Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 memutuskan Ahmadiyah sebagai gerakan yang melenceng dari Islam dan mesti menghentikan aktivitas dakwahnya. Sayang, SKB tersebut oleh sebagian kelompok Muslim dijadikan justifikasi atas perlakukan intimidatif terhadap kelompok Ahmadiyah. Perempuan Ahmadiyah termasuk korban atas “vonis” sesat yang beberapa kali berujung dengan aksi kekerasan.
Bagaimana perjuangan identitas para perempuan Ahmadiyah mempertahankan identitas dalam situasi dilematis ini diangkat oleh Nina Mariani Noor, mahasiswi ICRS UGM yang juga seorang perempuan Ahmadiyah dan menjadi anggota Lajnah Ima’illah (organisasi komunitas Ahmadiyah) cabang Yogyakarta pada kesempatan Wednesday Forum CRCS-ICRS, Rabu 5 Oktober 2011 lalu dengan topik “Negotiating Identity in Indonesian Nation-State: Ahmadi Women Experience (A Study case in Yogyakarta)”.
Mula-mula Nina menjelaskan tentang dua kelompok Ahmadiyah yang berkembang di Indonesia yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berakar ke Lahore, Pakistan dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyyah Congregation of Indonesia) yang berakar ke Qadian, India. Kelompok terakhir adalah yang diklasifikasi sesat oleh SKB 3 Menteri dan merupakan kelompok di mana Nina berafiliasi dan melakukan penelitian. Menggunakan metode kuantitatif, Nina membagi kuesioner kepada sepuluh perempuan Ahmadiyah di samping juga melakukan observasi partisipan.
Ada tiga kategori perempuan Ahmadiyah yang ditemukan Nina berdasarkan pertanyaan penelitian mengenai pengelolaan identitas dalam konteks nasional Indonesia pasca SKB. Pertama adalah kelompok yang menyimpan identitas secara rahasia. Kedua, kelompok yang membuka identitas dalam kondisi aman. Ketiga, tipelogi yang dengan berani menunjukkan identitas ke-Ahmadiyahannya. Bahkan beberapa responden yang diklasifikasi dalam kelompok ketiga semakin berani menunjukkan identitas pada masa pasca SKB.
Pada sesi diskusi, Dr. Zainal Abidin Bagir menyatakan bahwa selama ini penelitian tentang Ahmadiyah didominasi oleh kajian hukum baik hukum Islam maupun hukum nasional. Oleh karena itu, riset yang diangkat Nina menjadi penting karena akan memberikan perspektif berbeda tentang kelompok Ahmadiyah. Namun, menempatkan Yogyakarta sebagai lokasi penelitian agaknya kurang bisa memberikan gambaran yang lebih luas tentang perjuangan identitas penganut Ahmadiyah karena kelompok Ahmadiyah di kota ini relatif terjaga dari perlakuan represif dari kelompok Muslim lain.
Merespon pertanyaan tentang sikap kelompok Ahmadiyah dalam memposisikan kelompok non-Ahmadi, dan konsep penyembunyian identitas keagamaan, Nina mengatakan bahwa dalam Ahmadiyah, orang lain di luar kelompoknya dianggap sebagai ‘ghair’ (yang lain) dan sikap penyembunyian identitas keagamaan tidak akan berimplikasi apapun secara teologis, asal anggota Ahmadiyah tetap menaati aturan negara.
Menanggapi pertanyaan tentang tawaran beberapa tokoh Islam agar Ahmadiyah memproklamirkan diri sebagai agama independen di luar Islam, Nina menjawab bahwa penganut Ahmadiyah melakukan ibadah yang sama seperti muslim lainnya, sehingga kenapa diminta memisahkan diri sebagai agama baru? Dr. Zainal menambahkan bahwa meskipun gagasan penetapan agama baru dianggap solusi terbaik oleh beberapa kalangan, namun tidak serta merta memberikan garansi akan berkurang atau berhentinya tekanan terhadap kelompok Ahmadiyah. [MoU]