Agama di ranah publik memiliki dua fungsi, sebagai kritik sosial dan perangkat legitimasi. Namun kecenderungan di Indonesia, agama kehilangan fungsi pertama karena menitikberatkan pada fungsi kedua. Inilah poin utama yang diangkat Achmad Munjid dalam Wednesday Forum CRCS-ICRS, 26 Oktober 2011 dengan presentasi berjudul ‘The Role of Religion as Social Critique’ (Peran Agama sebagai Kritik Sosial).
Munjid, kandidat Ph. D. di Temple University, menggunakan terma ‘capital’ dan ‘power’ teori Pierre Bourdieu dan Louis Althusser untuk melihat kuasa agama dan kemampuannya mengolah kapital demi kepentingan sosial. Agama memainkan peran sebagai reservoir ingatan masyarakat seperti yang dikatakan Daniele Hervieu-Leger sehingga motivasi perjuangan sosial mampu diproduksi oleh agama.
Perkembangan masyarakat yang semakin “religious”, ternyata tidak berkorelasi positif dengan keberhasilan agama mengelola ingatan komunal demi kepentingan sosial. Agama malah sibuk dengan isu legitimasi, yang menurut Munjid telah menjauhkannya dari tujuan utama yaitu mengkritisi ketimpangan dan opresi dalam masyarakat. Padahal sejarah mencatat kisah para perintis agama baik Jesus, Muhammad maupun Confusius hadir di tengah-tengah masyarakatnya untuk melakukan fungsi itu meskipun menerima pengusiran, pengasingan bahkan pembunuhan.
Lebih jauh Munjid menyatakan bahwa kitab suci tidak dipahami monolitik melainkan melahirkan banyak tafsir. Sebagai contoh adalah hukum Islam, para ahli agama Islam berselisih pendapat dan saling berargumen meski menggunakan sumber referensi sama.
Salah satu peserta diskusi menanyakan pembagian peran antara kementerian Agama dengan berbagai lembaga agama yang eksis di masyarakat. Munjid menjawab bahwa kementerian agama masih dibutuhkan dalam pelaksanaan ‘aturan main’ namun tidak boleh mengintervensi urusan teologis masing-masing agama.
Mengomentari pernyataan Hans Kung, “Tidak akan ada perdamaian antar negara sebelum ada perdamaian antar agama” yang dikutip oleh seorang peserta, Munjid berpendapat bahwa ungkapan itu tidak berarti apa-apa jika sekedar pernyataan informatif yang pasif. Pesan Hans Kung itu harus ditempatkan sebagai pernyataan performatif yang mesti diperjuangkan. Perdamaian antar agama bisa diwujudkan melalui dialog antar agama dan dijadikan imajinasi sosiologis oleh setiap penganut agama-agama.
Kritik harus diarahkan kepada institusi agama atau orang yang melupakan pesan dasar agama; persamaan dan kebebasan. Agama memiliki misi luhur namun sering disalahgunakan, pungkas Munjid. [MoU]