Menurut Eliade, agama tidak bisa direduksi sebagai fenomena sampingan semata, yang mengandaikan agama sebagai variabel yang dependen atau akibat dari struktur sosial tertentu. Baginya, agama merupakan sesuatu yang 'sui generis': ia memiliki aspek-aspek esensial yang otonom, dan karena itu harus didekati dengan fenomenologi.
ronald adam
Durkheim berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami agama bukanlah melalui individu, melainkan melalui masyarakat, karena masyarakatlah yang membentuk individu. Sejalan dengan Marx dan Weber, Durkheim menempatkan agama pertama-tama bukan sebagai gejala psikologis individu, melainkan sebagai kenyataan sosial di masyarakat.
Apa saja yang berperan dalam sejarah perubahan masyarakat merupakan pertanyaan besar dalam perdebatan sosiologi klasik. Max Weber dengan karya klasiknya "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism" memberikan pemahaman bahwa, walau bukan penentu satu-satunya, ide berperan efektif dalam gerak sejarah masyarakat.
Review disertasi Benedict R. O’G. Anderson "The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1946" (1967) tentang peran pesantren dalam menggerakkan revolusi pemuda era pendudukan Jepang.
Tidak seperti penjelasan "teori persaingan" (bahwa Islamisasi meluas sebagai terusan dari perseteruan Islam-Kristen dalam perang salib), Islamisasi di Minangkabau memiliki kekhasan tersendiri: Islam menyebar dari kaum Muslim pedagang di pesisir, kaum tarekat di masyarakat petani di pedesaan, hingga munculnya gerakan Padri yang diprakarsai oleh para haji.
Materialisme kultural berpandangan bahwa memahami asal muasal 'ide' (termasuk budaya dan agama di dalamnya) tidak bisa dilepaskan dari kondisi material yang melingkupi kelahirannya. Bagaimana bila pendekatan ini diterapkan dalam satu kasus keagamaan?