
“Lā taghdab wa lakal jannah” dalam translasi populer diartikan “jangan kamu marah, maka kamu akan masuk surga.” Agama menyiratkan kesan kita untuk tidak meluapkan amarah. Begitu juga dengan pelbagai teknik meditasi ala Buddhisme yang menekan rasa marah dan ketidaksukaan dengan welas asih. Meditasi kerap disalahpahami sebagai cara untuk memperoleh diri yang lebih diam dan “tenang”, tak peduli apa pun yang menimpa hidup: kematian orang terkasih, bencana, kecelakaan, dan ketidakadilan sistemik.
Masa kecil saya sangat akrab dengan amarah—dari orang tua, pengajar, ustaz di madrasah. Mereka menunjukkan amarah itu li ta’dib (untuk pendidikan) atau alibi paling cliché: mereka marah karena sayang. Bawahan akan dihakimi tidak sopan jika meluapkan amarah kepada atasan. Akan tetapi tidak sebaliknya, atasan bisa saja marah dengan alasan apa pun kepada bawahan.
Begitulah kebingungan yang sempat saya geluti. Harus bagaimana saya menyikapi amarah yang terdapat dalam diri saya? Saya mempertanyakan makna amarah yang diajarkan kepada saya yang penuh kontradiksi diabolis. Melalui pergumulan dan pembacaan, saat ini saya bersimpulan bahwa amarah adalah emosi yang paling sering salah parkir dan disalahpahami.
Tentang Amuk terhadap Ketidakadilan
Saya mencoba untuk tidak peduli pada kezaliman wakil rakyat yang dilayangkan terus-menerus dan terang-terangan. Namun, saya tidak bisa. Nyatanya, saya tetap peduli. Saya marah. Kawan-kawan saya marah. Kita sebagai rakyat marah. Akan tetapi, dalam kondisi semacam ini, bagaimana meluapkan amarah dengan sebaik-baiknya cara?
Saya rasa, tidak ada. Tidak ada cara terbaik untuk meluapkan amuk ketika hanya satu kata yang tersisa yang bisa kita lakukan: lawan! Amarah, marah-marah, ngamuk, kesurupan, apa pun itu namanya telah dihakimi sebagai sifat negatif mirip setan. Betapa pun, cara marah akan selalu mendapat penghakiman buruk. Maka, peduli setan dengan gaslight bahwa amarah kita tidaklah pantas.
Dalam unggahan video di kanal YouTube-nya, Pandji Pragiwaksono sangat gusar menyikapi pernyataan Deddy Corbuzier sebagai Stafsus Kementerian Pertahanan yang menyebut: “DPR Komisi 1 ketika rapat diganggu oleh orang tidak dikenal.” Pandji sontak menyalahkan pernyataan tersebut. Yang dimaksud dengan orang tak dikenal ialah koalisi masyarakat sipil yang sudah lama-melintang berbicara Hak Asasi Manusia dan kritis terhadap revisi Undang Undang Polri dan TNI: KontraS, Amnesty Internasional, dan Imparsial. Kita sudah selayaknya marah jika kita hanya dianggap grudukan “orang tidak dikenal”, atau yang lebih parah lagi, suara rakyat sekadar dianggap “anjing yang menggonggong”.
Pandji menaruh judul dalam tagline-nya “Batalkan Revisi UU TNI” (selengkapnya bisa dilihat di sini). Menurut hemat saya, yang dilakukan Pandji melalui media dan kemahiran public speaking-nya adalah sama dengan yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil. Energi yang mendorong Pandji untuk mengunggah video tersebut dan Koalisi Masyarakat Sipil yang membongkar rapat DPR secara sembunyi-sembunyi adalah sama: kemarahan. Begitu pula energi yang mendorong kawan-kawan yang tidak henti-hentinya mengunggah “Tolak Revisi UU TNI” dan “Pertahankan Supremasi Sipil” di berbagai platform media sosial adalah kemarahan. Pun dengan saya yang menulis artikel ini dengan dasar kemarahan terhadap kesewenang-wenangan.
Politik bagi-bagi kue dari rezim sebelumnya juga dilakukan pada kepresidenan kali ini. Lebih parah, politik bagi-bagi kue yang sudah dan sedang diberikan kepada dua anak kesayangan fasisme paling soleh: dua instansi bersenjata yang tahu-tahu aja.
Marah Bukan Baik-Buruk Melainkan Suatu Energi
Seperti halnya ragam emosi yang ada dalam film Inside Out (2015), amarah ada karena ia juga bagian dari diri kita yang berguna melindungi kita. Si Merah menyala ketika batasan kita dilanggar. Si Merah menyala ketika kebutuhan kita diabaikan. Si Merah menyala ketika suara kita tidak didengar. Si Merah menyala ketika ada yang salah.
“Amarah, suatu ekspresi yang kita perbolehkan lewat, menjadi cinta yang protektif—untuk dirimu, dan untuk hilangnya seseorang yang kita cintai. Dalam beberapa kasus, ia dapat memberikanmu energi untuk menghadapi apa yang kau hadapi. Dengan menunjukkan rispek dan memberikan ruang, kemarahan akan memberitahumu sebuah cerita tentang cinta dan koneksi dan kerinduan atas apa yang hilang. Tak ada yang salah dengan itu.” Megan Devine, It’s OK That You’re Not OK: Meeting Grief and Loss in a Culture That Doesn’t Understand (2017)
Dalam konteks tradisi beragama, beberapa tradisi Islam mengajarkan sublimasi amarah di dalam konteks penghambaan. Syiah khususnya aliran-aliran Husainiyah melakukan ritual memukul dada (dalam bahasa Arab: iltizam) pada bulan duka Muharam. Tidak jarang, ritual memukul dada ini dilakukan hingga berdarah-darah. Ekspresi kemarahan atas peristiwa Karbala tidaklah dilarang karena hal itu menetralkan konotasi amuk atas berduka. Berduka memang segila itu dan biarkan amarah menemaninya. Selain itu, banyak kisah-kisah para nabi yang menentang tiran dengan amarah baik secara literal maupun dengan cara kreatif: Daud melempari raksasa Jalut dengan batu menggunakan ketapel, Ibrahim menghancurkan patung-patung sesembahan yang menundukkan Ayah dan umatnya pada kesewenang-wenangan, dan pelbagai aksi pertempuran perang melawan Thaghut (opresi sistemik). Bukankah itu semua digerakkan oleh energi marah?
Dengan moral kompas yang bisa menuntun kita di mana pun kita berada, memarkirkan amarah pada gedung hasil rampasan tiran adalah suatu tanda kematangan emosional. Senada halnya dengan itu, tidak merepresi marah dan memberinya ruang sebagaimana emosi-emosi lain merupakan tanda kematangan beragama. Agama tidak mengekang apa yang seharusnya kita lepaskan. Agama ada sebagai pelipur saat kita harus bersabar dalam berjihad menentang tirani dengan berbagai cara dan kemampuan kita, termasuk, dengan energi marah yang menggerakan kita. Jadi, Anda tetap religius jika Anda marah.
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.