Sajadah Panjang Itu Bermula dari Sampah
Haikal Fadhil Anam – 20 Juli 2024
Mengelola sampah di kawasan sungai memang bukan pekerjaan ringan, apalagi jika sungai tersebut berada tepat di jantung kota seperti Kali Code, Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kali Code terkenal sebagai kawasan kumuh dengan kondisi sungai penuh sampah dan kotoran manusia. Kala itu, bantaran Kali Code menjadi tempat tinggal gelandangan, pemulung, pekerja seks komersial, dan masyarakat luar Jogja yang tidak memiliki rumah. Mereka menghuni sekitar daerah aliran sungai atau di sela-sela lahan kuburan Tionghoa yang berada tak jauh dari sungai. Sempat hendak digusur oleh pemerintah untuk kawasan hijau, kondisi dan wajah Code mulai berubah ketika Romo Mangunwijaya menginisiasi penataan Kampung Code Utara. Kampung kelam di tengah kota tersebut perlahan menjadi model percontohan permukiman kota yang hidup selaras dengan lingkungan. Upayanya itu kemudian diganjar dengan Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur pada 1992.
Namun, masalah sampah di Kali Code masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Kali Code berhulu di Gunung Merapi dan terbentang sepanjang 41 km melintasi tiga wilayah kota/kabupaten. Timbulan sampah di Kali Code tidak hanya berasal dari masyarakat kota yang tinggal di sepanjang sungai, tetapi juga masyarakat luar yang menjadikan sungai ini sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga. Sampah-sampah dari hulu ikut mengalir ke daerah hilir dan kerap mengendap di daerah sungai yang dekat dengan permukiman. Akibatnya, Kampung Code banjir sampah kendati bukan warga mereka yang membuang sampah di sungai. Dengan kondisi yang demikian, butuh lebih dari sekadar stimulus ekonomi untuk mengentaskan masalah sampah di sana.
Bagi ibu-ibu pengelola Bank Sampah Kali Code, motivasi itu ialah ibadah. “Seperti menggelar sajadah panjang,” ujar Bu Kus, warga bantaran Kali Code di Gondolayu Lor, yang menjadi salah satu pengelola. Istilah itu ia pinjam dari judul lagu grup musik religi Bimbo berjudul “Sajadah Panjang”—yang diarasemen ulang oleh grup musik Noah pada 2017. Bagi Bu Kus, urusan sampah bukan sekadar persoalan kebersihan, melainkan wujud ketaatan kepada Tuhan sekaligus investasi untuk akhirat. Bu Kus tak sendirian. Ibu-ibu rumah tangga pengelola Bank Sampah Kali Code juga menggunakan istilah-istilah keagamaan untuk mengartikulasikan motif mereka dalam mengelola sampah seperti “ikhlas”, “wakaf tenaga”, ataupun “niat shadaqah”.
Dengan kata lain, agama menjadi sumber motivasi sekaligus inspirasi untuk menggerakkan kepedulian terhadap lingkungan. Pandangan dunia ibu-ibu Kali Code ini beresonansi dengan pendapat Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa peran agama tidak dapat dikesampingkan dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan. Nasr mengkritisi penyelesaian masalah lingkungan yang kerap bertumpu hanya pada ilmu pengetahuan rasional yang berdasar pada etika agnotisisme (Nasr, 2007: 30). Dalam konteks masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi keagamaan, seruan peduli lingkungan justru lebih menemukan gaungnya ketika menggunakan pendekatan etika-etika keagamaan. Senada, Whitney Bauman menyatakan, “Dunia keagamaan merupakan kekuatan utama dalam membentuk cara kita berinteraksi dengan lingkungan kita” (Bauman et al., 2011: 24). Oleh karena itu, kendati mendapatkan dampak ekonomis dari kegiatan pengelolaan sampah, hal itu bukanlah motivasi utama ibu-ibu pengelola Bank Sampah Kali Code.
Gayut langkah ibu-ibu Bank Sampah Kali Code menunjukkan bahwa masalah lingkungan bukan hanya tanggung jawab aktivis cum akademisi. Persoalan sampah juga bukan sekadar hal teknis pengelolaan, melainkan juga sebuah pengalaman keagamaan. Agama hadir secara nyata dalam ritme gerak keseharian melampaui sekat-sekat ruang peribadatan. Nancy Ammerman (2021) menyebut fenomena ini sebagai lived religion. “Mempelajari agama, …” tulis Ammerman, “Berarti memperluas wawasan kita melampaui teks-teks dan doktrin-doktrin resmi.” Hal-hal sakral seringkali muncul di tempat-tempat yang tidak berlabel agama dan dipraktikkan oleh masyarakat biasa. Bagi ibu-ibu Kali Code, ruang sakral itu adalah sungai dan sampahlah yang menjadi perantara ibadah mereka. Selama mereka terus mengelola sampah, sepanjang itu pulalah sajadah tempat mereka bersimpuh dan bersujud tergelar.
“Ada sajadah panjang terbentang.
Dari kaki buaian, sampai ke tepi kuburan hamba.”
______________________
Haikal Fadhil Anam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Haikal lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Jorge Franganillo (2018).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 11 tentang Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan; dan 13 tentang Perubahan Penanganan Iklim.