• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Pesantren Waria: Alternatif Spiritual untuk Kaum Transgender

Pesantren Waria: Alternatif Spiritual untuk Kaum Transgender

  • Berita Wednesday Forum
  • 25 October 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

 

Seorang

Waria merupakan istilah yang popular di Indonesia untuk menyebut personal transgender, sosok laki-laki yang berperilaku menyerupai wanita (perempuan). Dalam konteks masyarakat Islam, waria dibelit oleh berbagai persoalan karena dalam Islam ada perbedaan yang jelas antara pria dan wanita, terutama dalam hal ibadah.

 

Menyikapi garis batas ini, beberapa waria di kota Yogyakarta mencoba melepaskan diri mereka dari belenggu fiqih baku Islam. Mereka berinisiatif mendirikan pesantren yang khusus diperuntukkan bagi waria dengan nama Pesantren Waria Senin-Kamis. Pesantren unik ini didirikan pada tahun 2008 oleh Maryani, (seorang waria) bersama Kyai Hamroli ingin menunjukkan bahwa waria punya hak untuk menjalani ibadah sesuai dengan agama yang mereka peluk (dalam konteks ini agama Islam).

 

Formulasi pesantren baru ini diangkat Dian Maya Safitri, alumni CRCS UGM pada kesempatan Wednesday Forum 28 September 2011 lalu dengan topik “Politics of Piety: Negotiating Islamic Religious Embodiment”. Fitri mengungkapkan bahwa seorang waria di Pesantren Senin-Kamis diberikan kebebasan untuk melakukan ritual-ritual Islam baik secara maskulin, feminin atau cara waria.

 

Fitri menggunakan teori Saba Mahmood untuk menjelaskan apa yang disebut sebagai embodiment (perwujudan), konstruksi tubuh dalam kegiatan ritual keagamaan. Para waria di Pesantren Senin-Kamis dibebaskan memakai sarung (pakaian khas Indonesia muslim laki-laki) atau mukena (pakaian untuk wanita) atau juga bisa mengambil niat untuk menjadi waria ketika menunaikan ibadah.

 

Dalam sesi diskusi, Endy Saputro (staf peneliti CRCS) mempertanyakan penggunaan istilah embodiment dalam kerangka teoretis penelitian konstruksi Islam karena Mahmood Saba tidak pernah menggunakan istilah Islamic embodiment tapi hanya menyebut agency and embodiment. Sementara itu, Bernard Adeney Risakotta (dosen CRCS-ICRS) mempertanyakan konsep indigenous gender di Indonesia dan menanyakan apakah kegiatan yang dilakukan oleh para waria di Pesantren Senin-Kamis benar-benar proses embodiment atau hanya proses pembuatan pilihan.

 

Merespon pertanyaan itu, Fitri mengatakan bahwa ia menyadari ada persoalan yang timbul dengan penggunaan istilah embodiment dan menyadari Saba Mahmood tidak pernah mengunakan istilah Islamic embodiment. Tapi karena subjek penelitiannya adalah tubuh, maka ia menilai embodiment adalah term paling representatif untuk elaborasi teoritis. Untuk konteks Indonesia, gender tidak pernah menjadi persoalan serius sebelum kedatangan Islam dan Kristen. Agama telah memaksa waria mempraktekkan apa yang disebut Tom Boellstorff sebagai ‘budaya dubbing’, menjadi seperti laki-laki atau perempuan.

 

Fitri menjelaskan, sebenarnya beberapa keluarga Muslim bisa menerima anak dengan kecenderungan “seksualitas unik”, tetapi tidak dapat menghindari dominasi hegemonik seksualitas yang dipahami oleh masyarakat umum. (MoU)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju