Sejauh ini, dialog antariman yang diselenggarakan lembaga keagamaan, pendidikan, pemerintah maupun LSM identik dengan peran tokoh-tokoh senior. Akibatnya, peran generasi muda yang sesungguhnya potensial malah agak terabaikan dalam upaya pembangunan dialog tersebut. Tema revitalisasi peran generasi muda dalam dialog antariman inilah yang diangkat oleh pembicara Wednesday Forum CRCS-ICRS pada 08 desember 2010, Roma Ulinnuha, mahasiswa ICRS UGM.
Melalui judul “Promoting Youth in Religious Dialogue: Comparative Study of Youth Representation in Indonesia and in the United States”, Roma berusaha memaparkan bagaimana generasi muda mampu berperan aktif dalam usaha pembangunan dialog antariman. Studi kasus yang ia lakukan adalah seputar aktifitas yang dilakukan oleh organisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Indonesia dan Interfaith Youth-Core (IFYC) di Amerika Serikat.
GP Ansor adalah gerakan kepemudaan yang berafiliasi kepada organisasi Muslim tradisional Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Lebih spesifik, Roma mengangkat pengalaman GP Ansor cabang Magelang, Jawa Tengah, dalam mengelola dialog skala lokal. sementara itu IFYC adalah sebuah lembaga yang berpusat di Amerika Serikat yang mengelola dialog antariman di kalangan generasi muda skala global. Roma kemudian berlanjut membandingkan pengalaman dialog yang dikelola oleh keduanya.
Menurut pembicara yang juga pengajar di UIN Yogyakarta ini, GP Ansor sebagai representasi Indonesia masih sekedar bergerak di wilayah lokal dengan program dialog insidental dengan basis kultural. Ia masih bergantung pada peran para pemuka agama lokal. Sementara, IFYC telah mampu menyusun rencana dialog jangka panjang dan berskala global, dengan generasi mudia dunia sebagai elemen utamanya. Ia bergerak dengan basis informasi dan teknologi tanpa tergantung peran pemuka-pemuka agama.
Jumlah peserta diskusi Wednesday Forum yang terbilang sedikit saat itu, malah menjadikan sesi tanya jawab berjalan efektif. Joko Wicoyo, mahasiswa ICRS, yang bertindak sebagai moderator, juga mampu mengarahkan diskusi dengan baik. Pertanyaan yang pertama kali muncul dalam sesi itu adalah kemungkinan dan prosedur partisipasi generasi muda Indonesia dalam aktifitas IFYC. Pembicara kemudian membenarkan kemungkinan itu mengingat keberadaan IFYC yang bersifat terbuka.
Selanjutnya suhu diskusi semakin meningkat terkait pemilihan GP Ansor sebagai sampel dalam studi komparasi tersebut. Bagi Roma, lembaga ini dipilih karena memang merupakan generasi kepemudaan yang telah memiliki reputasi inklusif. Dalam kasus Magelang, GP Ansor telah berhasil mengorganisir dialog lokal, semisal pada Februari 2010 lalu di sebuah Kelenteng di Muntilan, dan pada April 2010 di sebuah seminari di Mertoyudan.
Diskusi kemudian menyinggung kondisi keagamaan di Magelang. Di daerah ini, Islam tradisional dengan label inklusif adalah kecenderungan dominan, sehingga memudahkan GP Ansor mengadakan dialog antariman. Para pemuka agama juga memiliki kapital spiritual, kultural, dan politik yang mapan. Keadaan yang belum tentu dapat ditemui di daerah lain. [MoU]