Pemuda Jawa, Pesantren, dan Revolusi
Ronald Adam – 5 Januari 2021
Sebagian besar kajian sejarah revolusi Indonesia cenderung fokus pada peran elite politik nasional atau pengaruh peristiwa-peristiwa internasional. Kajian ini bisa dikategorikan dalam ‘penjelasan struktural’ mengenai munculnya kesadaran revolusioner. Penjelasan mengenai peran elite politik mengandaikan pengaruh ide-ide nasionalisme dari Barat, sedangkan narasi tentang determinasi peristiwa internasional mengasumsikan dimensi geopolitik global dalam menentukan kemerdekaan suatu negara.
Kedua penjelasan itu cenderung reduksionis—seolah-olah revolusi modern memiliki pola yang sama di setiap negara. Ini pada gilirannya juga mengabaikan konteks sosial politik yang khas dari suatu wilayah atau rentang waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam revolusi Indonesia.
Dalam perdebatan itu, Benedict R. O’G. Anderson (selanjutnya: Ben), salah seorang peneliti Indonesia kenamaan, menulis satu disertasi di Cornell University dengan judul The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946 (1967) yang dibukukan menjadi Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (1972). Karya ini juga menjadi kritik terhadap karya pendahulunya yang juga berafiliasi dengan Cornell University, George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952). Karya Kahin cenderung mengabaikan konteks spesifik periode pendudukan Jepang yang menumbuhkan gerakan-gerakan revolusi.
Bagi Ben, penjelasan klasik mengenai ciri-ciri umum revolusi modern, sebagaimana penjelasan konvensional ala materialisme historis, tidaklah memuaskan sebagai analisis terhadap revolusi Indonesia. Menurutnya, bukan cendekiawan elite yang banyak berkontribusi dalam revolusi Indonesia, melainkan kaum muda.
Kesadaran pemuda yang revolusioner ini terbentuk melalui dua hal penting yang sekaligus menjadi tesis inti Ben. Pertama adalah latar kebudayaan Jawa yang menentukan watak khas pecahnya revolusi 1944-1946 di Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini erat kaitannya dengan pesantren. Kedua adalah politik pendudukan Jepang yang bergaya militeris, yang semakin memicu keterlibatan pemuda dalam gerakan-gerakan revolusioner.
Pesantren dan Pemuda Revolusioner
Dalam narasi Ben, menjadi pemuda dalam kebudayaan Jawa berarti menjalani babak kehidupan yang menjembatani masa kecil dengan dewasa. Dimulai periodenya sejak sunat, pemuda harus mulai beradaptasi dalam struktur hierarkis kebudayaan Jawa agar benar-benar menjadi wong Jowo (orang Jawa). Pada periode ini pemuda mulai memiliki otonomi dari keluarga. Ia boleh bepergian atau berkiprah dan mengubah masyarakat. Untuk menjalankan fungsi ini, pemuda mesti mempersiapkan diri. Salah satu caranya ialah belajar kepada seorang guru. Guru yang menjadi tempat belajar ini bisa dari anggota keluarga yang dianggap lebih tua dan bijak, seorang jawara, ahli ilmu gaib, atau, yang paling umum, seorang kiai yang memiliki pondok pesantren. Para pemuda yang menjadi seorang murid lazimnya tinggal bersama gurunya tersebut, mematuhi petuahnya tanpa syarat, termasuk ketika mengelola ladang sang guru atau pekerjaan lain yang dibebankan kepadanya.
Dibanding lembaga pendidikan lainnya saat itu, menurut Ben, pesantrenlah lembaga paling mapan dalam mempersiapkan pemuda sebelum kembali lagi ke masyarakat Jawa. Terlepas dari kenyataan bahwa pesantren memiliki kaitan erat dengan bentuk asrama pendidikan keagamaan masa pra-Islam, lembaga ini memiliki berbagai macam aspek baik dari sisi letak, tradisi keseharian, solidaritas komunal, maupun bentuk lembaganya, yang bisa memberikan kerangka ideal bagi proses pendewasaan pemuda.
Dari segi letak, bukan sebuah kebetulan bahwa pesantren berada di kawasan pelosok di desa terpencil, yang sekaligus menyimbolkan pemisahan diri para pemuda (yang kemudian menjadi santri) dari struktur masyarakat Jawa. Kebanyakan pesantren juga sudah mandiri secara ekonomi dengan hidup dari hasil bumi pesantren. Kondisi keterpencilan, bekerja bersama untuk menghidupi diri, ditambah dengan kepatuhan pada kiai (sebagai ‘ayah rohani’—yang ikatannya bisa lebih kuat dibanding ayah biologis) ini pada gilirannya membentuk jejaring solidaritas yang kuat di antara para pemuda-santri sebagai satu kelompok masyarakat tersendiri. Walhasil, pesantren-pesantren membentuk suatu kolektivisme sosial yang khas dan merembesi struktur kebudayaan Jawa dengan daya mobilisasi yang tidak kecil.
Dari komunitas para santri inilah, menurut catatan kecil Ben Anderson yang mengutip Theodoor Pegeaud, muncul para santri keliling, yakni mereka yang pindah dari satu pesantren ke pesantren lain, yang kemudian membentuk kelompok ‘para pengembara’ (trekkers en zwervers). Para pengembara ini melahirkan unsur tak terduga dalam masyarakat tradisional Jawa dan dulu disebut sebagai satria lelana. Para pengembara atau satria lelana inilah yang dulu sering dianggap sumber kekacauan politik.
Dari kelompok satria lelana inilah nilai-nilai utopia (lawan dari distopia) dan voluntaris dalam kosmologi Jawa tumbuh subur dan mendapatkan pengikutnya. Saat masa tenteram, kelompok ini fokus mencari ilmu di pesantren. Baru ketika krisis sosial muncul dan bertentangan dengan imajinasi utopia mereka, kelompok ini keluar dari pertapaannya. Dalam catatan sejarah saat krisis terjadi di era kolonial, mereka, para santri, menjadi sumber kepemimpinan tradisional bagi berpuluh-puluh pemberontakan petani kecil selama abad terakhir kekuasaan kolonial Belanda.
Dengan demikian, pesantren tidak sekadar menjadi lembaga pendidikan yang memproduksi santri untuk kembali berkiprah di masyarakat, tetapi juga menyuplai para pemimpin atau sukarelawan bagi gerakan pemberontakan. Ketika masyarakat pedesaan dilanda kekacauan sosial politik, para santri, santri keliling, satria lelana atau gerombolan jawara itu muncul menawarkan satu kehidupan sosial alternatif. Lanskap sosial masyarakat Jawa dengan pesantren sebagai penggeraknya inilah yang, menurut Ben, memungkinkan lahirnya gerakan-gerakan revolusioner di Jawa pada periode krisis di masa pendudukan Jepang.
Politik Militeris Jepang
Di samping peran pesantren dalam struktur masyarakat Jawa, faktor lain yang turut membangkitkan kesadaran pemuda dan gerakan revolusi adalah gaya politik pendudukan Jepang yang berbeda dari Belanda. Pembentukan organisasi militer dan paramiliter di bawah Jepang mempertajam kesadaran pemuda melalui propaganda intensif dan mobilisasi pemuda-pemuda Jawa.
Para masa akhir periode kolonial Belanda tahun 1940, total pemuda di Jawa diperkirakan berjumlah hampir 5 juta jiwa dan banyak darinya berusia 15-19 tahun; 1.789 pemuda terdaftar di sekolah-sekolah menengah; dan 637 adalah mahasiswa. Bagi Ben Anderson, jumlah ini menggambarkan betapa konservatifnya kebijakan pendidikan kolonial Belanda karena para pemuda terpelajar itu berasal dari kelompok berprevilese, yang sebagian besar dari mereka adalah anak priyai terkemuka atau dari kaum profesional di kota-kota besar.
Kebanyakan mereka juga memiliki hubungan erat dengan para politisi terkemuka dari gerakan nasionalis. Dari lingkungan terpilih tetapi minoritas dan eksklusif inilah mereka berasal. Mereka menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari di rumah dan sadar dengan status elite mereka yang menjauhkan mereka dari masyarakat awam. Watak kolonial Belanda adalah cerminan politik rasis yang diterapkannya sehingga menyebabkan politik pemuda terbatas pada golongan elite itu, yang cenderung terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Dari lingkaran ini, ide nasionalisme Indonesia dirumuskan, tetapi tidak menyebar luas di akar rumput.
Kekalahan Belanda oleh Jepang yang dipimpin Jenderal Imamura pada 1942 memberikan perubahan lanskap. Politik Belanda diganti dengan gaya politik Jepang yang menekankan mitos kejayaan Timur dan semangat ‘berani mati’. Tidak seperti politik Belanda yang berdiri di atas kapitalisme utilitarian, pendudukan jepang adalah suatu politik yang disetir para perwira muda yang berasal dari tradisi militer militer Jepang yang keras era 1930-an. Menurut Ben, politik Jepang ini bergaya kabuki, yaitu gaya politik yang mempertontonkan disiplin militer dan kekejaman-kekejaman di muka umum.
Gaya politik Jepang ini mengubah peta kekuatan politik pribumi. Bila pada era kolonial Belanda politik pemuda terkonsentrasi pada kelas elite terpelajar, politik pemuda era pendudukan Jepang digerakan para pemuda radikal yang diwadahi oleh organisasi-organisasi atau lembaga pendidikan militer bentukan Jepang seperti Pembela Tanah Air (Peta), Seinendojo (sekolah ilmu militer untuk pemuda), Heiho (pasukan bantuan), barisan Hizbullah (aktivis pemuda Islam), Seinendan (korps pemuda), Keibodan (korps kewaspadaan yang menjalankan fungsi seperti polisi), Jawa Hokokai (persatuan pengabdian Jawa), Gerakan Tiga A dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat).
Pemuda golongan bawah terlibat langsung dalam organisasi-organisasi tersebut. Mereka berasal dari perkampungan kumuh, perumahan gubuk pinggiran kota, pengangguran, para jawara, dan para santri. Pemuda Jawa yang tidak berpendidikan terlibat sepenuhnya untuk berpolitik. Organisasi-organisasi bentukan Jepang itu menyimbolkan hancurnya politik pengkotak-kotakan berdasarkan tingkat pendidikan warisan kolonial Belanda.
Lanskap politik yang baru tersebut menumbuhkan satu nasionalisme yang lebih radikal dan revolusioner dibanding ide nasionalisme yang digagas para elite politik sebelumnya di era kolonial Belanda. Pemberontakan-pemberontakan meledak dari kalangan bawah. Pemberontakan pertama era pendudukan Jepang terjadi di Singaparna (Tasikmalaya) pada 1944 dan dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa, dengan dukungan para santrinya dan para petani di daerah tersebut. Menyusul kemudian dua pemberontakan di Indramayu yang dipimpin para haji setempat yang memiliki pesantren. Pemberontakan ini juga merespons kebijakan Jepang yang paling kejam, yaitu romusha atau kerja paksa.
Jadi, kembali ke tesis awal, bagi Ben Anderson keseluruhan revolusi di Jawa sebelum dan setelah kemerdekaan (1944-1946), bertumpu pada kelompok pemuda revolusioner yang, di satu sisi, berakar kuat pada struktur masyarakat Jawa yang bersinggungan erat dengan pesantren, dan di sisi lain menemukan signifikansinya dalam politik Jepang yang bergaya militeris.
Sayangnya, entah Ben sadar atau tidak, sejarah revolusi ‘pemuda’ dalam narasinya tampak didominasi para lelaki. Peran perempuan sedikit dipotret olehnya, bisa jadi karena dominasi patriarkis saat itu sehingga ketersediaan data mengenai peran perempuan sangat terbatas. Hal terakhir ini, yakni tentang peran ‘pemudi’ dalam revolusi Indonesia, bisa menjadi satu kajian tersendiri.
__________________
Ronald Adam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Adam lainnya di sini.
Ilustrasi yang menjadi gambar header adalah satu cuplikan dalam film Sang Kiai.