• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Joget Amerta
  • Mengenang 5 Tahun Suprapto Suryadarmo: Warisan dan Inspirasi yang Abadi

Mengenang 5 Tahun Suprapto Suryadarmo: Warisan dan Inspirasi yang Abadi

  • Joget Amerta
  • 10 March 2025, 16.13
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

oleh Sephia Putri Fatima

Suprapto Suryodarmo adalah pencetus Joged Amerta. Beliau telah memengaruhi ranah seni tari Eropa sejak akhir 1980-an. Murid-muridnya datang dari berbagai disiplin seni (tari, arsitektur, seni rupa, teater, dll.) maupun ragam disiplin tubuh (penari profesional, terapis gerak, dll). Suprapto  akan menyikap kedalaman yang dibutuhkan oleh seorang penari yang dimulai dari kesadaran akan diri, alam dan lingkungan serta sikap kritis dalam bergerak. Sejak kecil Suprapto  telah mengenal gerak, mulai tari klasik Jawa, silat hingga kungfu. Ia lantas belajar meditasi buddhis Vipassana serta ajaran kejawen Sumarah yang menurutnya sangat berguna untuk mengeksplorasi alam dan kesadaran (Suprapto Suryodarmo, n.d.)

Gerakan Amerta adalah gerakan tubuh bebas yang menggabungkan kearifan Asia dengan dinamika Barat kontemporer. Gerakan ini merupakan konsep sekaligus praktik, yang memandang kehidupan sebagai perubahan. Berdasarkan gerakan sehari-hari serta bekerja dengan kesadaran dan sikap, Gerakan Amerta menggunakan teknik yang sangat sederhana dalam upaya memperoleh pemahaman, memfasilitasi pertumbuhan manusia, dan mengembangkan potensi. Tubuh fisik digunakan sebagai instrumen untuk mengeksplorasi identitas, ekspresi diri, dan komunikasi, dengan potensi untuk ekspresi artistik. Joged Amerta, yang dalam kata-kata Mbah Prapto sendiri, tidak hanya sebagai bahasa komunikasi tetapi juga ekspresi keberadaan (Ardi Isnanto, 2019).

Mayoritas praktisi Gerakan Amerta adalah orang Barat atau orang- orang dari wilayah lain di Asia dan Pasifik. Mereka berasal dari semua lapisan masyarakat. Selain itu, Gerakan Amerta telah diterapkan di banyak bidang seperti pendidikan gerakan, kesehatan dan terapi, seni, termasuk seni lingkungan dan seni ritual baru (Lavelle L., 2006).

Dalam proses pencarian pada gerak-gerak yang ada di alam, gerak-gerak inilah yang kemudian menjadi pintu masuk Suprapto  untuk mencari gerak-gerak yang nantinya akan dinamai Joget Amerta. Joget Amerta semata-mata bukanlah gerak fisik seseorang, namun respons manusia pada lingkungan yang ada di sekitarnya. Respons itu dimulai dari tubuh dan kemudian menjadi sebuah gerakan yang menggambarkan situasi. Joget Amerta selalu mengikuti situasi lingkungan, gerakan yang dilakukan tidaklah kaku atau mengikuti pakem tertentu, tapi dibebaskan atau membebaskan diri dengan bentuk-bentuk ekspresi yang tidak seperti biasanya.

Suprapto Suryodarmo atau biasa dipanggil Mbah Prapto meninggal dunia pada Minggu, 29 Desember 2019 di Solo di usia 74 tahun. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan, mewujudkan, mengajar dan berbagi praktik Gerakan Amerta. Dalam perjalanan hidupnya, Mbah Prapto  bekerja sama dengan siswa dan kolega dari semua lapisan masyarakat, termasuk seniman, praktisi dan guru yang semuanya ia anggap sama sebagai ‘teman’ di situs-situs sakral, kuno dan duniawi di seluruh dunia. Dia tidak pernah berusaha untuk menuliskan praktiknya, meskipun dia mendorong banyak ‘teman’ untuk menyebarkan berita dan praktik tersebut untuk berbagi pemahaman mereka tentang karyanya secara luas. 

Memperingati Lima Tahun Kepergian Mbah Prapto

Tepat lima tahun kepergian Mbah Prapto29 Desember 2024, tepat lima tahun kepergian Mbah Prapto, keluarga dan murid-murid Mbah Prapto berkumpul bersama untuk mengenang dan mendoakan beliau. Keluarga Mbah Prapto menyelenggarakan sesi doa dengan Banthe dan keluarga dekat Mbah Prapto. Kegiatan tersebut bertempat di Studio Plesungan, Mojosongo, Surakarta kediaman Mbak Melati, anak dari Mbah Prapto..

Dalam acara itu, murid-murid Mbah Prapto berbagi pengalaman mereka selama berlatih bersama beliau, merefleksikan perjalanan kesenian mereka. Salah satu murid Mbah Prapto yang biasa disebut Mbah Mugi menceritakan bagaimana cara Mbah Prapto memberikan ilmu kepada beliau, dengan kembali ke dasar dan tradisi, pentingnya eksplorasi diri dalam seni, fokus meditasi, dan konsentrasi gerakan sehingga memahami tentang panggung dalam pertunjukan. Mbah Prapto menjelaskan proses belajar mulai dari gerakan dan vokabuler. Menyadari bahwa gerakan sebelumnya tidak sesuai dengan tradisi sehingga menemukan pentingnya kembali pada dasar dan tradisi yang dimiliki. Pengalaman dengan Mbah Prapto  juga mengajarkan kebebasan bergerak dan menggali ide. Selalu menggunakan simbol-simbol dalam meditasi, seperti meditasi bambu, untuk meningkatkan konsentrasi.

Dalam tutur Mbah Mugi “Mbah Prapto selalu bilang “pulang”. Saya tuh mulai gimana, pulang gimana, saya mencari apa yang dimaksud pulang itu. Setelah saya gerak-gerak, akhirnya saya menggunakan vokabuler Jawa. Waktu itu dengan gerak Jawa, akhirnya Mbah Prapto  bilang “nah itu, gitu” terus saya mengingat, oh berarti saya harus kembali pada basic saya, yang saya punya. Terus saya mengerti, memahami, sebelumnya kan saya menari dengan gerak-gerak yang aneh-aneh, yang wah seperti kebarat-kebaratan atau apa, itu mungkin waktu itu tidak masuk pada tradisi yang saya punya, mungkin gitu. Setelah itu baru tahu, oh mulai, pulang, oh artinya saya harus kembali pada basic yang saya punya.”

Amerta Movement: Ritual dan Eksplorasi Artistik

Joget Amerta, yang dikembangkan oleh Suprapto Suryodarmo, merupakan pendekatan unik terhadap gerak yang menghubungkan kesadaran tubuh, ruang, dan spiritualitas. Joget Amerta menekankan pengalaman langsung dan improvisasi, mirip dengan konsep liminalitas yang dijelaskan oleh Victor Turner (1969) dalam studi ritual. Dalam prosesnya, pelaku memasuki ruang antara—bebas dari struktur sosial yang kaku— sehingga memungkinkan eksplorasi spontan yang mengarah pada komunitas, atau pengalaman keterhubungan mendalam dengan diri sendiri dan orang lain. 

Dari perspektif seni pertunjukan, Gerakan Amerta tidak hanya menjadi teknik gerak, tetapi juga ritual kontemporer yang melampaui batas tradisional antara seni, meditasi, dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, seni tidak hanya diproduksi untuk tontonan, melainkan menjadi sarana refleksi dan transformasi diri. Dengan demikian, Joget Amerta menghadirkan seni sebagai proses yang hidup dan dinamis, yang terus berkembang melalui praktik individu maupun kolektif. Kesimpulannya, Joget Amerta adalah bentuk gerak ritual dalam seni yang mengundang kesadaran penuh terhadap tubuh dan ruang, menekankan spontanitas  dan  hubungan  antarmanusia.


Referensi 

Turner, V. (1969). The ritual process: Structure and anti-structure. Routledge.

Ardi Isnanto, B. (2019). Penari Senior Asal Solo, Suprapto Suryodarmo Tutup Usia. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4839039/penari-senior-asal-solo-suprapto-suryodarmo-tutup-usia 

Lavelle L. (2006). Amerta Movement of Java, 1986-1997: An Asian Movement Improvisation. https://www.lunduniversity.lu.se/lup/publication/386ee7a0-bf67-40d0-8724-8b01bcd5242f 

Suprapto Suryodarmo. (n.d.). https://festival.borobudurwriters.id/bio/suprapto-suryodarmo/ 

Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris

______________________

Sephia Putri Fatima berasal dari Semarang, masuk di dunia kesenian saat kuliah di ISI Surakarta jurusan Etnomusikologi, tempatnya  mempelajari penulisan tentang budaya musik. Mulai semester 5, ia  mengikuti magang mata kuliah Sumber Daya Kesenian di sanggar Omahmili dan belajar dengan pemilik sanggar (Ayu Wardani), lulusan ISI Surakarta jurusan Seni Tari. Ia tertarik dengan Amerta saat Ayu Wardani memberikan ilmu tentang Amerta. Ayu ialah  anak didik mbah prapto yang mengembangkan  teknik lingkaran, teknik basuh badan, dan teknik sapa jagad dan menjadikannya  pertunjukan seni di tingkat nasional hingga internasional. Ayu wardani banyak memberikan ilmu dari banyak sudut pandang. Ayu Wardani juga mengajaknya untuk berlatih tentang Sardiw,  perkembangan dari Joged Amerta. Sephia melanjutkan kuliah di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret untuk mengembangkan teori budaya dan menulis tentang Sardiwa.

[wpdm_package id=’20106′]

Tags: joget amerta Sephia Putri Fatima

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju