• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Generasi Muda sebagai Agen Dialog

Generasi Muda sebagai Agen Dialog

  • Berita Wednesday Forum
  • 21 December 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

wedfroumSejauh ini, dialog antariman yang diselenggarakan lembaga keagamaan, pendidikan, pemerintah maupun LSM identik dengan peran tokoh-tokoh senior. Akibatnya, peran generasi muda yang sesungguhnya potensial malah agak terabaikan dalam upaya pembangunan dialog tersebut. Tema revitalisasi peran generasi muda dalam dialog antariman inilah yang diangkat oleh pembicara Wednesday Forum CRCS-ICRS pada 08 desember 2010, Roma Ulinnuha, mahasiswa ICRS UGM.

Melalui judul “Promoting Youth in Religious Dialogue: Comparative Study of Youth Representation in Indonesia and in the United States”, Roma berusaha memaparkan bagaimana generasi muda mampu berperan aktif dalam usaha pembangunan dialog antariman. Studi kasus yang ia lakukan adalah seputar aktifitas yang dilakukan oleh organisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Indonesia dan Interfaith Youth-Core (IFYC) di Amerika Serikat.

GP Ansor adalah gerakan kepemudaan yang berafiliasi kepada organisasi Muslim tradisional Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama. Lebih spesifik, Roma mengangkat pengalaman GP Ansor cabang Magelang, Jawa Tengah, dalam mengelola dialog skala lokal. sementara itu IFYC adalah sebuah lembaga yang berpusat di Amerika Serikat yang mengelola dialog antariman di kalangan generasi muda skala global. Roma kemudian berlanjut membandingkan pengalaman dialog yang dikelola oleh keduanya.

Menurut pembicara yang juga pengajar di UIN Yogyakarta ini, GP Ansor sebagai representasi Indonesia masih sekedar bergerak di wilayah lokal dengan program dialog insidental dengan basis kultural. Ia masih bergantung pada peran para pemuka agama lokal. Sementara, IFYC telah mampu menyusun rencana dialog jangka panjang dan berskala global, dengan generasi mudia dunia sebagai elemen utamanya. Ia bergerak dengan basis informasi dan teknologi tanpa tergantung peran pemuka-pemuka agama.

Jumlah peserta diskusi Wednesday Forum yang terbilang sedikit saat itu, malah menjadikan sesi tanya jawab berjalan efektif. Joko Wicoyo, mahasiswa ICRS, yang bertindak sebagai moderator, juga mampu mengarahkan diskusi dengan baik. Pertanyaan yang pertama kali muncul dalam sesi itu adalah kemungkinan dan prosedur partisipasi generasi muda Indonesia dalam aktifitas IFYC. Pembicara kemudian membenarkan kemungkinan itu mengingat keberadaan IFYC yang bersifat terbuka.

Selanjutnya suhu diskusi semakin meningkat terkait pemilihan GP Ansor sebagai sampel dalam studi komparasi tersebut. Bagi Roma, lembaga ini dipilih karena memang merupakan generasi kepemudaan yang telah memiliki reputasi inklusif. Dalam kasus Magelang, GP Ansor telah berhasil mengorganisir dialog lokal, semisal pada Februari 2010 lalu di sebuah Kelenteng di Muntilan, dan pada April 2010 di sebuah seminari di Mertoyudan.

Diskusi kemudian menyinggung kondisi keagamaan di Magelang. Di daerah ini, Islam tradisional dengan label inklusif adalah kecenderungan dominan, sehingga memudahkan GP Ansor mengadakan dialog antariman. Para pemuka agama juga memiliki kapital spiritual, kultural, dan politik yang mapan. Keadaan yang belum tentu dapat ditemui di daerah lain. [MoU]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju