[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”13″]”Patrick Guiness adalah antropolog yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1970 an. Tulisan etnografinya yang paling mengesankan adalah “Five Families on Sand Diggers” (lima keluarga penggali pasir), bercerita mengenai kehidupan penggali pasir di Kali Code, Yogyakarta di tahun 1977. Tulisan bersifat life history inilah yang kemudian menjadi disertasinya dan menghantarkannya meraih gelar PhD. Patrick juga menulis tentang orang-orang gelandangan di Yogyakarta. Tak lama setelah itu, ia menerbitkan buku tentang ‘Kampung: Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung’ (1986). Buku ini sangat menaruh simpati dan pembelaan terhadap masyarakat Kampung Ledok, yang tinggal di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Keteguhan Patrick sebagai “antropolog sejati” yang membela rakyat kecil terus berlanjut dengan kembali ke Kampung Kali Code pada tahun 1999. Kali ini ia bermaksud melihat proses perubahan warga kampung Ledok pasca keruntuhan Orde Baru.”[/perfectpullquote][perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”13″]”Saya mewawancari Patrick Guiness secara singkat di sebuah workshop ‘Growing Up in Indonesian: Experience and Diversity in Youth Transitions’ di kampus Australian National University. Wawanca berlanjut pada sebuah peluncuran buku terbarunya ‘Kampung, State and Islam in Urban Java’ (2009) di Asian Book, Canberra. Di dua tempat ini, Patrick Guiness berbincang tentang penelitiannya di sebuah kampung bernama Ledok, bagaimana masyarakat di sana bernegosiasi dengan konsep ruang dan perubahan sejarah dalam merespon perubahan politik, ekonomi dan sosial secara lebih luas.”[/perfectpullquote]
CRCS: Apa perbedaan antara karya anda tentang kampung dengan karya-karya para sarjanawan lainnya yang juga mendiskusikan tentang kampung, seperti John Sullivan tentang sebuah kampung juga di Yogyakarta, Jellinek di Jakarta dan bahkan Clifford Geertz di sebuah kampung di Pare?
Patrick: Di bab pertama dari buku terbaru saya, saya banyak melakukan diskusi dengan para sarjanawan tersebut. Ada beberapa sarjanawan kunci dimana dua diantaranya adalah orang Australia yang menulis tentang sistem ketetanggaan masyarakat urban, pada waktu yang sama saya juga melakukan hal tersebut. Hal yang sangat menarik pula bahwa John Sullivan ada di kampung sebelah pada waktu itu, dan kami saling berkunjung dan berdiskusi tentang hal-hal yang mendetail. Hal ini merupakan hal yang paling menantang selama bertahun-tahun dalam pengalaman saya. Penelitian ini bukanlah sebuah kesimpulan, karena banyak hal atas apa yang mereka lihat, namun saya tidak melihatnya. Mungkin juga pada satu sisi saya yang benar dan mereka salah di sisi lain dan seterusnya. Hal ini menyadarkan saya bahwa kita bisa melihat sebuah fenomena yang sama, namun dilihat dari cara-cara yang berbeda. Kita juga dapat melakukan studi pada dua komunitas, di dua kampung dalam kota yang sama, namun realitas mereka bisa sangatlah berbeda. Di kasus-kasus seperti di atas inilah yang terjadi pada penulisan buku saya. Ada sebuah debat besar pada buku terbaru saya. Saya menemukan tantangan pada berbagai ide-ide para sarjanawan yang melihat komunitas ketetanggaan secara sederhana merupakan konstruksi dari negara. Mereka mengatakan bahwa komunitas kampung yang ditelitinya di tengah perkotaan adalah hasil dari sebuah pengaturan dari negara. Negara telah mengorganisir pada berbagai aspek kehidupan, khususnya sistem kesejahteraan, karena itu sebenarnya penduduk lokal hampir tidak dapat menciptakan kesejahteraan sosial mereka sendiri. Saya mendebat pendapat-pendapat ini di buku saya, karena saya tidak percaya bahwa komunitas kampung dalam kota tersebut, khususnya di wilayah yang saya teliti adalah sebuah komunitas yang menekankan kehidupan dan kesejahteraan dari dalam masyarakat itu sendiri.
CRCS: Bagaimana kondisi tentang anak muda di kampung Yogyakarta yang anda teliti tersebut?
Patrick: Mereka adalah kelompok yang sangat aktif, karena terlibat dalam beberapa kegiatan dan acara. Pada satu sisi keagamaan, mereka yang Katolik ikut aktif dalam kegiatan koor (paduan suara) dan mereka yang muslim terlibat aktif di kegiatan pengajian. Di kampung ini juga terdapat keterlibatan aktif anak muda dalam segala kegiatan.
CRCS: Apa peranan anak muda di kampung tersebut?
Patrick: Di kampung Ledok, ada seksi pemuda, dan RT/RW yang pada umumnya anak muda sendiri yang akan mengurus aktivitas organisasi-organisasi tersebut. Seksi Pemuda misalnya, didukung oleh beberapa komunitas lainnya. Masyarakat melihat bahwa pemuda adalah sebuah elemen penting dalam kehidupan komunitas kampung. Demikian pula, di awal-awal kedatangan saya, pemuda juga memainkan peranan dalam mengatur berbagai berita-berita mengenai komunitas dan kelas-kelas bahasa Inggris. Belakangan ini, mereka secara aktif juga terlibat dalam menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan. Mereka juga aktif dalam kegiatan pos ronda. Anak muda menjadi tonggak sekuriti di wilayah ketetanggaan mereka. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh pemuda, namun juga oleh anak-anak muda yang telah menikah.
CRCS: Bagaimana anak-anak muda ini bernegosiasi dengan anak muda kampung yang relijius, bahkan fundamentalis?
Patrick: Ini adalah aspek yang sangat penting, karena di tahun 1970 an ketika saya masih baru berada disana, anak-anak muda yang bergerak di dunia spiritual melakukan meditasi di samping sungai dan menganggap dirinya dimasuki oleh roh-roh penuh kekuatan. Namun di masa kini, ada aktivitas yang sangat kuat dengan melibatkan sejumlah beberapa pemuda di terlibat di berbagai kegiatan di masjid-masjid kecamatan. Karena ketika pertama kali saya datang, ada banyak anak muda yang berdoa di masjid yang masih jarang, namun saya tidak yakin kalau mereka juga melakukannya di rumah. Dengan demikian, aktivitas anak muda Muslim di kampung berkembang sangatlah pesat. Kebanyakan dari aktivitas keagamaan ini dipimpin oleh orang yang berasal dari luar kampung. Mereka juga menjadikan anak-anak muda ini murid dengan menawarkan tempat kos gratis untuk menjalankan aktivitas-aktivitas ke-Islaman, namun rata-rata para remaja-nya (adolescence) tidak tertarik dengan kegiatan ini. Kebanyakan yang lebih terlibat dalam aktivitas keagamaan adalah anak-anak dan ibu-ibu, dibanding anak-anak muda yang seperti saya sebutkan diatas. Mereka juga tidak punya aktivitas pengajian yang rutin dan mereka tidak tertarik dengan dunia semacam itu.
CRCS: Bagaimana anda melihat anak-anak muda ini bernegosiasi dengan isu-isu kependudukan? Karena kebanyakan dari penduduk di kampung semacam Ledok ini, mempunyai rumah, tapi tidak mempunyai tanah?
Patrick: Banyak penduduk yang tinggal tidak di tanah mereka sendiri, banyak diantara mereka yang menyewa, dan mereka akan meninggalkannya pada suatu waktu dan menggali tanah lainnya untuk mendirikan rumah kembali, namun hal ini tidak menjadi mengganggu isu kependudukan antar warga kampung. Karena siapa saja yang tinggal di kampung adalah warga anggota masyarakat Kampung. Dan semua aktivitas kampung yang besar juga melibatkan anak muda seperti kegiatan arisan, simpan pinjam dan berbagai aktivitas lainnya. Dengan demikian, isu mengenai kependudukan bukanlah isu besar. Isu kependudukan yang paling utama pada awal kedatangan orang-orang kampung ini adalah mereka yang tinggal di seberang sungai dan orang-orang yang tidak mempunyai tanah dan permasalahan demarkasi teritori kampung. Warga kampung ini tidak didemarkasikan ke dalam bagian dari kecamatan secara legal.
CRCS: Ok terima kasih banyak Pak Patrick
Hingga kini Patrick Guiness aktif sebagai pengajar di jurusan Antropologi, Australian National University, Canberra. Pada tahun 1980-an, Patrick pernah mengajar di jurusan antropologi UGM selama 3 tahun dan menjadi staf PSKK (Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan)-UGM. (HAK)