Agama dan Ekologi dalam Gerakan Chipko di India
Tarmizi Abbas – 6 Januari 2021
Sebelum gerakan ekologi modern diteorisasi, komunitas-komunitas adat atau agama lokal di pelbagai penjuru dunia merupakan kelompok yang menerjemahkan kesadaran ekologis dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, kesadaran ekologis berbasis kepercayaan religius ini melekat erat dalam kepercayaan dan tradisi mereka serta mendorong lahirnya aksi perlawanan terhadap para perusak alam. Salah satunya, yang akan disorot dalam esai ini, ialah gerakan Chipko di Uttar Pradesh, India.
‘Chipko’ sendiri secara literal berarti ‘memeluk’ atau ‘melekatkan’. Nama ini menyimbolkan taktik utama anggota gerakan ini dengan merangkul pohon untuk melindunginya dari para penebang liar. Di abad ke 20, gerakan Chipko kian masif dan mengambil inspirasi dari Satyagraha, yakni gerakan perlawanan non-kekerasan ala Mahatma Ghandi, serta pandangan tentang kesatuan antara manusia dan alam. Bila pada abad 18 gerakan perlawanan semacam ini dialamatkan pada kekuasaan raja, di era Ghandi dan setelahnya gerakan Chipko menjadi perlawanan terhadap keserakahan korporat baik dari kaum kolonial Inggris maupun pemerintah India sendiri yang ingin merampas sumber daya masyarakat lokal.
Bishnoi sebagai Inspirasi
Khabirul Alam dan Kumar Halder dalam A Pioneer of Environmental Movements in India: Bishnoi Movement (2018) menyebut bahwa gerakan Chipko terinspirasi dari aksi masyarakat penganut ajaran Bishnoi, salah satu sekte Hindu, di desa Khejarli, pada abad 18. Alkisah, pada 1730 perempuan bernama Amrita Devi di Desa Khejarli melindung pohon Khejri (Prosopis cineraria) dari tentara Abhay Singh, raja Jodhpur saat itu, yang menginginkan kayunya untuk dijadikan bahan baku pembangunan istana kerajaan yang baru. Bagi masyarakat lokal, pohon Khejri memiliki berbagai manfaat. Dedaunannya dapat digunakan untuk memberi makan ternak bahkan ketika musim kering. Kulit kayunya juga dapat digiling menjadi tepung dan digunakan sebagai makanan selama kelaparan.
Saat para tentara kerajaan mengayunkan kapak mereka, Amrita dan ketiga anaknya berlari ke arah pohon Khejri dan memeluknya. Ia lantas berteriak, “Kepala yang ditebas lebih murah harganya daripadi pohon yang ditebang. Maka lebih baik korbankan kepalamu untuk menyelamatkan pohon” (Alam & Halder, 2018:286). Teriakan Amrita ini memantik warga desa untuk ikut berlari dan memeluk pohon. Orang-orang ini bahkan tidak melepaskan pelukannya meskipun satu-persatu kepala mereka ditebas oleh para serdadu kerajaan. Aksi ini berakhir dengan tewasnya 363 orang-orang Bishnoi di tangan para serdadu kerajaan sebelum sang raja mengetahui, meminta maaf, serta melindungi tanah mereka sampai saat ini.
Ajaran Bishnoi yang menginspirasi aksi Amrita, ketiga anaknya, dan masyarakat desa yang mengikutinya digariskan oleh Guru Jambheshwar pada 1451. Jambheshwar mendeklarasikan 29 bentuk aturan “hidup sehat” kepada para pengikutnya. ‘Bishnoi’ itu sendiri berarti 29—‘bish’ berarti 20 dan ‘noi’ berarti 9. Dari 29 aturan ini, 10 di antaranya mengulas prinsip hidup sehat; 9 lainnya tentang perilaku sosial yang sehat; 4 ajaran tentang praktik penyembahan kepada Tuhan; sedang 6 sisanya berbicara tentang kelestarian alam dan mendorong praktik peternakan yang baik.
Lebih spesifik dalam 6 aturan terakhir, ajaran Bishnoi menekankan pentingnya menjaga ekosistem lingkungan. Dua di antara aturan ini mengejawantah dalam kewajiban bagi para penganut Bishnoi untuk selalu berlaku baik kepada seluruh makhluk hidup dan tidak boleh menebang pohon hijau. Kebaikan kepada makhluk ini bahkan diterjemahkan lewat para perempuan yang memberikan asi mereka kepada rusa-rusa hitam lantaran telah dianggap sebagai anak kandung sendiri. Larangan menebang pohon itu juga diterjemahkan menjadi gerakan ekologis untuk melindungi pohon dengan cara memeluknya. Dengan demikian, gerakan Chipko tidak hanya merupakan gerakan ekologis. Lebih mendasar dari itu, gerakannya bersumber pada keyakinan religius.
Pengaruh Ghandi dan Perang Sino-India
Selain kisah penganut Bishnoi, Chipko juga dipengaruhi ajaran Ghandi tentang konsep perlawanan anti-kekerasan (Satyagraha). Argumen ini dirincikan oleh Vhandana Shiva dan J. Bandyopadhyay dalam From the Evolution, Structure, and Impact of The Chipko Movement (1986: 135) yang menyebut bahwa Satyagraha bukan saja merupakan bentuk ‘resistensi pasif’ bagi masyarakat India yang tidak mau lagi patuh terhadap penguasa tiran, melainkan juga gerakan perlindungan alam dari kapitalisme kolonial Inggris di India. Hal ini terjadi pada 1930 ketika Satyagraha menginspirasi aksi perlawanan terhadap monopoli garam dan eksploitasi hutan di India yang merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat.
Dalam kasus garam, Ghandi memimpin 73 orang India melakukan penyulingan garam massal di wilayah Dandi, Pantai Laut Arab. Aksi ini dilakukan untuk menentang pemerintah Inggris yang menjadikan garam sebagai komoditas dan memaksa pribumi untuk membelinya degan pajak yang tinggi. Gerakan kian menyebar meskipun Ghandi dan pada pengikutnya ditangkap. Ia lalu dibebaskan pemerintah Inggris dengan syarat menghentikan gerakan tersebut. Dalam kasus eksploitasi hutan, ratusan masyarakat Gahrwal melakukan protes non-kekerasan kepada pihak kerajaan yang membiarkan pemerintah Inggris menyewa tanah mereka seharga 400 rupe sejak tahun 1850 dan mengeksploitasinya. Naasnya, Chakradhar Jayal, seorang menteri Kerajaan Tehri merusak protes ini dengan mengerahkan prajuritnya. Meskipun aksi tersebut berhasil menghentikan penebangan hutan, ada ratusan korban mati dan terluka.
Impian terbebas dari kolonialisme Inggris tercapai ketika India merdeka pada 1947. Namun tidak berselang lama, konflik antara India dan China yang bermula sejak 1942 memuncak pada 1962. Terjadilah Perang Sino-India setelah pemerintah India menolak proposal penyelesaian konflik di Perbatasan Himalaya yang disengketakan oleh China. Konflik ini dipicu oleh klaim atas sebuah kawasan di Kashmir, yang oleh China disebut sebagai Aksai Chin dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari Tibet. Perang tidak bisa dielakkan lagi dan berlangsung selama 31 hari setelah armada militer China merangsek masuk ke wilayah tersebut dan mulai melancarkan serangan pada masyarakat India. Pada 1963, perjanjian damai dilakukan oleh kedua belah pihak melalui the Line of Actual Control (LoAC) dengan mengembalikan daerah-daerah sepanjang perbatasan Himalaya ke tangan India.
Aksi-aksi Chipko
Setelah LoAC disepakati, daerah-daerah di perbatasan Himalaya, khususnya negara bagian Uttar Pradesh di India mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan. Hanya saja, perkembangan ini menciptakan kapitalisme baru di daerah tersebut. Tulisan Melissa Petruzzello berjudul Chipko Movement: Indian Environmental Movement (2018) menyebutkan bahwa setelah Perang Sino-India berakhir, dibangunlah jalan-jalan masuk ke hutan pedalaman di daerah-daerah tersebut sehingga menarik berbagai perusahaan asing yang mencari sumber daya hutan. Pemerintah India, di sisi lain, juga memutus akses masyarakat lokal di daerah tersebut terhadap lahan dan hutan, padahal mereka sudah lama memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian, perkebunan, dan peternakan.
Menanggapi hal itu, pada 1964 Chandi Prasat Bhatt, seorang aktivis lingkungan yang juga Ghandian, mendirikan organisasi bernama Dasholi Gram Swarajya Sangh (DGSM) yang salah satu tujuannya ialah memberdayakan industri kecil penduduk desa melalui pemanfaatan sumber daya lokal. Organisasi ini lantas berubah menjadi gerakan perlawanan ketika Bhatt mengetahui bahwa banjir bandang yang menghanyutkan lebih dari 200 warga desa pada 1970 disebabkan kerusakan alam akibat ulah perusahaan penebang hutan. Alhasil, pada 1973 ia mengajak masyarakat di desa Mandal untuk melakukan protes Chipko ketika pemerintah tidak mengizinkan mereka mengakses pohon-pohon di hutan sementara pemerintah justru memberikan izin kepada perusahaan penebangan untuk mengeruk sumber daya hutan. Setelah beberapa hari aksi Chipko ini dilakukan, pemerintah membatalkan izin penebangan pohon dan mengalihkannya ke DGSM.
Pada 1973, lewat Sunderlal Bahuguna, satu dari banyaknya generasi baru yang terlibat dalam gerakan ini, mulai memperluas skala, strategi, dan praktik Chipko ke daerah-daerah lain di India. Ia bahkan menambah satu lagi fondasi penting dalam gerakan ini, yakni pandangan Ghandi tentang alam semesta (Shiva & Bandyopadhyay, h. 137). Bagi Ghandi, alam semesta adalah “organisme hidup” yang mengejawantah dalam dua bentuk hukum. Pertama adalah hukum kosmik, yakni bahwa seluruh entitas kehidupan yang ada di alam semesta adalah satu-kesatuan. Ghandi percaya bahwa alam semesta ini terstruktur dan dihuni oleh berbagai makhluk (manusia dan non-manusia) dan keseluruhannya berasal dari “Yang Satu”. Jika manusia gagal memahami spiritualitas yang terpancar di alam semesta, maka alam semesta akan hancur. Kedua adalah hukum spesies, yakni bahwa manusia memiliki kewajiban untuk menjadi “penjaga” atas makhluk lain. Dua ajaran fundamental ini lantas menjadi salah satu prinsip Chipko hingga saat ini.
Protes terbesar di masa Bahuguna terjadi pada 1974 ketika 2.000 pohon di desa Reni akan ditebang oleh pemerintah India. Aktivitas ini lantas ditentang oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan jumlah besar yang menyadari bahwa deforestasi di wilayah tersebut telah akut. Pemerintah India lantas mengutus salah satu perwakilan desa untuk melakukan mediasi. Namun demikian, mereka justru dihadang oleh sejumlah perempuan yang dipimpin oleh Gaura Devi yang telah melakukan aksi Chipko di kawasan hutan dan enggan meninggalkannya. Aksi ini berakhir setelah pemerintah India menciptakan komite untuk menginvestigasi deforestasi di daerah tersebut yang berakhir dengan keputusan berisi larangan terhadap penebangan kemersial selama 10 tahun di daerah tersebut. Secara bertahap, Chipko di India terus menyebar dan menginspirasi banyak komunitas lain di India. Di antaranya terjadi dalam aksi Selamatkan Himalaya pada 1981-1983 dan gerakan-gerakan lain yang masih lestari hingga kini.
Demikianlah, gerakan Chipko merupakan salah satu contoh praktik terbaik (best practice) dari gerakan ekologi keagamaan. Oleh para penulis Barat era kolonial, para inisiator gerakan Chipko dinarasikan sebagai ‘penyembah alam’ (nature worshipper), tetapi justru gerakan inilah yang dapat secara masif mendorong lahirnya gerakan-gerakan ekologi lain di banyak penjuru India. Banyak darinya yang berhasil melindungi alamnya dan, tak kalah penting untuk dicatat, banyak darinya yang digerakkan oleh kaum perempuan.
___________________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah mahasiswa Program Studi Agama Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.
Gambar header: para perempuan gerakan Chipko melindungi pohon—diambil dari Wikimedia Commons.