Pembukaan Wednesday Forum untuk semester ini ditandai dengan presentasi dari Zainal Abidin Bagir yang juga direktur CRCS. Dalam forum yang dihadiri sekitar 30 peserta ini Zainal mempresentasikan “Evolution and Creation in the Muslim World: Ambiguities in the Moslem World”?. Argumentasi utama yang diajukan oleh Zainal adalah teori evolusi belumlah dianggap penting dalam agenda keagamaan di dunia, dan penentangan teori Darwin lebih ditekankan pada isu kreasionisme yang di dalam kitab suci sendiri masih bersifat ambigu. Zainal juga mengajukan argumentasi lainnya bahwa penafsiran terhadap anti evolusionisme sekarang juga bagian dari politik identitas masyarakat. Gerakan anti evolusionisme ini menyebar di berbagai negara dan di berbagai komunitas keagamaan Hindu, Yahudi dan Kristen di dunia, seperti di Amerika Latin, Eropa Utara, Australia, bahkan di Asia seperti India, Korea, Japan, Taiwan, Sri Lanka, dan Hongkong.
Anti darwinisme juga muncul di negara-negara mayoritas Islam, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan demikian gerakan anti evolusionisme telah mengglobal dengan latar belakang agama yang beragam. Referensi yang paling mencolok dan tegas menentang ide anti evolusionisme ini datang dari seorang anti Darwin dari Turki yakni Harun Yahya. Buku-buku Harun Yahya diterbitkan dalam tampilan yang mewah, dengan format bagus, kertas berkualias dan sampul yang menarik. Selain dalam bentuk bahasa Turki, buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, Ingris, Rusia, Perancis dan juga bahasa Indonesia. Bukan hanya dalam bentuk buku, namun pemikiran Harun Yahya ini juga dapat ditemukan di website-website berbahasa Indonesia, dan semua butir pemikirannya kemudian dikutip oleh berbagai media massa Islam di Indonesia. Selain itu, Zainal juga menunjukkan bahwa VCD-VCD Harun Yahya yang menyerang Darwinisme, Materialisme dan Marxisme juga terjual luas di samping jalan besar di berbagai kota di Indonesia. Persebaran ide Harun Yahya ini kemudian juga mempengaruhi pelajaran Biologi di kelas-kelas, di mana guru-guru sekolah menerima ide ini dan mengajarkannya dalam kelas.
Dalam pandangan Zainal munculnya penentangan terhadap evolusionisme ini bukan hanya terhadap terhadap kreasionisme semata, melainkan pula ide materialisme dan progresivitas evolusi yang diajukan oleh Darwin. Dan hampir semua komunitas penganut ide evolusionis adalah orang yang percaya dengan adanya linearitas sejarah dan rasionalitas pemikiran. Karena itu, penentangan terhadap evolusionisme bukan hanya permasalahan penafsiran agama, melainkan juga karena munculnya politik identitas antara kekuatan Barat dan Timur. Di samping itu, ide evolusionisme yang dibukukan oleh Darwin dalam karyanya Origins of Species, tahun 1859 merupakan wacana baru bagi mayoritas kaum Muslim sehingga belum mendapatkan tempat yang serius untuk diperbincangkan secara terbuka. Mengingat ide yang masih baru, maka tak heran jika dalam literatur tafsir Al Qur’an, berbagai penafsiran yang berbeda sering saling bertentangan dan ambigu dalam menanggapi ide kreasionisme.
Dalam sesi tanya jawab, Sita, seorang alumni CRCS, mengomentari berbagai ide Darwinisme yang sebenarnya juga digunakan sebagai alat pengesah kekuatan kolonialisme yang berasumsi bahwa Negara-negara jajahan berisi masyarakat yang belum melewati tahap evolusi secara linear dan maju seperti Negara-negara di Eropa, karena itu patut untuk dicerahkan dan dididik melalui sistem kolonialisme. Menanggapi hal tersebut Zainal mengatakan bahwa memang benar bahwa anti ide Darwinisme lebih disebabkan oleh politik identitas pada masyarakat. Hal ini dibuktikan olehnya dengan mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh Scott, Miller and Okamoto (2006) yang menunjukkan bahwa penolakan terhadap Darwinisme di Eropa dan Amerika kini melonjak dua kali lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini menunjukkan kuatnya adanya fundamentalisme, konservatisme dan kuatnya kepercayaan individu terhadap ide keTuhanan. Hal ini, untuk sementara, dapat disimpulkan bahwa ada sebuah relasi positif antara menjadi lebih relijius dengan melakukan penolakan terhadap teori evolusi. Dan kritik terhadap Darwinisme lebih dikarenakan oleh para penganut teori Darwinisme sosial yang kemudian menerapkannya dalam kolonialisme, fasisme, dan terakhir adalah terorisme.
Di samping itu, terdapat seorang mahasiswi Biologi yang mengatakan bahwa di jurusannya, Biologi UGM terdapat dua kubu, baik yang percaya terhadap teori evolusi dan yang tidak sepakat dengan teori tersebut. Karena itu tak heran jika mahasiswa juga dipandu dengan dua buku dari versi yang berbeda tersebut. Menanggapi hal ini Zainal mengatakan bahwa meski buku Darwin sangat rasional, namun di bagian lain, buku-buku Harun Yahya menampilkan dirinya dengan kesan mudah dicerna, penuh warna dan menarik. Banyak orang yang menentang teori evolusionisme lebih didasarkan pada politik identitas dan pembacaan terhadap Harun Yahya yang mengutip berbagai ayat-ayat Al-Quran. Para penentang teori evolusionisme tidak benar-benar tahu bagaimana pemikiran Darwin yang sesungguhnya, sehingga banyak terjadi misinterpretasi terhadap teori ini, karena asumsi yang sering dikemukakan dalam menolak teori Darwin adalah bagian dari refleksi terhadap relijiusitas agama. Dan di akhir diskusi ini Zainal mengatakan bahwa “Anda tetap bisa menjadi seorang Muslim atau Kristen yang baik meski menerima teori evolusi”?.
Presentasi ini merupakan bagian dari artikel yang tengah ditulis oleh Zainal dan akan diterbitkan dengan kerjasama sebuah lembaga di Australia mengenai respons dari beragam agama terhadap teori evolusionisme. Penulisan buku ini merupakan bagian dari perayaan 150 tahun buku Charles Darwin “The Origins of Species”.
(HAK)