Subandri Simbolon | CRCS | Wedforum
Konteks budaya lokal, politik, dan sosial merupakan sejumlah faktor yang sering kali memengaruhi respon kaum Muslim terhadap teori evolusi dalam bidang biologi dan sains modern. Demikianlah salah satu pernyataan Salman Hameed dalam Wednesday Forum, pada Rabu (3/10/2012). Menurut Hameed, faktor-faktor ini memiliki implikasinya tersendiri dalam perdebatan ilmiah tentang hubungan sains dan agama (Islam) di kalangan para ilmuwan Muslim. Bahkan, situasi tersebut tak jarang membuat perdebatan mengenai teori evolusi menjadi sejenis perdebatan parenial di kalangan mereka. Meskipun perdebatan ini masih relatif baru di dunia Islam, dalam beberapa derajat tertentu ia juga turut memengaruhi “identitas” mereka sebagai kaum Muslim. Hal ini pula yang -menurut Hameed— membuat sains masih belum diterima sebagai suatu kemajuan yang positif. Hameed berasumsi bahwa sikap kaum Muslim terhadap sains, khususnya teori evolusi, sangat ditentukan oleh konteks sosial, politik, dan budayanya.
Di beberapa negara, teori evolusi dan sains mendapat penolakannya yang tegas. Salah satu contoh konkret dari penolakan ini adalah tindak pengutukan pemerintah Arab Saudi terhadap film Pokemon karena salah satu karakter film itu diyakini berlandaskan pada teori evolusi. Menurut Hameed, tindakan ini secara langsung merepresentasikan penolakan kaum Muslim terhadap teori evolusi (sains). Penolakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, sikap serupa juga disampaikan oleh penduduk Arab. Seorang Arab yang diwawancarai oleh Hameed, misalnya, pernah berkata “saya memang tidak pernah menonton kartun, tetapi kalau penolakan ini dilakukan karena alasan sikap atas teori evolusi, penolakan itu adalah benar.”
Meski demikian, di beberapa wilayah Islam, ada beberapa tokoh dan komunitas yang mendukung teori evolusi. Salah satunya adalah Osama Hassan. Menurut Hassan, evolusi itu baik untuk Islam. Ia bahkan pernah memberi pengajaran di sebuah masjid di London tetang evolusi. Akan tetapi, ada banyak orang muslim yang menolak pendapat ini, bahkan melontarkan ancaman terhadapnya. Selain Hassan, IAP (Interacademy Panel on International Issues) pada tahun 2006 pernah mengeluarkan pernyataan yang mendukung evolusi. “Commonalities in the structure of the genetic code of all organisms living today, including humans, clearly indicate their common primordial origin” (kesamaan struktur kode genetika semua organisme yang hidup sekarang, termasuk manusia, dengan jelas menunjukkan adanya kesamaan asal primordial). Pernyataan ini secara jelas memberi dukungan tidak hanya kepada evolusi umum tetapi juga evolusi manusia.
Kasus lain dari penolakan ini juga terjadi di lingkungan akademik. Di beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Oman, tema tentang evolusi tidak pernah dimasukkan dalam buku pelajaran. Sementara itu, di negara-negara muslim lain, seperti Pakistan, Iran, Turki, Mesir, dan Indonesia, pelajaran tentang evolusi memang dicantumkan. Namun, tema itu tidak menyinggung soal evolusi manusia, melainkan tentang evolusi dalam bidang IPTEK, bioteknologi, biosains, dan teori-teori evolusi umum lainnya.
Perdebatan tentang relasi sains dan agama masih belum sepenuhnya menunjukkan intensitasnya yang tinggi di dunia Islam. Salah satu isu mendasar yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini adalah tentang siapa yang layak untuk menafsirkan evolusi? Ilmuwan, profesional, agamawan, atau yang lain? Pada abad ke-19, di kalangan Muslim Eropa, pernah didebatkan mengenai bagaimana peranan sains dalam agama Islam. Salah satu kasus yang dapat mewakili perdebatan tersebut adalah pengamatan terhadap bulan untuk menentukan bulan puasa. Di Pakistan, pada umumnya terdapat tiga pendapat tentang kapan seharusnya bulan Ramadhan ini mulai dilaksanakan. Yang menarik adalah bahwa dalam penentuan tanggal itu, tidak ada seorang pun dari pada ilmuwan yang dilibatkan. Mereka yang terlibat hanyalah para ulama. Selanjutnya, bisa diperkirakan bahwa keputusan mereka atas penentuan bulan puasa pada akhirnya dianggap sebagai bagian dari ilmu astronomi. Menurut para ulama, mereka tidak mengikuti sains, tetapi sainslah yang harus mengikuti mereka.
Berdasarkan pada realitas inilah, Hameed tertarik untuk melakukan riset lebih lanjut. Salah satu pertanyaan yang ia ajukan adalah apakah para dokter dan mahasiswa kedokteran menerima teori evolusi manusia atau tidak. Dalam penelitian tersebut, ia menggunakan metode wawancara. Ada dua variabel yang digunakan: pertama, menerima atau tidak menerima teori evolusi manusia sebagai variabel terikat (dependent variable), dan kedua, apakah mereka shalat lima waktu setiap hari, atau kadang-kadang, atau tidak pernah shalat sama sekali sebagai variabel bebas (independent variable).
Dengan menggunakan kedua variabel ini, Hameed pertama-tama mewawancarai para dokter dan mahasiswa kedokteran keturunan Pakistan yang studi atau bekerja di AS. Hasilnya, sebagian di antara mereka menerima teori evolusi umum. Mereka yang jarang shalat (kadang-kadang) menerima sebagian teori tersebut, sementara yang shalat lima waktu menolak semua teori. Saat ditanyakan mengenai apakah mereka menerima teori evolusi manusia, mereka yang tidak shalat menerima teori itu, mereka yang shalat kadang-kadang sebagian menolak, dan sebagian lagi ragu-ragu, sementara mereka yang sholat lima waktu sepenuhnya menolak teori tersebut.
Temuan lain yang tidak kalah menarik adalah hasil risetnya di Malaysia. Di negeri Jiran ini terdapat budaya wajib shalat lima waktu. Artinya, para nara sumber rata-rata mengaku shalat lima waktu, meski mereka kadang-kadang tidak atau malas melakukannya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka menerima teori evolusi umum. Tetapi, ketika ditanya tentang teori evolusi manusia, mereka berusaha berkelit untuk tidak menjawab, atau menolak dengan ragu-ragu. Ada juga yang mengatakan, “Yah, itu adalah pertanyaan kompleks. Saya menerima teori evolusi, tetapi saya tidak mengimaninya”. Menurut Hameed, pendapat ini menegaskan bahwa teori evolusi masih ditolak, bahkan oleh para praktisi sains sekalipun. Selain itu, ada juga yang mengatakan, “Ok, ketika saya di rumah sakit, saya menerima teori itu, tetapi ketika di rumah saya menolaknya.”
Bila ditinjau secara komprehensif, kata Hameed, ada perbedaan besar antara pendapat dokter dan mahasiswa kedokteran yang berasal dari Pakistan dengan yang di Malaysia. Artinya, pendapat orang tentang evolusi umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial, budaya, dan politiknya. Hameed berasumsi bahwa ada faktor yang membuat para partisipan berpendapat demikian. Menurutnya, faktor itu adalah faktor identitas. Kesimpulan ini ia peroleh setelah memberikan pertanyaan elaboratif lebih lanjut, yang kemudian dijawab oleh seorang dokter Pakistan, “ jika evolusi manusia dan agama datang secara bersamaan ke dalam pikiranku, aku takut kehilangan agamaku”. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa identitas (agama) juga berpengaruh terhadap pola pikir umat beragama. Dengan demikian, yang menjadi akar dari penolakan terhadap evolusi (sains) pada hakikatnya adalah masalah identitas.
Di akhir diskusi, Hameed menyimpulkan bahwa berdasarkan kedua variabel tersebut di atas terdapat hubungan yang tegas antara religiusitas dan sikap terhadap teori evolusi. Perbedaan antara sains dan agama, baik secara teoretis maupun praktis, masih memengaruhi cara berpikir para dokter dan mahasiswa kedokteran tentang sains. Begitu pula, praktik-praktik keagamaan juga memberi implikasi tersendiri terhadap penerimaan ilmu biologi. Orang yang religius menolak sebagian bahkan semua teori evolusi. Sementara itu, orang yang kurang religius cenderung menerima teori evolusi. Semua ini, menurut Hameed, muncul karena kebanyakan kaum Muslim beranggapan bahwa menerima teori evolusi akan menggangu identitas keagamaan mereka. Dalam diskusi ini, Hameed pada akhirnya mengajak kita untuk sekadar berefleksi tentang “bagaimana menjadi seorang Muslim di era modern”. (Ed-Fawaid)