Prof. Makoto Koike saat membangun Uma Ratu (blogspot.com) |
“Nama Sumbanya adalah Umbu Haharu,” kata seorang laki-laki dari desa Wunga, Sumba Timur. Nama Sumba tersebut diberikan kepada Prof. Makoto Koike ketika ia memulai penelitian doktornya di Sumba Timur. Penelitian etnografinya (Desember 1985 – Juni 1988) berusaha untuk melihat dan memahami budaya dari masyarakat desa Wunga, terutama terkait dengan mitos, aturan kawin-mawin, dan aktifitas-aktifitas religiusnya. “Wunga adalah kampung pertama di Sumba, bernuansa mitos, jadi menarik juga”, ujar Antropolog asli Jepang ini.
Dalam wawancara yang dilakukan CRCS bersamanya di Hotel Elvin, Sumba Timur, Makoto mengatakan bahwa ia memilih Sumba karena ia pada awalnya memang sudah tertarik dengan Kawasan Timur Indonesia, terutama sejak ia menulis tesis (studi kepustakaan) untuk gelar masternya di Universitas Tokyo Metropolitan. Ketika ia melanjutkan studinya untuk jenjang doktor pada universitas yang sama, ia berhasil mewujudkan mimpinya menginjak Indonesia, terutama Kawasan Timurnya. “Pada waktu itu saya sudah berkeliling Flores, Toraja, Timor, sampai Habemanuk, tapi mereka sudah banyak yang Kristen. Saya lihat Sumba Timur yang masih punya budaya aslinya” ujar dosen pada Universitas St Andrew ini. Ia juga bertemu pertama kali dengan istrinya , Naoko, perempuan Jepang kelahiran Hiroshima, di pulau ini. Saat itu Makoto sedang melakukan penelitian, sedangkan sang Istri sedang melakukan perjalanan wisata ke Sumba.
Ketika Raja Wunga masih hidup, Makoto sering mengikuti Raja, terutama terkait dengan tradisi-tradisi mereka. Makoto berkata “waktu itu setiap Umbu Tobu (sang Raja) kemana saya ikut. Waktu ke Mamboro saya ikut untuk minta hewan untuk jadi korban.” Menurut Makoto, pengaruh dari Raja di Sumba ini dilihat dari berapa banyak orang yang ia punya melalui kawin-mawin yang ia bantu melalui hewan yang Raja berikan untuk belis. Raja diakui dari jumlah hewan yang dimilikinya. Meskipun demikian, dalam beberapa buku sejarah tentang Sumba, Raja Wunga tidak dituliskan sebagai Raja, hanya sebagai kepala Kampung.
Dalam mangajingu bakulu (sembahyang besar masyarakat Wunga setiap 8 tahun) yang ia ikuti pada tahun 1986, ia melihat kira-kira 50 ekor babi dikorbankan dan berbagai kelengkapannya dikumpulkan dari masyarakat. Kebutuhan untuk sembahyang itu dapat dikumpulkan dari masyarakat sendiri dan alam sekitarnya. Namun pada saat ini, sumber atau kebutuhan tersebut sulit untuk ditemukan, sebagian dari mereka harus dibeli di pasar atau daerah-daerah lainnya.
Situasi itu terjadi karena ekologi mereka sudah berbeda saat ini, dan dipengaruhi juga beberapa faktor seperti kematian Raja dan dominasi penggunaan uang daripada pertukaran barang (barter). Sembahyang itu juga tidak berjalan lagi (terakhir pada tahun 1986), karena Uma Ratu (rumah pelaksanaan mangajingu bakulu) sudah rusak. Masyarakat hanya melakukan sembahyang lainnya di rumah-rumah mereka sendiri, tidak seperti mangajingu bakulu.
Kondisi rumah-rumah adat seperti Uma Ratu diatas mempengaruhi aktivitas sosial dan religius masyarakat. Rumah adat, khususnya di Praingu Wunga (Kampung Wunga), memiliki peran-peran pentingnya masing-masing. Jika salah satu perannya tidak berjalan dengan baik, maka aktifitas mereka secara umum terpengaruhi.
Hal inilah yang mendorong Makoto untuk menolong masyarakat Wunga membangun kembali beberapa rumah mereka yang sudah rusak. Ia menolong mereka karena alasan akses sumber dari ekologi mereka yang telah banyak hilang dan kesulitan ekonomi dari masyarakat Wunga. Makoto telah membantu mereka membangun kembali tiga rumah adat pada tahun 2008: Uma Makatemba, Uma Bakulul, Uma Rua. Saat ini ia masih berusaha menolong pembangunan rumah paling penting mereka, Uma Ratu.
Dalam menolong masyarakat Wunga untuk pembangunan rumah-rumah adatnya, Makoto mendapatkan dana dari Takenaka Carpentry Tools Museum (TCTM) dan fakultasnya (Fakultas Studi Internasional dan Ilmu Budaya) di Universitas St Andrew, dan Museum Nasional Etnologi. Rumah-rumah itu akan dipamerkan di TCTM pada tahun 2010. Kedatangannya kali ini untuk melihat proses pembangunan yang sedan berjalan, serta memberikan sebagian dari bantuan dana kepada masyarakat. Ironisnya, sejauh ini pemerintah belum memberikan bantuan. Mereka menyerahkan seluruhnya pada bantuan Jepang melalui Makoto.
Ketika ditanya mengenai usahanya untuk pelestarian kepercayaan Marapu melalui pembangunan rumah-rumah itu, Makoto pesimis bahwa Marapu akan terus eksis. Makoto mengatakan “Nanti semua orang sumba itu masuk Kristen, dan berpendidikan tinggi itu masuk Kristen”. Baginya, hal ini dikarenakan tidak adanya usaha dari masyarakat atau pemerintah lokal untuk berjuang demi eksistensi Marapu sebagai agama lokal. Menurut Makoto kondisi ini berbeda dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, seperti Kaharingan di Kalimantan yang masih diperjuangkan. “Harapan saya itu, jangan pinggirkan budaya itu sendiri. Kalau ada rumah adat saja, tapi tidak ada sembahyang, berarti hanya secara material ada rumah adat. Tapi itu tidak ada artinya,” tegas Makoto.
Bagi laki-laki yang telah berusia 53 tahun ini, kenyataan bahwa orang Sumba mengalami perkembangan adalah tidak dapat dihindari. Generasi muda sudah mendapatkan pendidikan tinggi, itu berarti mereka sudah menjadi Kristen. “Tapi, untuk masyarakat Sumba, ya ok lah itu, yang penting pendidikannya. Tapi, ya, budaya juga, ya. Itu susah juga,” ujar Makoto dengan intonasi berwarna dilema. Menutup wawancara ini, Makoto mengatakan bahwa ia akan menerjemahkan disertasinya dari bahasa Jepang kedalam bahasa Indonesia. Ia juga akan mengunjungi Wunga beberapa kali untuk pembangunan rumah tersebut. Ia mengumpulkan data mengenai proses pembangunan itu. “Data itu akan dijadikan DVD, multimedia, bagaimana membangun rumahnya. Membangun rumah itu secara material, secara sosial, secara agama atau ritualnya,” ujarnya dengan tersenyum. Ia meminta seorang laki-laki lokal untuk mendokumentasikan prosesnya ketika ia sedang tidak berada di Sumba. (JMI)
Hallo prof,
Saya cece dari Umbu Pulu Paremadjangga,
Manjali Tanarara lewa