Bertuhan dengan Humor
Nanda Tsani – 1 Maret 2024
Pengalaman transendental nun di atas langit seringkali tidak bisa kita gapai dengan intelektual. Di sinilah humor bekerja. Dengan humor, agama yang adiluhung nan surgawi bisa menjadi sangat manusiawi dan membumi.
Dalam dunia komedi digital hari ini, para komika seringkali melibatkan tuhan dan keberagamaan sebagai bahan humor, entah topik maupun gimik. Sebut tongkrongan Coki Perdede, Tretan Muslim, Deddy Corbuzier, hingga Habib Jafar yang berhumor ria mengonversi istilah agama dengan kosakata anak muda. Misal jargon log-in untuk mualaf dan log-out untuk keluar dari agama asal. Ketika Deddy Corbuzier memutuskan menjadi mualaf 2019 silam, dua akun Twitter “garis lucu” saling serah terima jabatan. “Hari ini kami serahkan @corbuzier ke @Nugarislucu untuk selanjutnya silahkan disunat dan diarahkan,” cuit akun Katolik Garis Lucu. “Siap, ndan. Ajaran-ajaran baik dari sampean tetap kami pertahankan,” NU Garis Lucu pun menimpal umpan.
Pun di dunia nyata, perkawanan humor dan agama di negeri ini bukanlah hal baru. Tablig akbar atau ceramah kiai di kampung-kampung tak ubahnya pertunjukkan komedi tunggal jauh sebelum istilah stand-up comedy dikenal khalayak Indonesia. Pesan-pesan moral dan agama dikemas dengan lugu, jenaka, dan penuh gelegar tawa. Berangkat dari kultur keagamaan semacam itu, kita pernah memiliki Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan humor-humornya yang kharismatik. Ditarik ke belakang, dunia pertunjukan tradisional kita mengenal tokoh punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (atau Bawor dalam tradisi Banyumasan). Keempatnya memainkan lakon yang menyajikan filosofi ilahiah berbalut komedi. Betapa keberagamaan kita sangat akrab dengan humor, bukan?
Wednesday Forum edisi 28 Februari 2024 membincang persoalan agama dan humor ini di atas mimbar akademik. Rev. Prof. Robert Setio, Ph.D. mempresentasikan tilikannya terkait agama, humor, dan kemanusian berjudul “The Joke Is On Me (God)”. Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana ini mengaku tidak pandai berkelakar. Walakin, ia seorang penikmat berat seni humor. Di samping pegiat hermeneutik, pendeta cum profesor ini menggandrungi pendekatan manuskrip-manuskrip religi—khususnya yang terdapat dalam Alkitab—melalui pembacaan humor. Tawa di antara peserta forum pecah karena contoh-contoh humor dalam manuskrip religi yang ia bacakan selama presentasi.
Memanfaatkan Humor
Robert melihat humor sebagai suatu cara manusia menyikapi absurditas, tragedi, dan pengalaman tragis atas eksistensi mereka. Di samping itu, humor juga dapat menjadi alat yang membelalakkan kontradiksi dan paradoks di dalam agama. Satu contoh, salib Yesus Kristus kerap merefleksikan kepedihan penuh agoni karena begitulah kita diperkenalkan selama ini melalui lukisan maupun figur patung. Kemudian, Robert menunjukkan foto Yesus yang disalib tetapi tersenyum mringis. Foto itu pun memantik cekikik. Mungkin, para peserta forum tergelitik melihat wajah Yesus nyengir kuda di papan salib. Penggambaran figur Yesus ini nyata adanya dan bukan hasil rekayasa digital. Menariknya, figur patung bernama The Smiling Christ ini berasal dari abad ke-13 dan terdapat pada sebuah kapel di kastil St. Francis Xavier, Spanyol.
Rupanya sejak dulu, umat Kristen tidak selamat dari tangan-tangan “nakal” para seniman di jamannya. Bisa jadi The Smiling Christ adalah sesuatu yang mempermalukan, tetapi bagaimana jika ini diartikan sebagai paradoks bahwa kita terlalu tegang mempercayai Tuhan Yesus pastilah menderita demi menebus suka cita umat manusia. Bagaimana jika Dia juga ikut senyum dan bergembira? Humor bergantung pada interpretasi fakta. Johan Taels (2011), cendikia agama dan humor, berpendapat bahwa humor erat kaitannya dengan cara manusia menginterpretasikan suatu pengalaman tragis atau fakta komikal dan mengaitkannya pada perkara eksistensial. Oleh karena itu, humor mengacu pada esensi dari struktur eksistensi manusia, lebih spesifik, mengindikasikan fakta bahwa manusia adalah makhluk komikal-tragis. Sebagai sebuah seni berkehidupan, tegas Taels, humor dapat dilihat sebagai pelengkap praktik-praktik kebajikan.
Robert kemudian mengelaborasi lika-liku tawa sebagai tanda resistensi dalam menyikapi trauma. Dalam Humor, Resistance, and Jewish Cultural Persistence in The Book of Revelation (2020), Sarah Emanuel menjabarkan alasan humor dan anekdot Yahudi banyak ditemukan dalam Kitab Wahyu. Ia melihat umat Yahudi menggunakan humor sebagai perlawanan tersembunyi terhadap imperium Romawi yang mereka benci sekaligus idam-idamkan. Mereka me-roasting (kata lain mengatai dalam stand-up comedy) trauma mereka atas imperium melalui cengengesan yang merendahkan.
“Saya Tersinggung!”
Lantas, bagaimana jika humor dilempar menggelinding terlalu jauh? Alih-alih tawa, reaksi yang didapat malah amuk massa. Apa yang membuat humor dinilai tidak lagi manusiawi dan sudah kelewat batas? Salah satu peserta forum merespons bahwa lelucon itu sendiri justru tentang melewati batas. Karenanya, selalu ada risiko di balik melewati batas. Kita tidak tahu pasti apa yang ada di luar batas, bukan?
Robert menegaskan bahwa humor senantiasa bersifat kultural dan kontekstual. Memang, hampir tidak ada suatu kultur pun yang tidak mengenal humor. Akan tetapi, tetap ada hal-hal partikular dalam universalitasnya. Kelakar di suatu kelompok masyarakat belum tentu diterima atau dianggap lucu oleh komunitas lain. Oleh karenanya, Robert menggarisbawahi, “Biarkan orang bebas memberikan reaksi apa pun terhadap lawakan yang kita lempar, termasuk, tersinggung. Biarkan humor menjadi bagian dari demokrasi dan menyemarakkan kreativitas di tengah kita.”
Manusia era modern, hemat Robert, cenderung merepresi humor sebagai bagian dari kreativitas dan estetika beragama. Modernitas condong menyepelekan humor karena dianggap tidak produktif dan buang-buang waktu. Setengah berkelakar, Robert mengatakan bahwa kekristenan—khususnya Protestan—lebih represif terhadap humor dan kreativitas. Ia mengilustrasikan palang salib gereja Protestan yang sangat sederhana dan pelit ornamen dibandingkan gereja Katolik atau tempat ibadah agama lain.
Pada ujung diskusi, Robert menyimpul kaitan agama, humor, dan kemanusiaan ke dalam beberapa poin. Pertama, humor dan kemanusiaan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dan keduanya tidak dapat dipisahkan pula dari agama. Kedua, saat agama menyentuh hal-hal paling mendasar dari aspek kehidupan manusia, di situlah humor ada. Ketiga, mempelajari humor sudah seharusnya menjadi bagian dari studi agama karena di dalamnya mengulik watak tragis-komikal kemanusiaan. Keempat, pada tataran moral, humor mengekspos kedangkalan relasi sosial. Terakhir, humor adalah kejujuran yang blak-blakan, ia bisa menghinakan dan mengantarkan pada hakikat eksistensi kita sekaligus. Jadi, berhumorlah dengan tuhan sebelum humor itu dilarang tuhan.
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini karya FrentaN dari Shutterstock