Pada akhir Agustus 2007, CRCS menyelenggarakan diskusi tentang Academic Writing di CRCS. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Niswatin Faoziah, mahasiswa pascasarjana universitas Sanatha Dharma yang melakukan penelitian tentang CRCS Students Responses to Teacher Written Feedback on Their Academic Writing. Data penelitian dikumpulkan dengan menginterview mahasiswa dan English instructor, serta meneliti paper mahasiswa yang telah diperiksa oleh English instructor.
Menurut pembicara, menulis secara akademik dalam bahasa Inggris merupakan pekerjaan yang sulit. Alasannya adalah jika anda ingin menulis secara akademik, maka anda harus mempersiapkan diri dengan kecakapan bahasa Inggris yang baik, memiliki kosakata yang cukup, pengetahuan lingustik, serta mampu untuk mengorganisasikan ide-ide secara jelas dan lain-lain. Walaupun terdapat banyak kesulitan untuk menjadi penulis yang handal, akan tetapi, terdapat banyak cara untuk mencapai hal tersebut. Salah satu diantaranya adalah teacher feedback. Feed back adalah suatu interaksi antara seseorang yang memberi respon dan penerima respon tersebut melalui komentar tulisan. Suatu aktivitas yang sangat kompleks Freedman (1985:32).
Niswatin Faoziah memaparkan bahwa terdapat beberapa masalah yang dihadapi mahasiswa CRCS dalam academic writing mereka. Permasalahan tersebut adalah:
- Pengaruh bahasa ibu. Permasalahan ini muncul ketika mahasiswa menulis paper, mereka cenderung untuk menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris secara literleks.
- Pihan kata. Mahasiswa biasanya mengalami kesulitan untuk membedakan antara kata kerja, kata sifat dan lain-lain.
- Kesulitan untuk mengorganisasikan ide-ide kedalam bentuk yang koheren and kohesif.
- Kesulitan untuk fokus terhadap tujuan.
- Kesulitan dalam Syntax (subjek-penggunaan artikel, tensis, word order, kata kerja).
Untuk mengatasi masalah tersebut, teacher feedback sangat berguna untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa dalam menulis. Akan tetapi menurut pembicara, kenyataannya adalah walaupun mahasiswa telah mendapat feedback dari English instructor, akan tetapi mereka masih menghadapi masalah. Permasalahan tersebut adalah:
- Beberapa mahasiswa membaca feedback dari English instructor, akan tetapi mereka jarang menggunakan feedback tersebut ketika melakukan revisi. Berdasarkan interview antara pembicara dan seorang mahasiswa, terdapat mahasiswa yang menerima feedback akan tetapi tidak merefisi final papernya berdasarkan teacher feedback (TFB). Mahasiswa tersebut berargumentasi bahwa English instructor tidak mengerti apa yang dia inginkan sehingga revisi paper tidak dilakukannya.
- Mahasiswa tidak setuju dengan TFB. Beberapa mahasiswa berfikir bahwa English instructor kurang mengerti apa yang mereka tulis.
- Mahasiswa tidak mengerti TFB. Mereka berfikir bahwa TFB terlalu umum, kurang berisi penjelasan.
- Mahasiswa tidak mengerti kode symbol/koreksi gramatikal yang digunakan English instructor.
- Beberapa mahasiswa minder terhadap kemampuan bahasa Inggrisnya ketika akan mengkalirifikasi TFB.
- Mahasiswa kurang strategi dalam memanfaatkan TFB.
Dalam diskusi, peneliti juga mengungkapkan respon mahasiswa CRCS terhadap TFB. Beberapa respon mereka adalah:
- Mahasiswa kurang mengerti TFB yang menggunakan symbol dalam koreksi grammatical secara jelas. Hal ini biasanya terjadi pada mahasiswa yang memiliki pengetahuan bahasa yang rendah.
- Mahasiswa dengan kemampuan bahasa Inggris yang tinggi sangat memperhatikan isi, gaya bahasa serta pilihan kata.
- Sementara mahasiswa yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang rendah senang menerima TFB dalam bentuk form.
- Mahasiswa kurang menyukai komentar positif, karena komentar tersebut kurang memotivasi mereka. Kritik sangat disukai karena kritik dapat meningkatkan kemampuan mereka.
Dalam menjawab pertanyaan Guy Brown, instruktur bahasa Inggris di CRCS, tetang bagaimana membangun hubungan yang baik dengan mahasiswa. Pembicara mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia kadang-kadang tidak percaya diri ketika berkomunikasi dengan native speaker. Persoalannya bukan hanya pada permasalahan bahasa, tetapi juga tentang posisi. Mahasiswa Indonesia berfikir bahwa terdapat kesenjangan hubungan antara mereka dengan English instructor. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah ini, English instructor perlu untuk memposisikan diri mereka sebagai teman serta perlu mengetahui kemampuan mahasiswa. Selain itu, English instructor sebaiknya bersifat fleksibel dengan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berbicara dengan menggunakan bahasa ibu ketika mereka mendapat kesulitan dalam menjelaskan apa yang mereka maksud.
Pada sesi terakhir, pembicara memberikan beberapa saran kepada English instructor CRCS untuk meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa. Saran-saran tersebut adalah: Mendorong mahasiswa untuk mengunakan strategi cognitive dan meta-cognitive; Mengajarkan mahasiswa utuk mengedit sendiri tulisan mereka; Mempromosikan diskusi kelas serta mendorong mereka untuk membaca dan menjawab pertanyaan tentang feedback.
Menurut Niswatin Faoziah, mahasiswa CRCS sangat beruntung karena mereka memiliki English Instructor yang menolong mereka dalam mengoreksi makalah dan thesis serta menjadi konsultan dalam bahasa Inggris. Mahasiswa pada beberapa program akademik tidak memiliki English instructor sebagaimana yang dimiliki CRCS.