• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • " Sastrawan Perempuan, Seksualitas dan Agama"

" Sastrawan Perempuan, Seksualitas dan Agama"

  • Berita Wednesday Forum
  • 10 June 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Wednesday Forum pada tanggal 24 Februari 2010, disampaikan oleh Mita Chandria, mahasiswa PhD di ICRS-UGM. Sedangkan untuk moderator dalam forum ini adalah Mega Hidayati, yang juga mahasiswa PhD ICRS. Mitha mempresentasikan sekitar tiga novel yang ditulis oleh dua sastrawan perempuan, dengan judul presentasi “Perempuan Sastrawan, Seksualitas dan Agama”. Mitha melihat bahwa penulis perempuan kontemporer Ayu Utami dan Dee (Dewi Lestari) telah memicu pro-kontra-s dan s di kalangan kritikus sastra Indonesia karena mereka (perempuan) telah secara terbuka membahas seksualitas dalam novelnya. Banyak focus membahas mengenai diskusi tentang seksualitas dalam karya sastra perempuan namun telah mengabaikan sisi religius dalam novel-novel tersebut. Meskipun benar bahwa novel kedua perempuan ini kaya akan metafora seksual, Saman Ayu dan Bilangan fu, dan karya Dee Supernova sebenarnya penuh dengan penuh sentimen dan kritik tentang agama.

Dalam presentasinya Mitah berusaha untuk mengungkapkan sisi agama dalam novel Saman, Bilangan fu, dan Supernova. Wacana agama selama ini telah terisi dengan formalitas dan kemunafikan, dan telah mengabaikan moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Alih-alih membebaskan, agama telah diintimidasi dengan para pengikutnya yang lebih menekankan pada perdebatan doktrin yang benar dan salah, surga dan neraka. Klaim kebenaran agama membagi manusia ke dalam kelompoknya (yang setia, yang terselamatkan) dan kelompok luar (yang dikutuk, yang berdosa). Sementara itu, pertanyaan yang mendesak dialamatkan kepada agama, yaitu apa kontribusi agama kepada umat manusia, justru belum terjawab. Kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan dan terakhir adalah tantangan nyata, ketidaksetaraan gender untuk mengatasi kebutuhan agama. Dalam karya sastra, dua perempuan ini bukan hanya mengkritik seksualitas, namun juga mendiskusikan tentang perspektif-perspektif sempit penganut agama dalam melihat agama dan politik sehari-hari.

Pada sesi wawancara, banyak pertanyaan, masukan dan kritik yang ditujukan kepada Mitha, misalnya dari Mbak Jim, seorang mahasiswa lulusan pasca sarjana CRCS menanyakan mengapa memilih untuk Mitha hanya memilih penulis Non muslim saja, bukan dari muslim juga dalam melihat seksualitas. Karena tentunya hasilnya akan berbeda. Sementara Madyan, seorang mahasiswa ICRS bertanya bingkai teoritikal apa yang digunakan dalam melihat studi sastra, hal ini bertujuan agar kajiannya tidak terlalu luas dalam melihat seksualitas dan religiusitas, dan jenis pendekatan feminis apa yang dia digunakan untuk menjelaskan fenomena seksualitas dan religiusitas yang ditulis oleh sastra perempuan Indonesia. Beberapa audiens seperti Pak Djoko mahasiswa ICRS dan Amber, seorang guru bahasa dari ICRS juga mengkritik terhadap konsepsi-konsepsi yang dibangun oleh Mitha tentang religiusitas, seksualitas, vulgar, sensual, yang masih tidak jelas dan harus diuraikan kembali. Sesi wawancara dibuka tiga kali dan menerima banyak masukan dan pertanyaan. Presentasi yang menarik ini berakhir pada pukul 14:30.

Selain sebagai mahasiswa ICRS, Mita Chandria juga bekerja dalam beberapa penelitian seperti “analisis puisi Mustofa Bisri” dan ” relevansi teoritikal pada puisi Mustofa Bisri” dan banyak karyanya yang lain yang berkenaan dengan para sastrawan religius seperti Mustofa Bisris. Presentasi ini merupakan bagian dari tesis PhD awalnya yang akan ia kembangkan kemudian.

(HAK)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY