Salah satu alumni CRCS, Amanah Nurish, tampil pada Wednesday Forum CRCS-ICRS 27 April 2011, membawakan presentasi berjudul ‘Baha’ism in European Countries’. Amanah telah melakukan perjalanan ke beberapa Negara Eropa dalam rangka riset tentang kehidupan keagamaan komunitas Baha’i sebagai pengembangan lebih lanjut tesisnya, Baha’isme di Indonesia, ketika menyelesaikan M.A di CRCS UGM.
Dari pengalaman selama di Eropa itulah, Nurish menemukan bahwa Baha’isme sebagai agama Abrahamik baru lebih mendapat jaminan di Eropa ketimbang di Indonesia. Beberapa pemeluk Baha’i yang diwawancarai Nurish di Jerman dan Belanda mengatakan mereka dapat secara bebas mengamalkan agama. Berbeda dengan fakta yang ia temukan di Indonesia, tidak hanya sulit melaksanakan ibadah, bahkan tidak mendapatkan pengakuan dari Negara.
Di tanah kelahirannya, kaum Baha’i mendapat tekanan dari pemerintah Iran. Bagi institusi keagamaan di Iran, Baha’isme adalah sempalan dari agama-agama Abrahamik dan dianggap murtad (keluar dari Islam). Penolakan terhadap Baha’i juga terjadi di banyak negara Musilm, kecuali Turki yang menganut paham demokratik-sekularistik. Kaum Baha’i keturunan Timur Tengah lebih memilih pindah ke Eropa karena mereka dapat menemukan kebebasan beragama di sana.
Uraian pengantar Nurish ternyata mendapatkan respon dari banyak peserta diskusi. Pada sesi tanya-jawab ini, Nurish memberikan penjelasan lebih luas mengenai Baha’isme. Baha’i merupakan gabungan dan sinkretisme dari agama-agama Abrahamik. Di Indonesia kaum Baha’i merupakan mantan Muslim yang pernah mengalami represi politik dari Negara. Keputusan mereka beralih ke Baha’i dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap ajaran Islam sekaligus ketidakpuasan politis terhadap pemerintah. Mengomentari ungkapan ini, Dr. Wening Udasmoro dari ICRS, menyebutkan bahwa kasus masyarakat yang secara politis ditekan pemerintah kemudian berpindah ke agama tak resmi adalah kasus menarik. Nurish sepakat bahwa Baha’isme di Indonesia masih berjuang dalam wilayah religius maupun politis.
Dr. Mark Woodward, salah satu pengajar CRCS dari Arizona University, menilai bahwa kasus Baha’isme mirip dengan kasus Ahmadiyyah. Meski pada beberapa sisi, Baha’isme lebih beruntung.
Aksi represi terhadap Baha’isme oleh banyak negara Islam yang disampaikan oleh Nurish mendapat tanggapan kritis dari Abdul Hamid, seorang mahasiswa program fellowship ICRS dari Amerika Serikat. Menurutnya, tekanan terhadap Baha’isme di Iran maupun Arab Saudi tak dapat dijadikan contoh determinasi Islam. Dalam kasus ini, tekanan tidak berkait dengan “Islam” sebagai “value” namun lebih berhubungan dengan “penguasa” di negara itu.
Beberapa pertanyaan dan komentar lain juga muncul pada sesi diskusi. Di akhir presentasi, Nurish menjelaskan tentang keadaan kaum Baha’i Indonesia yang masih menghadapi masalah seputar pendidikan serta pencatatan sipil seperti akte kelahiran, pengurusan kartu penduduk, dan perkawinan. Namun belakangan ini, Pemerintah sudah mulai afirmatif dengan keberadaan komunitas Baha’i. Di Jawa Barat, regulasi untuk mencantumkan isian agama (terbatas pada 6 agama resmi di Indonesia) pada beberapa berkas resmi bagi pengaut Baha’i sudah mulai dihapuskan. [MoU]