• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Agama dalam Hubungannya dengan Kekerasan

Agama dalam Hubungannya dengan Kekerasan

  • Articles, Berita, Headline, News
  • 6 January 2017, 11.47
  • Oleh:
  • 0

Anang G. Alfian* | CRCS | Class Journal

Dr. Iqbal Ahnaf mengajar tentang Agama dan Konflik
Dr. Iqbal mengajar tentang agama dan konflik di SPK IV

Salah satu mata kuliah yang diajarkan di CRCS adalah Religion, Violence, and Peace Building (Agama, Kekerasan, dan Perdamaian). Tiga kata kunci ini menjadi variabel dan titik tolak diskusi tentang hubungan agama dan konflik sosial dan bagaimana upaya untuk membangun perdamaian.
Diampu oleh Dr. Iqbal Ahnaf, mata kuliah ini membahas, antara lain, persoalan relasi antara agama dan konflik. Ini dibahas di pertemuan pertama untuk membuka wawasan tentang perdebatan yang terjadi mengenai hubungan kausalitas antara agama dan kekerasan.
Pada pertemuan ini, satu dari dua bacaan yang dipakai sebagai bahan readings adalah artikel dari Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger, Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict (Journal of International Studies, 2000).
Dalam artikel itu, Hasenclever dan Rittberger memaparkan tiga mazhab dalam dunia akademik dalam membaca hubungan agama dan konflik, yaitu (1) primordialis, (2) instrumentalis, dan (3) konstruktivis.
Kaum primordialis berpandangan bahwa agama dalam dirinya sendiri memiliki unsur inheren yang dapat menyebabkan konflik. Ketika terjadi “konflik agama”, agama dibaca oleh kaum primordialis sebagai variabel yang independen, unsur yang tidak bergantung pada aspek-aspek lain, dan perbedaan identitas keagamaan itu sendiri bisa cukup sebagai penyebab konflik.
tabel-hasenclever-dan-rittberger
Skema dari artikel jurnal Hasenclever dan Rittberger (2000): “Does Religion Make a Difference?: Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict”

Kaum instrumentalis melihat peran agama dalam “konflik agama” sebagai instrumen saja, dan tidak memiliki peran objektif dalam dirinya sendiri. Menurut kaum instrumentalis, penyebab utama konflik adalah kepentingan politik dan ekonomi. Bagi kaum instrumentalis, agama hanya berperan dalam retorika saja, dan relasinya dengan konflik bersifat semu belaka.
Kaum konstruktivis tampak berada di tengah-tengah antara kedua kelompok di atas. Konstruktivis bersetuju dengan instrumentalis dalam hal bahwa penyebab fundamental konflik bukanlah agama, melainkan kepentingan politik dan ekonomi. Namun konstruktivis juga bersepakat dengan primordialis dalam hal bahwa agama memiliki peran nyata objektif, namun bukan sebagai penyebab utama, melainkan eskalator konflik. Agama, ketika terlibat dalam konflik, dapat membuat konflik semakin mematikan, deadly. Juga, berbeda dari primordialis yang berpandangan bahwa agama menjadi variabel independen dalam konflik, bagi kaum konstruktivis agama berperan secara dependen, tergantung pada faktor-faktor ekonomi dan politik lain yang melingkupi konflik tersebut; seberapa besar peran agama mengeskalasi konflik tergantung pada seberapa akut benturan antar kepentingan politik dan ekonomi dalam konflik itu.
Ketiga cara pandang di atas tidak bisa diperlakukan secara universal. Tapi ketiganya bisa dijadikan lensa analitis dan ditempatkan dalam suatu spektrum. Bagaimana menentukan peran agama dalam suatu konflik mestilah dimulai dari detil kasus konfliknya, lalu naik melihat lensa-lensa analitis yang ada, kemudian menentukan di antara yang tersedia manakah penjelasan yang lebih tepat.
Dalam “kasus Sunni-Syiah” Sampang, misalnya, dimensi konflik yang terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan ideologis semata, namun juga karena adanya instrumentalisasi agama oleh elite politik, karena konflik ternyata bereskalasi pada masa perebutan kekuasaan menjelang pemilu daerah, sehingga narasi-narasi agama di legitimasi sedemikian rupa untuk suatu tujuan politik. Dalam melihat hal ini, kita tak bisa berhenti pada pandangan kaum primordialis—inilah pandangan yang diadopsi oleh mereka yang memercayai bahwa konflik Sampang itu adalah konflik Sunni-Syiah. Dimensi sosial politik dalam konflik itu wajib dihitung, mulai dari yang kecil seperti persengkataan internal keluarga, perebutan umat, hingga yang lebih makro seperti instrumentalisasi konflik untuk mendulang dukungan dalam pemilu.
Dalam perspektif konstruktivis, intervensi terhadap konflik dengan menyuarakan nilai-nilai kebajikan agama, kearifan lokal, dan slogan-slogan orang Madura Sampang sangat membantu upaya rekonsiliasi konflik, yakni untuk melakukan deskalasi terhadap konflik itu dengan mengajukan narasi tandingan primordialis. Penelitian Dr. Iqbal Ahnaf beserta peneliti yang lain dalam serial laporan CRCS tentang kehidupan beragama di Indonesia yang bertajuk Politik Lokal dan Konflik Keagamaan menunjukkan instrumentalisasi agama oleh elit politik di Sampang menjelang pilkada. Tesis S2 terkait kasus Sampang ini juga ditulis oleh mahasiswa CRCS angkatan 2010 Muhammad Afdillah yang kini telah dijadikan buku dengan judul Dari Masjid ke Panggung Politik.
Kasus Sampang merupakan contoh yang bagus untuk membaca seberapa besar peran agama dalam konflik, dan ini membutuhkan data dan analisis yang cermat. Contoh-contoh lain dari yang terjadi di Indonesia yang bisa diambil ialah kasus Ambon dan Poso, atau yang belum lama ini terjadi seperti di Tolikara, Tanjungbalai, atau bahkan kasus dugaan “penodaan agama” dalam pilkada Jakarta.
*Penulis adalah mahasiswa CRCS angkatan 2016

Tags: Agama Agama & Negara class CRCS Iqbal Ahnaf ISIS religion Religious Sampang Sunni-Syah violence

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju