• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Memori Perang Bangsa Moro dalam Ekspresi Seni

Memori Perang Bangsa Moro dalam Ekspresi Seni

  • Berita Wednesday Forum
  • 22 December 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Mucha-Shim Quiling Arquiza

Kehadiran Moro National Liberation Front (MNLF) yang didirikan Nur Misuari pada tahun 1969 menghadirkan semangat baru bagi bangsa Moro dalam rangka perjuangan dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri. Bangsa Moro adalah sebutan bagi 13 suku yang mendiami Filipina bagian selatan (Pulau Mindanao, kepulauan Sulu, Palawan, Basilan dan beberapa pulau di sekitarnya). MNLF mengorganisasi perjuangan bersenjata melawan Pemerintah Filipina untuk keadilan ekonomi, dan pendirian negara sendiri.

 

Cap sebagai pemberontak telah membuat suatu bangsa bereaksi secara berbeda terhadap kekuatan yang menyudutkannya. Kebencian, frustasi, dan kebanggaan primordial berkelindan dalam memori kolektif yang disuntikkan dan diteruskan dari generasi ke generasi. Tidak saja dimanifestasikan dalam perlawanan fisik tapi juga disalurkan lewat visual art, graphic art dan oral narratives.

 

Perspektif inilah yang coba diangkat oleh Mucha-Shim Quiling Arquiza, kandidat doktor ICRS UGM-UIN Sunan Kalijaga-UKDW Yogyakarta dalam penelitiannya di SEPHIS (South Exchange Program for the Research of History of Social Change). Rabu siang, 21 Desember 2011 kemarin, Wednesday Forum menghadirkan Mucha sebagai pembicara dengan presentasi “Timpu Masa Aktibis: Social Narratives of Home, Selfhood, and Faith in Arts of Memory”.

 

Mucha menyebut nama Rameer Tawasil, seorang pelukis kenamaan kelahiran Sulu sebagai “suara lain” di tengah suara mainstream kekerasan yang terus diteriakan para politisi dan militan Moro. Pertempuran antara MNLF dengan tentara pemerintah Filipina pada tahun 1974 yang meluluhlantakan kota kelahirannya (Jolo) meninggalkan kesan begitu kuat dalam jiwa Rameer. Peperangan hanya menyisakan kepiluan dan tangisan. Lewat karya-karyanya, Rameer hendak membawa visi perdamaian untuk Mindanao.

 

Setelah itu, lulusan master komunikasi dari Ateneo de Manila University ini menayangkan sebuah foto graffiti bertintakan darah yang bertuliskan, ““In kami parrangsabil by Talib. Nagbaugbug kami sin hulah, bangsa iban agama” (We are ‘parrangsabil’ by Talib. We are defending the homeland, self-identity and faith – Islam) hasil potretan Neldy Jolo, seorang seniman dari Sulu. Graffiti darah ini dibuat saat kota Jolo hancur oleh bom Angkatan Bersenjata Filipina pada Februari 1974 dan konon ditulis oleh seorang muhajahiddin MNLF yang bernama Abdulyakin Mandangan. Berbeda dengan semangat “mengobati luka lama” yang diseru oleh Rameer, foto graffiti ini seolah menghadirkan kembali permusuhan dan pengenangan atas kebiadaban tentara pemerintah Filipina.

 

Untuk konteks ini, bisa dikatakan seni menjadi senjata simbolis melawan penindas. Memperlihatkan pembantaian dan dendam, serta menyuarakan restorasi keadilan dan harapan teologis (kemenangan bagi ‘kita’ dan Tuhan akan menghukum ‘mereka’ yang salah). Seni digiring dalam lanskap mental perjuangan masyarakat lewat narasi kepahlawanan dan kesyahidan sekaligus repertoar kebencian atas intimidasi “musuh”.

 

Selain lukisan dan graffiti, ekspresi masyarakat Sulu ditunjukkan lewat “nyanyian rakyat” seperti Do’dang – lelleng (Sama) yang mengisahkan rintihan seorang Ibu yang melihat anak dan suaminya menjadi korban perang, serta Lelleng – Tausug yang menggambarkan kepiluan para gadis dan anak yatim. Kedua nyanyian ini menginternalisasikan sentimen dari perspektif korban, orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam perang tetapi merasakan kepahitan karena kehilangan banyak hal. Mereka merasa muak, unsympathy terhadap perang, namun harus menerima itu semua sebagai nasib. Bergulat dengan kemiskinan, pelacuran, single-parents, janda, hilangnya tempat tinggal sebagai realitas kehidupan yang tak mampu ditolak.

 

Mengutip Gadamer, Mucha mengatakan, melalui aspek linguistik yang beroperasi dalam pemahaman dari proses mediasi terus-menerus yang ditularkan lewat tradisi, manusia menyadari keberadaannya dan melihat dunia lebih arif. Meskipun anak-anak muda di Sulu masih dibayang-bayangi balutan keyakinan “kemuliaan perang suci melawan musuh”, namun Mucha optimis kedamaian bisa diwujudkan di Filipina Selatan jika mereka terus diberikan penyadaran. “Anak-anak itu ingin mati syahid, tetap mereka sesungguhnya tidak mengerti dengan apa yang  mereka perjuangkan”, tutup Mucha. (ANG)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju