Jeanne Zimmerly Jantzi |
Konservatif sekaligus inklusif. Demikian ungkapan yang layak disematkan kepada komunitas Kristen Mennonite yang mempraktekkan ajaran Anabaptisme. Hal ini muncul dalam kesimpulan buku “Among The Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim bersama Komunitas Mennonite Amerika” karangan Sumanto Al-Qurtubi, akademisi muslim Indonesia yang pada tahun 2005 hingga 2007 berinteraksi dengan kaum Mennonite Amerika. Kesimpulan Sumanto ini dibenarkan oleh Jeanne Zimmerly Jantzi, aktivis Mennonite Central Commitee (MCC) yang hadir sebagai pembicara dalam Wednesday Forum CRCS-ICRS 7 Maret 2012 lalu.
Jeanne yang membawakan makalah berjudul “Global Anabaptist: Identity and Interest” bercerita tentang leluhurnya, kaum Mennonite Eropa yang hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1816 akibat letusan hebat Gunung Tambora di Indonesia. Kaum Mennonite sendiri adalah salah satu kelompok penganut Anabaptisme yang muncul di Eropa pada abad ke-16.
MCC merupakan organisasi payung tujuh belas kelompok jemaat Mennonite di Amerika Serikat dan Kanada. Jeanne, lebih dari sepuluh tahun berada di Indonesia, menjadi relawan organisasi yang bergerak di Indonesia sejak 1948 ini. MCC menjadi patner beberapa gereja Mennonite seperti Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ), Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), dan Jemaat Kristen Indonesia (JKI).
Anabaptisme sendiri merupakan kelanjutan dari gerakan reformasi Kristiani yang menolak pembaptisan bayi serta perlunya pemisahan antara agama dengan kekuasaan. Pembaptisan seharusnya menjadi ranah kebebasan individu dewasa, bukan diselenggarakan ketika masa kanak-kanak. Meskipun pewarisan dan pembelajaran nilai-nilai keKristenan tetap dilakukan sedari dini.
Istilah Mennonite dinisbatkan pada Menno Simons, seorang Imam Katolik Belanda yang berpindah ke ajaran Anabaptisme di abad ke-16. Kaum Mennonite di Eropa pada masa itu, sebagaimana kelompok penganut Anabaptisme lainnya, mengalami pemenjaraan, penyiksaan, dan pembunuhan, dibakar ataupun ditenggelamkan karena dicap sebagai kelompok sesat.
Salah satu pahlawan yang selalu dikenang oleh kaum Mennonite adalah Dirk Willems, seorang tahanan yang lari dari penjara tapi justru menolong pengejarnya sewaktu terperosok di kubangan es. Dirk akhirnya ditangkap kembali dan kemudian dihukum mati. Kisah para martir Anabaptis senantiasa dikenang oleh kaum Mennonit dan diabadikan dalam buku “The Martyrs Mirror” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Cermin Para Martir”.
Keberadaan Yesus tetap menjadi tema sentral kaum Mennonite. Iman kepada Yesus mesti diimplementasikan dalam setiap ucapan dan perbuatan. Jalinan komunitas dan sikap tolong-menolong senantiasa dijunjung tinggi. Hal itu mereka wujudkan lewat acara pencucian kaki antar jemaat yang merujuk pada sejarah Yesus saat kebaktian gereja dan kampanye perdamaian dunia sebagai perjuangan kaum Mennonite di seluruh dunia.
Aktivitas MCC di Indonesia meliputi kerjasama dengan beberapa LSM serta institusi pendidikan tinggi, termasuk program dosen tamu di CRCS-ICRS sejak 2007. MCC terlibat aktif dalam dialog antar iman, training kepemimpinan serta penanggulangan bencana. Pendanaan kegiatan MCC tidak bersumber dari negara manapun, tetapi dari donasi perorangan.
Kini umat Kristen Mennonite berjuang untuk menghapus citra eksklusif etnik serta sejarah kolonial melalui program gereja multietnik. Pengikut Mennonite seluruh dunia termasuk dari Indonesia dikirim ke berbagai negara selama setahun untuk merasakan kehidupan komunitas-komunitas Mennonite lainnya. Selain itu, MCC juga menerbitkan buku-buku useful untuk kehidupan sehari-hari seperti buku-buku resep masakan dan menyanyikan puji-pujian dalam bahasa lokal saat kebaktian.
Presentasi impresif mengundang banyak pertanyaan dari peserta diskusi, antara lain: posisi Mennonite sebagai gerakan global Kristen di tengah-tengah dominasi Katolik dan Protestan, serta sikap pasifis mereka. Jeanne menjawab, Mennonite sebagai gerakan transnasional telah melakukan komunikasi dengan kelompok Katolik dan Protestan. Bahkan rekonsiliasi ini diadakan melalui acara-acara formal. Sementara itu, kesan pasifis tidaklah sepenuhnya benar. Pengikut gerakan ini memang tidak melakukan perlawanan frontal ketika disakiti atau disudutkan. Namun mereka aktif melakukan pencegahan konflik-konflik di banyak tempat.
Salah seorang pengajar CRCS UGM, Dr. Fatimah Husein, menanyakan relasi tiga gereja Mennonite Indonesia. Jeanne menyebutkan bahwa kini umat Mennonite Indonesia berinteraksi dengan baik meski berada di bawah naungan gereja yang berbeda. Sempat ada sedikit perpecahan akibat pengaruh gerakan Kristen yang lebih baru, tetapi gesekan itu bisa diselesaikan dengan baik.
Jeanne mengakui, sejarah dan perkembangan jemaat Mennonite di Indonesia mau tak mau tidak bisa dilepaskan dari Kolonialisme Belanda. Tetapi seiring perjalanan waktu, peran penduduk lokal semakin kuat. Bahkan ada sekelompok umat Kristen Jawa bersama tokoh legendaris Ibrahim Tunggul Wulung yang berusaha merintis “desa-desa Kristen”.
Dr. Zainal Abidin Bagir, direktur CRCS, yang berada di antara peserta diskusi, menanyakan bagaimana konsep konservatisme dipahami oleh kaum Mennonite terkait dengan isu konservatisme dalam percaturan politik Amerika Serikat dan isu konservatisme Islam.
Jeanne mengatakan bahwa konservatisme dalam ajaran Mennonite tidak berbau politis melainkan lebih pada “ketegasan mengikuti ajaran Yesus”. Untuk konteks Amerika, kaum Mennonite sering dianggap “tak patriotik” karena tak mau hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Pada Perang Dunia II mereka pun menolak turut serta. Kaum Mennonite berargumen, loyalitas tidak semestinya diberikan kepada negara namun kepada dunia.
Mengenai konservatisme Islam, Jeanne menceritakan pengalaman seorang agamawan Mennonite Indonesia yang berusaha mendekati beberapa pemimpin kelompok “Islam konservatif”. Melalui usaha panjang dan tak kenal lelah, akhirnya hubungan itu berlanjut lewat aktivitas kerjasama kemanusiaan bantuan bencana alam. [MoU]