Tomas: Ini sebuah pertanyaan yang agak susah, tapi hal menonjol yang sesungguhnya saya lihat dari konflik di Ambon, adalah hampir tidak mungkin menemukan seseorang yang mempunyai tujuan jelas dalam konflik di Maluku ini. Muslim hanya mempertahakan diri mereka, demikian juga orang-orang Kristen. Siapa yang berada dibalik konflik ini, saya belum tahu hingga sekarang. Di bekas negara-negara Yugoslavia misalnya, kita tahu mereka ingin menciptakan sebuah Negara Serbia yang lebih besar, mereka ingin menciptakan sesuatu, meskipun itu adalah sebuah ide yang mengerikan, dan mereka mempunyai pemimpin untuk menjalankan mimpi tersebut. Begitu pula kita dapat lihat konflik di Srilanka, mereka mempunyai klaim yang jelas untuk mendirikan sesuatu. Jika kita melihat konflik di Thailand Selatan kaum Muslim juga menginginkan sesuatu. Mereka mempunyai tujuan. Namun apa yang orang Maluku inginkan selama konflik? Apa tujuan konflik tersebut? Tidak ada yang tahu, demikian pula saya. Kedua komunitas ini merasa mereka sebagai korban. Ada keserupaan antara konflik di Maluku dengan konflik di Srilanka, mengacu pada apa yang saya sebut double minority complex. Di Maluku, orang-orang Muslim merasa terpinggirkan, meskipun mereka mayoritas di Republik Indonesian ini. Kristen juga merasa terpinggirkan di Ambon, namun saya rasa mereka juga mayoritas disana. Demikian pula, jika kita melihat Srilanka, orang Sinhalese menempati 80% dari total populasi, namun mereka merasa sebagai minoritas. Masyarakat Tamil merasa mereka adalah minoritas, namun jika anda menyeberang ke utara dari Asia Selatan, mereka adalah maoritas. Jadi ini adalah kasus yang cukup rumit. Kita juga menemukan banyak konflik dimana masyarakat merasa minoritas, meskipun sesungguhnya mereka adalah mayoritas.
CRCS: Apa kesimpulan sementara anda dalam penelitian kali ini?
Tomas: Pertama-tama, konflik ini adalah sangat kompleks. Sangatlah sulit untuk menemukan kenyataan dalam konflik ini, karena begitu banyak narasi yang disampaikan dari masyarakat yang terlibat konflik. Begitu banyak makna dalam melihat perbedaan pemahaman dalam konflik ini, baik dari sudut pandang Muslim dan Kristen. Untuk saat ini, saya memfokuskan penelitian pada perspektif Muslim mengenai konflik tersebut.
CRCS: Menurut anda apakah keberadaan laskar, apapun nama laskar tersebut, baik itu Laskar Jihad (LJ); Laskar Mujahiddin atau Laskar Kristus membuat situasi menjadi baik atau justru buruk?
Tomas: Untuk Muslim, keberadaan laskar-laskar tersebut sangat baik. Sebab saya menyadari bahwa selama penelitian saya di Ambon, Laskar Jihad benar-benar mempertahankan keberadaan kaum Muslim, dan tentunya LJ juga berkontribusi untuk juga meningkatkan eskalasi konflik ini, namun juga berkontribusi untuk masyarakat Muslim. Mereka mengirimkan dokter, guru yang mana sangat berarti untuk orang Islam. Ada juga banyak dimensi dalam konflik ini, karena tentara juga ikut terlibat didalamnya, demikian pula para preman. Dan juga ada aspek politik dan ekonomi di dalamnya. Kedatangan LJ banyak mengubah kehidupan sosial keberagamaan masyarakat Ambon, namun saya kurang yakin dengan beberapa laskar, apakah mereka cukup memberikan pengaruh atau tidak. Hingga saat ini saya belum yakin, karena keberadaan Laskar Kristus tidak sama dengan keberadaan LJ, karena LJ adalah sebuah kelompok yang konkrit, kuat sedangkan Laskar Kristus bukanlah sebuah kelompok yang kuat dan berkelanjutan.
CRCS: Menurut anda, apakah masa depan hubungan antara Kristen dan Muslim di Ambon akan menjadi lebih baik atau malah menjadi lebih buruk?
Tomas: Lebih baik, karena terkadang saya lihat bahwa masyarakat mencoba mau untuk bekerja demi perdamaian dan rekonsiliasi di Maluku. Karena itu, selama penelitian saya di Ambon, saya menjadi lebih teryakinkan bahwa konflik di Maluku lebih terhubungkan kepada kebudayaan dan sejarah yang unik dalam orang Maluku tersebut, yang mana didasarkan pada perbedaan desa-desa dan kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di sekitarnya, dengan demikian konflik bukanlah sebuah hal baru bagi orang Maluku. Dan menurut saya, keberadaan LJ di Ambon tidak akan membuat situasi menjadi lebih buruk karena mereka sesungguhnya sangat sedikit dan tidak merusak proses perdamaian yang tengah berlangsung di Ambon.
CRCS: Ok terima kasih sekali Pak Tom
Tomas Lindgren atau yang biasa dipanggil Pak Tomas adalah professor psikologi agama yang mengajar di Universitas Umeo, Swedia. Pak Tomas juga seorang dosen dan professor tamu di CRCS untuk beberapa semester.(HAK)