Membatasi Kebebasan Beragama di Masa Pandemi
A.A.A. Nanda Saraswati – 22 April 2020
Apakah negara boleh membatasi kebebasan menjalankan agama atau keyakinan (freedom to manifest religion or belief) atas nama memerangi penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) dalam hukum HAM internasional? Dan bila iya, sejauh mana?
Banyak negara menghadapi pertanyaan itu sebagai respons terhadap penyebaran virus yang oleh WHO telah dinyatakan sebagai pandemi global. Mengingat tingkat penyebarannya yang parah dan mengkhawatirkan, WHO telah menyeru setiap pemerintah untuk mengambil tindakan mendesak dan agresif. Sejak itu, beragam kebijakan yang membatasi hak-hak sipil diterapkan oleh banyak negara untuk mengendalikan penyebaran virus tersebut. Salah satu isu yang disorot dalam kaitannya dengan COVID-19 adalah pembatasan hak atas kebebasan untuk menjalankan agama atau keyakinan.
Ragam Praktik Pembatasan
Pembatasan praktik beragama dilakukan secara berbeda di beberapa negara. Uni Emirat Arab misalnya melarang anak-anak menghadiri kegiatan gereja dan membatasi waktu salat Jumat di masjid maksimal 15 menit dan salat Magrib maksimal 5 menit. Arab Saudi sempat menutup Masjidil Haram di Mekah pada awal Maret lalu dan kemudian membukanya kembali dengan beberapa pembatasan. Kegiatan ibadah haji untuk tahun ini juga mungkin dibatalkan. Beberapa negara di Eropa seperti Denmark, Jerman, dan Siprus juga memberlakukan pembatasan yang sangat ketat dengan menutup seluruh rumah ibadah. Italia melarang upacara keagamaan termasuk acara pemakaman. Penutupan sejumlah kuil juga dilakukan di India. Di negara bagian Kansas, Amerika Serikat, kebijakan yang membolehkan kegiatan peribadatan asalkan tidak melebihi 10 orang bahkan digugat hingga ke Mahkamah Agung. Khusus di Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.9 Tahun 2020 membatasi kegiatan keagamaan. Dalam hal ini praktik ibadah dilaksanakan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas dengan menjaga jarak. Semua pembatasan di atas pada intinya bertujuan untuk mencegah penyebaran virus.
Kebijakan pembatasan yang dilakukan banyak negara ini tidaklah sepi dari kontroversi. Sejumlah pihak yang menentang kebijakan pembatasan itu mengajukan pandangan antara lain bahwa kegiatan peribadatan sama pentingnya dengan akses ke kebutuhan dasar; bahwa menghadiri acara ibadah tidak lebih berisiko daripada mengunjungi tempat perbelanjaan; dan bahwa dalam pembatasan ada pelanggaran hak atas praktik beragama.
Alasan Kesehatan Publik
Berbeda dengan kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama (freedom of thought, conscience and to have or adopt religion) yang merupakan bagian dari forum internum yang tidak boleh diintervensi siapapun termasuk negara, kebebasan untuk menjalankan atau memanifestasikan agama atau keyakinan merupakan forum externum yang tidak bersifat absolut. Dalam hukum internasional (dan hukum nasional banyak negara), hak untuk menjalankan agama atau keyakinan (beserta beberapa hak sipil lainnya) dalam kondisi dan situasi tertentu dapat dibatasi oleh negara.
Salah satu instrumen HAM internasional yang memuat ketentuan tersebut adalah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh lebih dari 170 negara. Pasal 18 ayat (3) menyatakan kebebasan menjalankan agama atau keyakinan hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum yang diperlukan untuk melindungi “keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain”. Untuk mempersempitnya, Prinsip-Prinsip Siracusa tentang ketentuan pembatasan dan derogasi di ICCPR memuat dasar-dasar pembatasan secara lebih teliti dan dapat digunakan sebagai panduan untuk membantu menafsirkan dan menjawab keabsahan terkait pembatasan ini.
Pertama, ketentuan pembatasan harus berdasarkan hukum (prescribed by law). Artinya, pembatasan terhadap hak atas kebebasan menjalankan agama atau keyakinan harus diatur secara tertulis dan jelas dalam sebuah produk hukum nasional. Syarat ini juga memiliki unsur kualitatif dalam arti bahwa hukum tersebut harus memperhatikan batasan aturan hukum yang mendasar seperti prinsip non-retroaktif serta penegakannya tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
Kedua, pembatasan tersebut diperlukan (necessary). Kata kunci di sini adalah diperlukan atau adanya kebutuhan. Yurisprudensi internasional menunjukkan bahwa sebuah pembatasan dianggap diperlukan atau necessary bila: memiliki tujuan yang sah (legitimate aim); masuk akal, yaitu pembatasannya bersifat netral; dan proporsional, yaitu ada hubungan proporsionalitas yang masuk akal antara cara yang digunakan dan tujuan yang ingin direalisasikan. Dalam konteks COVID-19, pembatasan dianggap diperlukan untuk melindungi kepentingan negara yang sah, yaitu mencegah penyebaran COVID-19 sebagai suatu keadaan darurat atau krisis kesehatan. Kepentingan berupa kesehatan publik ini berhubungan dengan elemen berikutnya.
Ketiga, pembatasan hanya dapat dikenakan atas dasar yang sah yaitu untuk melindungi keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moralitas publik, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Terkait alasan kesehatan publik, Prinsip-Prinsip Siracusa memberikan tafsir bahwa kesehatan publik adalah langkah atau upaya yang berhubungan dengan ancaman serius terhadap kesehatan publik atau individu yang menjadi anggota sebuah masyarakat. Dalam hal ini kebijakan pembatasan harus secara spesifik ditujukan untuk mencegah penyakit atau untuk memberikan perawatan mereka yang sakit. Dengan demikian, dalam menghadapi pandemi global COVID-19, pembatasan negara terhadap pertemuan publik yang besar serta kebebasan bergerak, yang didorong oleh masalah kesehatan publik yang serius, sesungguhnya dapat dijustifikasi atas dasar melindungi kesehatan publik, meskipun pembatasan tersebut secara langsung berdampak pada hak seseorang atau sekelompok orang untuk berkumpul bersama untuk menjalankan agama atau keyakinan.
Sebagai syarat tambahan, hendaknya sebuah pembatasan baik yang diatur tertulis maupun dalam penerapannya tidak boleh diskriminatif. ICCPR juga melarang diskriminasi dan memberikan perlindungan yang sama dari diskriminasi atas dasar agama. Terkait hal ini, beberapa negara sedang disorot karena pemerintahnya dinilai gagal melindungi komunitas agama tertentu yang rentan. Keprihatinan juga didasarkan pada sejumah laporan dari kelompok-kelompok minoritas agama dari berbagai belahan dunia yang tengah menghadapi diskriminasi karena pandemic ini. Pemerintah Iran misalnya telah membebaskan lebih dari 70.000 tahanan untuk mencegah penyebaran COVID-19 tetapi masih menempatkan para tahanan dari kelompok minoritas agama di bangsal yang penuh sesak. Pemerintah Cina memaksa warga Uighur untuk bekerja di pabrik-pabrik di seluruh negeri sebagai kompensasi penurunan produksi selama karantina. Bahkan, ada laporan bahwa beberapa warga Uighur di kota Ghulja memiliki akses terbatas ke makanan dan pejabat setempat meminta pembayaran untuk membawa persediaan mereka. Di Korea Selatan, sekte keagamaan kecil yang dikenal sebagai Gereja Shincheonji melaporkan 4.000 kasus ketidakadilan terhadap jemaatnya sejak virus muncul, seperti pemutusan hubungan kerja, penindasan di tempat kerja, penganiayaan dalam rumah tangga, stigma dan fitnah. Gereja tersebut saat ini sedang menghadapi gugatan dari pemerintah lokal setempat karena dianggap sebagai penyebab utama penyebaran COVID-19.
Sebagai kesimpulan, pembatasan yang dilakukan negara terhadap kebebasan menjalankan agama dalam rangka menghadapi pandemi global COVID-19 sesungguhnya dapat dijustifikasi oleh hukum HAM internasional. Selama masa darurat seperti sekarang ini, negara boleh memberlakukan peraturan atau kebijakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan yang sah yaitu keselamatan publik, yang tentu sifatnya sementara. Namun demikian secara prinsip, pembatasan ini tidak boleh menjadi alat melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau etnis tertentu.
__________________
A.A.A. Nanda Saraswati adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya; peneliti di Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi FHUB; dan salah satu fellow CRCS UGM-FORB Initiative angkatan I (2019). Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Gambar header: Penyemprotan disinfektan di Masjid Istiqlal, Jakarta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)