• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Class Journal
Arsip:

Class Journal

Sajadah Panjang Itu Bermula dari Sampah

Class Journal Wednesday, 31 July 2024

Sajadah Panjang Itu Bermula dari Sampah

Haikal Fadhil Anam – 20 Juli 2024

Mengelola sampah di kawasan sungai memang bukan pekerjaan ringan, apalagi jika sungai tersebut berada tepat di jantung kota seperti Kali Code, Yogyakarta. Pada tahun 1980-an, Kali Code terkenal sebagai kawasan kumuh dengan kondisi sungai penuh sampah dan kotoran manusia. Kala itu, bantaran Kali Code menjadi tempat tinggal gelandangan, pemulung, pekerja seks komersial, dan masyarakat luar Jogja yang tidak memiliki rumah. Mereka menghuni sekitar daerah aliran sungai atau di sela-sela lahan kuburan Tionghoa yang berada tak jauh dari sungai. Sempat hendak digusur oleh pemerintah untuk kawasan hijau, kondisi dan wajah Code mulai berubah ketika Romo Mangunwijaya menginisiasi penataan Kampung Code Utara. Kampung kelam di tengah kota tersebut perlahan menjadi model percontohan permukiman kota yang hidup selaras dengan lingkungan. Upayanya itu kemudian diganjar dengan Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur pada 1992.

Berpikir Ulang atas Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem

Class Journal Friday, 20 January 2023

Berpikir Ulang atas Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem

Teresa Astrid Salsabila – 20 Januari 2023

“Mbak, memang orang Katolik gak boleh masuk kelenteng ya?”

Pertanyaan itu diutarakan oleh salah seorang pemandu lokal di Lasem kepada saya selepas mengikuti ekaristi. Bagi saya, pertanyaan itu malah menimbulkan pertanyaan lainnya. Bukan karena tidak tahu harus menjawab apa, melainkan mengapa pertanyaan itu muncul. Terlebih lagi pertanyaan itu hadir dari warga lokal Lasem yang terkenal dengan toleransi dan multikulturalismenya. Menjawab pertanyaan bapak itu tentu mudah, sebab memang saya tidak pernah menemukan larangan seperti itu dari Romo saya. Namun, pertanyaan dalam benak saya itu tak kunjung mendapatkan jawaban yang utuh hingga akhirnya kami meninggalkan kota tersebut untuk kembali ke Yogyakarta.

Rawls, Agama, dan Nalar Publik

Class Journal Tuesday, 11 October 2022

Rawls, Agama, dan Nalar Publik

Refan Aditya – 11 Oktober 2022

Bagaimana mungkin mereka yang berpegang pada doktrin agama tertentu, dan otoritas agama tertentu, di saat yang sama berpegang pada konsep politik liberal yang mendukung rezim demokratis? (Rawls 2000, hlm. 149)

John Rawls bertanya demikian sebab dalam sebuah masyarakat demokratis, idealnya, tidak ada entitas yang boleh dikecualikan tanpa alasan, termasuk agama. Demokrasi yang disokong oleh konsep politik liberalisme mengandaikan sebuah tatanan masyarakat yang berpegang teguh pada kebebasan, kesetaraan, dan hak-hak sipil (equality before the law). Tatanan itu diikat dalam kontrak sosial yang mengatur batas dan distribusi yang setimpal; fair. Maka agama, supaya mendapat haknya di ruang publik, mau tak mau mesti mengikuti prosedur demokrasi yaitu konsensus politik. Artikel ini membahas posisi  agama di ruang publik dalam pemikiran politik John Rawls. Pertama-tama, penting untuk memahami terlebih dulu “kelabilan” pemikiran Rawls tentang konsep politik justice as fairness.

Sudahkah Indonesia Benar-Benar Merdeka?

Class Journal Saturday, 24 September 2022

Melebihi Belanda/mereka perkosa istri-istri kami/mereka tebas leher putra putri kami/mereka bunuh harapan dan cita-cita kami//Melebihi Belanda/itulah Jakarta! (Seperti Belanda, Fikar W.Eda)

Mendayung Keberagaman di Festival Peh Cun

Class Journal Monday, 11 July 2022

Sebagai seorang Kristen yang lahir dan dibesarkan di kepulauan Maluku, saya jarang menemui festival atau ekspresi keagamaan selain Islam dan Kristen. Karenanya, menghadiri dan ikut serta dalam festival Peh Cun merupakan pengalaman yang sangat berbeda dan mengagumkan bagi saya.

Konghucu dan Budaya Tionghoa: Pasang Surut Rekognisi

Class Journal Saturday, 6 March 2021

Konfusianisme atau Konghucu kini merupakan salah satu dari enam agama-dunia yang diakui negara—atau persisnya, memiliki perwakilan administratif di Kementerian Agama. Namun, status ini tidaklah didapat begitu saja, melainkan melalui perjuangan yang cukup panjang.

123…6

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju