Puja Waisak Lintas Negeri:
Tradisi Thudong, Waisak, dan Umat Buddha Indonesia
Candra Dvi Jayanti – 04 Juni 2023
“Berkelanalah, O, Para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. …” (Dutiyamārapāsa Sutta; Samyutta Nikaya 4.5)
Menjelang peringatan hari raya Waisak 2023, masyarakat Indonesia begitu antusias menyambut kehadiran rombongan istimewa para bhikkhu dari Thailand yang berjalan kaki ribuan kilometer dalam sebuah perjalanan spiritual menuju Candi Borobudur. Istilah bhikkhu thudong kemudian akrab di telinga masyarakat setelah perilisan berbagai berita di media massa dan media sosial yang mewarnai sepanjang perjalanan para bhikkhu tersebut. Euforia ini terasa di tiap kota yang dilewati oleh para bhikkhu ini. Masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan berjejer di pinggir jalan untuk melihat sekaligus menyemangati 32 bhikkhu ini. Keberadaan mereka kerap menjadi simbol aksi toleransi umat beragama di Indonesia. Di tengah euforia tersebut, bagi umat Buddha di Indonesia sendiri, perjalanan bhikkhu thudong ke Borobudur menjadi momentum untuk memaknai kembali hari trisuci Waisak dan mendalami ajaran agama.
Bhikkhu Thudong dan Misi Perjalanannya
Keputusan Buddha dalam mengajarkan Dhamma menjadi titik mula yang melandasi perjalanan para muridnya untuk mengembara dan ikut menyebarkan ajarannya. Kehidupan pertapa menjadi cara hidup sangha (perkumpulan para bhikkhu) yang pada masanya sering tinggal di dalam hutan dan berpindah tempat dari satu vihara ke vihara yang lain untuk membabarkan ajaran. Sebagai guru spiritual dan figur teladan umat dalam mempraktikkan ajaran Buddha, para bhikkhu dari waktu ke waktu berusaha mengadopsi cara hidup Buddha beserta murid-muridnya. Ada tiga pondasi besar praktik Dhamma bagi para bhikkhu, yaitu taat menjalankan vinaya (aturan kebhikkhuan), praktik dhutanga (13 praktik pertapaan), dan praktik meditasi sungguh-sungguh (Khantipalo, 1986). Secara umum pelaksanaan vinaya dan meditasi menjadi praktik tidak terpisahkan bagi para bhikkhu di mana pun dan dalam tradisi apa pun—walaupun terdapat variasi perbedaan dalam pelaksanaannya. Sementara dhutanga tidak banyak dilakukan oleh para bhikkhu. Praktik pertapaan untuk melepaskan keduniawian ini membutuhkan kebulatan tekad serta kesiapan mental dan jasmani yang kuat.
Praktik dhutanga di Thailand dikenal dengan istilah thudong yang kerap dipraktikkan oleh para bhikkhu hutan. Ke-13 praktik tersebut mencakup tiga basis pembatasan utama yaitu terkait dengan pakaian, tempat tinggal, dan makanan. Para bhikkhu dapat melakukan praktik thudong ini sebagai upaya mengatasi tiga kemelekatan duniawi tersebut sekaligus ataupun salah satu di antaranya. Tujuannya untuk menghancurkan kilesa (kekotoran batin) serta menghindarkan diri dari kesombongan, keserakahan, dan kemalasan yang merupakan penghalang menuju nibbana (Devinda, 2007).
Masing-masing bhikkhu atau vihara yang melaksanakan praktik thudong memiliki tradisi dan cara tersendiri. Seperti misalnya di Thailand, para bhikkhu thudong ini punya sebutan tersendiri sesuai dengan praktik yang mereka jalankan yaitu phra thudong (bhikkhu petapa pengembara) dan phra thudong kammathan (bhikkhu petapa pengembara yang mempraktikkan meditasi) (Tiyavanich, 1997). Ada bhikkhu yang memilih untuk menyendiri di suatu tempat dan bermeditasi, ada pula yang mengunjungi guru meditasi yang biasanya berdiam jauh dari kota, atau pergi berziarah mengunjungi beberapa tempat suci (Khantipalo, 1986)—seperti yang dilakukan oleh para bhikkhu thudong dari Thailand ke Borobudur.
Bagi rombongan bhikkhu thudong dari Thailand tersebut, perjalanan ke Candi Borobudur menjelang peringatan hari Waisak merupakan bagian dari praktik asketik dan ziarah suci untuk melakukan puja di tempat suci. Bagi umat Buddha, Candi Borobudur merupakan sebuah stupa agung yang menempati posisi penting dalam sejarah penyebaran Buddha di Asia. Sebagian umat Buddha percaya bahwa di Borobudur juga terdapat sisa-sisa relik sang Buddha atau para arahat. Terlepas dari destinasi yang mereka tuju, perjalanan para bhikkhu tersebut merupakan sebuah praktik kontemplasi atau meditasi yang memerlukan kekuatan samadhi (semadi) dan juga jasmani.
Bhikkhu Thudong dan Puja Waisak Lintas Negeri
Momentum perjalanan yang berdekatan dengan hari Waisak membuat tak sedikit masyarakat dan media yang menghubungkan perjalanan bhikkhu thudong ini dengan tradisi hari trisuci tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, praktik bhikkhu thudong merupakan hal yang baru sehingga informasi dan pengetahuan terkait praktik tersebut tidak banyak. Tak terkecuali bagi umat Buddha di Indonesia. Dari survei sederhana yang saya lakukan kepada 28 umat Buddha dari berbagai usia dan kota di Indonesia, 17 responden mengaku belum mengetahui praktik bhikkhu thudong sebelum kedatangan rombongan tersebut. Yang menarik, hampir semua responden mengetahui keberadaan bhikkhu thudong tersebut melalui media sosial. Beberapa responden menghubungkan tradisi thudong sebagai praktik puja menjelang Waisak yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Ada pula yang menghubungkannya dengan tema Waisak 2023 yang menitikberatkan pada kesatuan dan persatuan bangsa serta kedamaian dunia.
Pada dasarnya tradisi thudong dan Waisak tidak memiliki keterikatan langsung. Pengembaraan thudong ke Borobudur atau tempat suci lain bukanlah ritual tahunan. Perjalanan ziarah para bhikkhu thudong dapat dilakukan kapan pun dan ke mana pun. Sementara Waisak merupakan peringatan terhadap tiga peristiwa penting bagi umat Buddha yaitu kelahiran Siddhartha, ketika petapa Gautama menjadi Buddha, dan ketika Buddha Gautama mencapai parinibbana. Waisak biasanya dilaksanakan pada purnama pertama di bulan Vaisakha. Waisak menjadi peringatan penting sebagai pengingat umat Buddha atas sifat luhur Buddha Gautama dan perjuangannya di dalam Dhamma. Karenanya, peringatan Waisak identik dengan puja atau penghormatan melalui berbagai ritual baik secara komunal ataupun individual.
Meskipun demikian, perjalanan para bhikkhu thudong dan peringatan hari trisuci Waisak memiliki nafas yang sama: sebagai upaya untuk menapaktilasi kehidupan sang Buddha dan ajaran Dhamma. Perjalanan bhikkhu thudong merupakan salah satu alternatif puja yang kerap dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan saddha (keyakinan) yang kuat. Di sisi lain, momentum kehadiran bhikkhu thudong memberikan nuansa dan semangat baru bagi umat Buddha di Indonesia dalam menyambut hari raya Waisak. Perjalanan spiritual ribuan kilometer ini tidak hanya menjadi refleksi dan inspirasi untuk kembali memaknai puja bakti Waisak, tetapi juga salah satu medium untuk semakin mengenalkan ajaran dan identitas umat Buddha di Indonesia. Di samping itu, kehadiran para bhikkhu thudong dapat mendorong pesan-pesan perdamaian dan toleransi di Indonesia yang tampak dari antusiasme organik masyarakat maupun berbagai rangkaian acara lintas agama yang melibatkan para bhikkhu ini.
Perjalanan para bhikkhu thudong ke Borobudur jelang Waisak telah menjadi momentum penting bagi umat Buddha di Indonesia. Namun, bagi para bhikkhu tersebut, antusiasme dan euforia penyambutan ini justru merupakan ujian tersendiri bagi perjalanan suci mereka. Seperti diungkapkan bhikkhu Kantadhammo, salah satu bhikkhu thudong asal Indonesia yang lama tinggal di Thailand, “Kami para bhikkhu thudong melakukan perjalanan dari Thailand, Malaysia melakukan meditasi, tetapi sampai di Indonesia terus terang sedikit sekali waktu kita untuk meditasi.” Bagaimana pun, semua hal yang terjadi selama proses perjalanan suci ini merupakan bagian dari upaya kontempelatif dan meditatif para bhikkhu. Seperti syair yang dikutip di awal tulisan ini, perjalanan bhikkhu thudong menjadi pengingat perjalanan Buddha beserta muridnya dalam mengajarkan Dhamma dengan mengembara.
Ajarkanlah, O, Para bhikkhu, Dhamma yang indah di permulaan, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata yang benar. Ungkapkanlah kehidupan suci yang lengkap dan murni sempurna. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh karena mereka tidak mendengarkan Dhamma. Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.
______________________
Candra Dvi Jayanti adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Candra lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini olehNgasiran diambil dari buddhazine.com