RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Mengapa Dipermasalahkan?
Afifurrochman Sya’rani – 12 Feb 2019
Polemik tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menunjukkan bagaimana gender dan seksualitas dalam kaitannya dengan moralitas keagamaan dikontestasikan dalam ruang publik Indonesia mutakhir.
Berdasarkan naskah akademik RUU PKS tahun 2017, RUU ini bertumpu pada alasan semakin banyaknya korban dan berkembangnya bentuk-bentuk kekerasan seksual di Indonesia, sementara “sistem hukum yang berlaku belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memulihkan, dan memberdayakan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual”. Misalnya, KUHP belum mengakomodasi jenis kekerasan seksual seperti pelecehan dan eksploitasi seksual. Selain itu, belum ada mekanisme hukum yang mempertimbangkan perspektif pengalaman dan perlindungan bagi korban.
Kendati demikian, RUU ini masih menuai pro dan kontra. Mengapa?
Jika ditelusuri hingga ke akar perdebatannya, polemik tentang RUU PKS ini berhulu pada perbedaan paradigma atau cara pandang terhadap RUU tersebut. Di sinilah titik persisnya argumen para penentang RUU PKS. Perbedaan paradigmatik ini berimplikasi pada berbedanya cara pandang dalam melihat akar masalah, definisi, dan bentuk-bentuk dari kekerasan seksual.
Dua perspektif
Secara garis besar, polemik RUU PKS disebabkan karena pertentangan dua perspektif, yaitu perspektif gender dan perspektif moralitas agama. Pendukung RUU PKS cenderung menggunakan perspektif pertama, sementara penentang RUU PKS cenderung menggunakan perspektif kedua.
Dalam naskah akademik RUU PKS, eksplisit disebutkan bahwa perumusan RUU tersebut menggunakan perspektif feminis, lebih persisnya teori hukum yang berperspektif perempuan (feminist legal theory). Nilai penting dari perspektif ini ialah penekanannya pada pengalaman korban, khususnya perempuan, untuk mengidentifikasi akar masalah, pencegahan, dan penanganan kekerasan seksual. Pengakuan kuat terhadap pengalaman korban merupakan satu hal signifikan yang baru dalam RUU ini.
Dalam perspektif feminis ini, akar permasalahan kekerasan seksual ialah adanya ketimpangan relasi kuasa atau gender yang dikonstruksi dalam struktur sosial, agama, budaya, ekonomi, dan politik yang patriarkis. Akibatnya, perempuan sebagai individu yang mengalami kekerasan seksual tidak punya kuasa untuk memberikan perlawanan dalam upaya mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, kekerasan seksual bukan hanya semata tindak kesusilaan menurut suatu norma budaya atau agama, melainkan juga suatu tindak kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Justru pandangan moral tertentu kadang bisa menghambat penanganan kekerasan seksual, misalnya ketika perempuan justru mendapatkan stigma negatif sebagai aib keluarga, yang kemudian malah berujung pada menyalahkan korban (victim blaming).
Di sisi yang berseberangan, kelompok yang menggunakan perspektif moralitas agama menganggap RUU PKS menafikan norma agama karena menggunakan perspektif feminis yang sekuler dan berasal dari Barat. Menurut kelompok ini, suatu tindak kejahatan tidak bisa dipisahkan dari normanya. Bagi mereka, akar masalah dari kekerasan seksual bukanlah timpangnya relasi gender, tetapi tak berfungsinya lembaga keluarga, sehingga bentuk penyelesaiannya harus kembali pada norma agama dan refungsionalisasi keluarga.
Perbedaan perspektif ini berimplikasi pada polemik tentang definisi dan bentuk-bentuk “kekerasan seksual”. Kelompok penentang berpendapat bahwa definisi “kekerasan seksual” di RUU PKS tidak tepat karena menyiratkan adanya keterpaksaan dalam tindakannya. Dalam pandangan kelompok ini, persoalannya bukanlah adanya keterpaksaan atau persetujuan (consent), melainkan karena status tindakan itu memang diharamkan oleh agama. Karena itu, mereka mengusulkan istilah “kejahatan seksual” sebagai ganti dari “kekerasan seksual”. Definisi istilah yang pertama mereka pandang lebih sesuai dengan norma agama, dan dengan dasar ini prostitusi, zina, aborsi, dan praktik homoseksual merupakan kejahatan (berdasarkan norma agama) yang harus dilarang seluruhnya, bukan karena landasan adanya persetujuan atau tidak.
Merespons pandangan ini, kelompok berperspektif gender berpendapat bahwa definisi “kekerasan seksual” lebih tepat daripada “kejahatan seksual”. Bagi mereka, timpangnya relasi kuasa adalah akar masalah gender. Ketimpangan ini dapat menyebabkan penyalahgunaan kuasa oleh pelaku sehingga membuatnya melakukan kekerasan dan paksaan terhadap korban. Dalam naskah akademik RUU PKS, definisi kekerasan seksual tidak menafikan bahwa kekerasan seksual juga merupakan tindak kejahatan.
Karena itu, dalam perspektif gender, akar masalahnya bukan pada disfungsionalisasi keluarga, karena kekerasan seksual bahkan juga terjadi dalam lingkup keluarga, melainkan pada kesewenang-wenangan kuasa yang digunakan untuk melakukan kekerasan seksual dalam relasi gender yang tidak setara.
Mungkinkah menjembatani polemik ini?
Tidak mudah merekonsiliasi perbedaan paradigmatik antara perspektif “gender-feminis” dan perspektif “moralitas agama” dalam menyikapi RUU PKS, terutama bagi orang yang cara pandangnya biner, yang membingkai polemik ini sebagai medan pertarungan tak terjembatani antara perspektif Islam versus perspektif sekuler.
Dialog tampaknya bisa dijembatani, meski tetap tak mudah, jika fokus cukup diarahkan pada penyelesaian masalah asalnya, sekalipun ia tak bisa memuaskan keinginan setiap pihak. Dalam hal ini, saya mengusulkan agar kita menghindari pembingkaian polemik ini dengan narasi yang tak selaras dengan tujuan asalnya (yakni penyelesaian problem kekerasan seksual) seperti narasi yang menyatakan bahwa RUU PKS pro-zina dan pro-LGBT. Meski dapat ditafsirkan secara a contrario (kebalikan), RUU PKS tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai melegalkan prostitusi dan LGBT. Sesuai namanya, tujuan utama RUU PKS, ya, adalah penghapusan kekerasan seksual.
Benar, RUU PKS tidak mengatur pelarangan pelacuran, zina, dan aborsi. Yang diatur ialah adanya unsur pemaksaan dalam praktik-praktik tersebut. Tetapi hal ini tidak serta merta bisa diartikan bahwa RUU PKS melegalkan/mengilegalkan praktik-praktik tersebut, di samping bahwa praktik-praktik ini memiliki regulasinya tersendiri dalam KUHP dan sejumlah undang-undang lain. Sekali lagi, ini karena RUU PKS memiliki perhatian yang berbeda dari hal-hal yang dipersepsikan bermasalah itu.
Di samping itu, mengatakan bahwa RUU PKS bertentangan dengan norma atau moralitas Islam dengan alasan bahwa unsur keterpaksaan atau persetujuan (consent) tidak dikenal dalam hukum Islam (fikih) tidaklah benar. Hina Azam dalam bukunya Sexual Violation in Islamic Law: Substance, Evidence, and Procedure (2015) menjelaskan bahwa diskursus fikih sangat mempertimbangkan adanya landasan persetujuan atau keterpaksaan dalam hal zina, tentu tanpa menafikan status keharaman tindakan ini.
Dalam argumen Azam, pelaksanaan syariat mensyaratkan konsep taklif (pembebanan hukum) yang bersifat individual. Setiap muslim yang mukallaf (yang dikenai kewajiban melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama) bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam hal agama karena ia memiliki kebebasan memilih (ikhtiyar) untuk melakukan atau tidak melakukan ajaran agama.
Konsep taklif ini memberikan signifikansi bagi adanya persetujuan atau keterpaksaan dalam hubungan seksual, yang halal maupun yang haram. Karena itu, ulama fikih membedakan dua jenis zina, yaitu zina yang didasari atas suka sama suka dan zina yang melibatkan paksaan (istikrāh, ightishāb). Pada zina jenis kedua ini korban tidak dianggap sebagai mukallaf dan hukuman zina hanya berlaku bagi pelaku. Unsur pemaksaan menyebabkan hilangnya kapasitas legal dalam diri korban pemerkosaan.
Dalam konteks RUU PKS, “al-istikrāh alaz-zina” dapat dimaknai sebagai pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan seterusnya. Bentuk pemaksaannya pun juga bisa berkembang, mencakup modus-modus manipulatif dan eksploitatif yang pada intinya menyebabkan korban mengalami kekerasan seksual yang tidak dikehendakinya.
Dengan demikian, RUU PKS sebenarnya tidak bertentangan dengan norma dan moralitas Islam—sekali lagi tanpa menafikan status keharaman zina.
Karena itu, bagi para penentang RUU PKS, saya menawarkan untuk menyikapi RUU ini dengan meminjam adagium dari kaidah fikih: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (yang tidak bisa diraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya). Dengan kalimat lain, meski ia belum secara menyeluruh memuaskan aspirasi penegakan moral menurut ajaran Islam, hendaknya kita tidak mengabaikan urgensi RUU tersebut untuk memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban.
__________
Penulis, Afifurrochman Sya’rani, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017.
Kredit foto header: Jurnal Perempuan.