Wednesday Forum, April 08, 2009. Pada forum ini, Dr. Elain K. Swartzentruber menekankan pentingnya kritik poskolonialisme dalam membaca (hermeneutik) teks-teks suci. Teks-teks religius, terutama Alkitab, yang telah banyak dipengaruhi ?kekuasaan? harus dilihat dengan cermat agar si pembaca atau umat Kristen tidak terjebak dalam kerangka pikir kolonial yang tidak relevan pada masa ini.
Swartzentruber menjelaskan bahwa ada begitu banyak perspektif dalam memahami teori-teori poskolonial sejak kemunculannya 25 tahun yang lalu. Dengan mengutip R.S. Sugirtharajah, ia memahami bahwa
Postcolonial discourse is not about the territorial ejection of imperial powers or about learning, Caliban-like, the art of cursing the empire. Rather, it is an active interrogation of the hegemonic systems of thought, textual codes and symbolic practices which the West constructed in its domination of colonial subjects. In other words, post-colonialism is concerned with the question of cultural and discursive domination. (R.S.Sugirtharajah, 1998)
Teori-teori poskolonial sendiri diperkenalkan dalam studi biblika tahun 1990an. Melalui teori poskolonial, Alkitab harus dilihat sebagai fakta bahwa ia adalah bagian dari sistem kerajaan dan kolonisasi dalam imajinasi Yahudi serta Kolonialisme Barat. Perjalanan historis dari produksi, redaksi, kanonisasi teks-teks Kekristenan harus dirujuk dalam membacanya, termasuk sejarah interpretasi-interpretasi yang ada. Selanjutnya, pengejawantahannya dalam situasi kekinian dengan menggunakan sumber-sumber lain yang relevan adalah tujuan utama dari hermenetika poskolonial ini. Di samping itu, keberpihakan terhadap kelompok marginal adalah semangat yang perlu dimiliki sebelum membaca teks-teks yang ada, dengan mempertimbangkan pula cara pandang pembaca umum dan isu-isu seputar nasionalisme, identitas, etnisitas, gender, kekuasaan negara, dan dominasi kolonial.
Sebagai sebuah contoh dari hermeneutik ini, ketika kita membaca kisah seorang perempuan dalam Markus 7 : 24-30, perempuan itu perlu dilihat sebagai perempuan asing yang tidak memiliki kesamaan identitas dengan Yesus dan orang-orang di sekitarnya. Ia datang sendiri tanpa perlindungan seorang laki-laki, dan ini berbahaya. Ada kemungkinan bahwa perempuan itu berasal dari kelas yang lebih tinggi daripada Yesus. Tidak hanya demikian, di sini Yesus bukan melemahkan si perempuan melainkan menjadi pelindungnya dengan tidak bertendensi membuat si perempuan melakukan konversi imannya. Perempuan itu yang memulai perubahan karena ia berani menembus batasan-batasan nilai yang ada, dan Yesus membenarkan tindakannya melalui penyembuhan. Dialog antar-iman dan intra-iman dibangun dalam kisah ini.
Dari hermeneutik di atas, dapat dilihat bahwa pembaca harus hati-hati dalam membaca sebuah teks religius. Mereka harus sadar akan muatan kolonialisme dalam teks itu, dan tetap memegang prinsip keberpihakan sebagaimana disyaratkan dalam hermeneutik poskolonial. Hermenuetik ini membenarkan pendekatan eisegese yang membuat teks berbicara sesuai dengan apa yang dibutuhkan si pembaca, bukan sekadar apa yang sebenarnya teks sampaikan berdasarkan konteksnya (exsegese). Teks-teks itu difungsikan sesuai kebutuhan pembaca demi relevansinya dengan kekinian dan agenda pembebasan terhadap kepentingan dan dampak-dampak kolonialisme. Hermeneutik ini merupakan suatu kebutuhan umat Kristen ketika mereka hidup dengan kenyataan bahwa mereka bukanlah bagian dari bangsa Barat? dengan konteks-konteks yang mereka miliki.
(JMI)