• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Haruskah Menjadi Indigenous?

Haruskah Menjadi Indigenous?

  • Event report, Laporan
  • 23 October 2023, 08.23
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Haruskah Menjadi Indigenous?

Rezza P. Setiawan – 19 Oktober 2023

“Apa itu indigenous?”

Respon singkat itu meluncur dari Prof. Frans Wijsen selepas menonton film The Indigenous (2023) produksi Watchdoc. Penonton di ruang audio visual Museum Benteng Vredeburg, tempat pemutaran dan bincang film (03/08), seketika senyap. Wijsen sedang mempertanyakan kembali argumen utama yang ditawarkan oleh film. The Indigenous menunjukkan bagaimana komunitas-komunitas yang selama ini dianggap terbelakang dan dipinggirkan oleh dunia modern itu justru memiliki daya tahan lebih ketika menghadapi pandemi yang berdampak global. Namun, premis film ini disanggah. Apa benar orang-orang komunitas Dayak Iban dan Dayeuh Luhur itu bertahan dari pandemi oleh karena nilai tradisi leluhur yang mereka bawa? Bukankah itu semua hanya karena mereka memang hidup dalam ruangan yang lebih luas? 

Wijsen tengah merujuk pada rumah panjang Dayak Iban dengan ruang terbuka luas yang muncul di film. Kondisi tersebut jauh berbeda dari ruang hidup di kota yang lebih padat penduduk. Ia berpendapat bahwa yang menjadi sumber daya tahan ialah ruang yang lapang itu, bukan nilai-nilai atau tradisi leluhur yang disampaikan sepanjang film. Ruangan langsung menghangat oleh tanggapan kritis profesor emeritus dari Radboud University tersebut.

Dengan demikian, menurutnya, sebuah komunitas tidak harus menjadi seperti masyarakat adat untuk dapat bertahan menghadapi pandemi. Resiliensi seperti itu juga dapat ditemukan dalam cara hidup modern dan sudut pandang ilmu medis—dua hal yang dalam film dihadapkan dengan tradisi leluhur. Diskusi pun semakin panas.

Ia menambahkan, berdasarkan observasi dan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat adat, cara hidup komunitas adat itu sebenarnya tidak selalu ramah lingkungan. Kelompok pendukung hak-hak hewan akan melihat bahwa pengorbanan ayam atau hewan lain untuk ritual adat itu sebenarnya juga melanggar hak-hak hewan sebagai makhluk hidup. Karenanya, menurut Wijsen, penting untuk menanggapi secara kritis hal-hal apa yang diklaim sebagai “luhur” dalam tradisi adat leluhur. Api diskusi kian membara.

Merespons pernyataan tersebut, Atika Manggala, narasumber dari Paguyuban Ngesti Kasampurnan, bercerita pengalaman dirinya dan keluarga mengorbankan seekor ayam untuk menggali sumur. Pengalaman ini seolah membenarkan adanya semacam “kekerasan” dalam cara hidup sehari-hari penghayat dan komunitas adat. Akan tetapi, berbeda dengan klaim kekerasan yang dilontarkan oleh Wijsen, Atika melihat pengorbanan tersebut sebagai sebuah pemberian dari dan kepada alam. Ritual penyembelihan tersebut merupakan wujud rasa syukur terhadap alam yang memberikan sumber air yang menjadi berkat bukan hanya bagi ia dan keluarganya, melainkan juga makhluk-makhluk sekitarnya. 

Lantas, benarkah cara hidup leluhur tidak ramah lingkungan?

Melihat Masyarakat Adat secara Holistik

Dr. Samsul Maarif, yang menjadi peneliti sekaligus aktor utama di film tersebut, menjelaskan bahwa pemahaman tentang masyarakat adat atau “the indigenous” tidak dapat dipersempit dalam satu pemaknaan yang bersifat esensialis. Pemahaman terhadap masyarakat adat selalu terkait dengan cara hidup, pandangan dunia, maupun unsur-unsur yang membersamainya seperti tanah adat, hutan, dan sungai.  Yang tak boleh dilupakan, sikap masyarakat adat tersebut juga terbentuk dari marginalisasi ekstrem oleh modernisasi, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya alam. “Bahkan, institusi pendidikan seperti kampus juga seringkali menjadi tempat yang menggeser nilai-nilai tradisi akibat ketundukan buta pada sains modern,” jelas doktor yang akrab dipanggil Anchu ini.

Tanggapan Anchu itu diamini oleh Atika. Menurutnya, salah satu tantangan terbesar dalam menjalani cara hidup  sebagai penghayat di kota ialah norma-norma sosial dan regulasi pemerintah. Atika merujuk pada pengalamannya ketika hendak mengadakan tradisi wiwitan, ritual untuk memulai masa panen, saat pandemi. Melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pemerintah mengharuskan segala kegiatan sosial di ruang publik berhenti. Padahal, menurut pandangan penghayat, tradisi wiwitan ini merupakan bagian penting untuk tetap berdaya tahan di saat pandemi. Atika percaya bahwa hubungan yang baik dengan alam akan selalu membuahkan kebaikan bagi manusia. Tradisi wiwitan merupakan upaya untuk membangun kembali relasi dengan alam. 

Anchu juga mengingatkan, konteks keberadaan masyarakat adat hari ini merupakan hasil dari sejarah penindasan yang panjang dan masih terjadi. Dengan demikian, hal-hal terkait keramahan terhadap lingkungan tidak dapat secara praktis dan ideal diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Relasi yang bersahabat dengan alam itu tersimpan dan diwariskan dalam memori masyarakat adat melalui ritual dan tradisi oral. Menurut hematnya, tuduhan pengorbanan yang tidak ramah lingkungan itu sebenarnya tidak sebanding dengan cara pabrik modern mengolah ayam, sapi, dan hewan ternak lainnya secara masif dan kejam. Karenanya, pemahaman tentang cara hidup komunitas adat tidak bisa disempitkan hanya pada satu bagian, seperti hanya pada perihal ruang terbuka dan lapang. Cara hidup komunitas adat yang ditampilkan dalam film adalah sebuah kesatuan. Pengetahuan dan pengaturan ruang dalam rumah panjang tersebut berakar pada tradisi leluhur. Tradisi yang sama itu juga menuntun setiap aspek lainnya dalam hidup komunitas adat seperti makanan, minuman, dan segenap ritualnya. Selaras dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Atika dalam diskusi, “Ngelmu iku kelakone nganti laku.” Ilmu itu dipahami dengan mengamalkannya secara paripurna. Dalam konteks ini, paripurna juga bisa berarti pengetahuan dan pemahaman yang holistik. 

Tentang hidup bersama

Jelang akhir diskusi, para narasumber menegaskan bahwa perbedaan pandangan mereka bukan untuk menunjukkan permusuhan, melainkan untuk mengasah daya pikir bersama. Pertanyaan-pertanyaan kritis Wijsen merepresentasikan titik-titik keraguan masyarakat modern akan cara pikir masyarakat adat yang dinilai sangat konservatif. Berbagai pertanyaan tersebut mengajak kita untuk betul-betul menilik kembali pandangan terhadap nilai-nilai luhur dari tradisi lokal masing-masing. Penjelasan Anchu dan pengalaman Atika sebagai penghayat menegaskan kesatuan tak terpisahkan antara kehidupan manusia dan alam. Daya tahan yang dimiliki oleh komunitas Dayeuh Luhur, Dayak Iban, dan keluarga Atika Manggala dalam menghadapi pandemi menunjukkan bahwa kehidupan yang dipandu oleh tradisi leluhur mampu hidup langgeng bersama alam dalam berbagai situasi. Maka, resiliensi bukanlah tentang keharusan menjadi indigenous, melainkan tentang bagaimana kita hidup berkawan dengan alam.

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Tags: Ekologi indigenous rezza prasetyo setiawan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju