Agama, Kekerasan Seksual, dan Ketidakadilan Epistemik
Yohanes Babtista Lemuel Christandi – 19 Januari 2024
Keterkaitan agama dan ketidakadilan tidak selamanya dalam relasi oposisi. Agama memang dapat menjadi landasan untuk memberantas ketidakadilan, tetapi nyatanya agama juga merupakan tanah subur terjadinya ketidakadilan.
Selama dua tahun laporan Monthly Update on Religious Issue in Indonesia (MURII), ada satu isu keagamaan yang hampir muncul di tiap edisi yaitu kekerasan seksual di institusi pendidikan berbasis keagamaan. Fakta ironis ini menunjukkan bahwa agama bukanlah tempat yang steril dari ketidakadilan. Malah, ketidakadilan kerap menyamar dalam bungkus narasi keagamaan atau bersembunyi di balik ketiak otoritas keagamaan sehingga sukar dikenali. Miranda Fricker dalam bukunya Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (2007) menyebut fenomena semacam ini sebagai ketidakadilan epistemik.
Tentang Ketidakadilan Epistemik
Secara sederhana, ketidakadilan epistemik ialah ketidakadilan yang muncul akibat prasangka atau bias dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, sebuah informasi dinyatakan benar atau salah berdasarkan prasangka sosial yang berkembang di masyarakat. Fricker mengemukakan terdapat dua wujud ketidakadilan epistemik yakni ketidakadilan testimonial (testimonial injustice) dan ketidakadilan hermeneutis (hermeneutical injustice).
Ketidakadilan testimonial merujuk pada ketidakadilan yang terjadi akibat prasangka terhadap identitas si pembicara. Fricker memberi contoh tentang posisi perempuan di lingkungan kerja yang kerap tidak diperhitungkan pendapatnya oleh orang-orang sekantor. Bukan karena pendapatnya benar atau salah, melainkan karena terbangun prasangka yang melekat bahwa perempuan memiliki karakter kurang rasional atau terbawa perasaan. Praduga ini kemudian menjadi tolok ukur atas kredibilitas pengetahuan yang dimilikinya. Tentu saja kenyataannya tidak demikian. Ada banyak lelaki yang emosional ketika mengambil keputusan dan banyak pula perempuan yang penuh perhitungan dalam bertindak. Dengan kata lain, ketidakadilan testimonial membuat salah satu kelompok masyarakat secara otomatis dan sistematis dihadapkan pada situasi tidak menguntungkan akibat praduga sosial terkait identitasnya.
Di sisi lain ada juga ketidakadilan hermeneutis. Ketidakadilan epistemik ini terjadi karena kurangnya sumber daya pemahaman dan pengetahuan untuk menjelaskan suatu fenomena yang dialami. Salah satu praktik yang jamak terjadi, seperti juga dicontohkan oleh Fricker, ialah kekerasan seksual. Banyak pelaku maupun korban kekerasan seksual yang tidak menyadari bahwa peristiwa yang mereka alami merupakan bentuk dari kekerasan seksual. Si pelaku menganggap tindakannya sekadar candaan. Namun, bagi korban, pengalaman traumatis yang sukar dijelaskan tersebut jelas bukanlah candaan. Kesukaran untuk menjelaskan fenomena yang dialami ini merupakan marginalisasi hermeneutis, yakni ketidakcukupan penjelasan dan pengetahuan untuk menerangkan suatu fenomena yang dialami. Dalam konteks ini, baik pelaku maupun korban, tidak memiliki pengetahuan tentang definisi maupun bentuk-bentuk “kekerasan seksual”. Oleh karena itu, ketidakadilan hermeneutis ini sukar untuk disadari atau diidentifikasi.
Bertolak dari berbagai fenomena tersebut, yang menjadi prakondisi dari kedua macam ketidakadilan epistemik ialah prasangka sosial yang lahir dari relasi kuasa tak seimbang dalam masyarakat. Meskipun lingkup ketidakadilan epistemik mencakup pelaku dan korban, korbanlah yang secara langsung terdampak dari bentuk ketidakadilan ini.
Ketidakadilan Epistemik dalam Kehidupan Beragama
Sebagai sebuah institusi, agama bukanlah sebuah ruang yang steril dari ketidakadilan epistemik. Sebaliknya, institusi keagamaan merupakan ruang yang rentan terhadap ketidakadilan epistemik. Kasus kekerasan seksual di Pesantren Katapang, Kabupaten Bandung, 2022 silam salah satu contohnya. Pelakunya ialah tokoh keagamaan sekaligus pimpinan pondok, sedangkan 20 korbannya merupakan santriwati. Korban yang mulanya datang untuk mencari pengetahuan spiritual kemudian dijebak dan dihasut dengan narasi-narasi kepatuhan dan keagamaan seperti “agar berkah”, “harus taat guru”, dan “ini praktik rukiah”. Banyak dari korban awalnya tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban kekerasan seksual. Ketidakadilan hermeneutis ini rentan dialami oleh individu atau kelompok masyarakat yang pemahaman dan akses terhadap pengetahuan terbatas. Dalam beberapa kasus, pelaku sengaja membatasi akses korban terhadap informasi secara fisik ataupun menakut-nakuti dengan narasi keagamaan tertentu. Alhasil, kekerasan seksual berlangsung sedari korban masih di bawah umur hingga dewasa dan keluar dari pondok.
Di sisi lain, para korban juga mengalami ketidakadilan testimonial. Masyarakat memiliki praduga sosial terhadap pelaku sebagai seorang tokoh agama yang dihormati dan jauh dari tindakan asusila. Praduga sosial inilah yang membuat para santriwati ragu untuk mengungkapkan tindakan ini kepada publik. Mereka khawatir kesaksiannya dipertanyakan atau bahkan dituduh sebagai penghasut. Hal ini diperparah dengan berlapisnya relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku dan korban: antara anak dan orang dewasa, lelaki dan perempuan, santri dan guru, awam dan orang dengan otoritas keagamaan. Dalam kasus lain, ketidakadilan testimonial ini semakin menguat apabila dialami oleh individu dari golongan yang tidak termaginalkan atau rentan, misalnya korban adalah santriwan dan bukan santriwati. Dengan kata lain, ketidakadilan epistemik tidak hanya dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual, tetapi juga oleh masyarakat yang memilih untuk mengabaikan keterangan korban.
Lantas apa yang bisa dilakukan?
Untuk memutus lingkaran setan kasus kekerasan seksual, Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi tersebut mengatur definisi, bentuk, pencegahan, hingga penanganan kekerasan seksual. Keberadaan regulasi ini, sekaligus sosialisasinya ke pesantren dan berbagai institusi pendidikan berbasis keagamaan, merupakan upaya untuk mengatasi ketidakadilan hermeneutis. Akan tetapi, tentu saja ketidakadilan epistemik tidak hilang dengan sendirinya. Agama dengan berbagai doktrinnya masih merupakan alat paling mujarab untuk memoles ketidakadilan.
______________________
Yohanes Babtista Lemuel Christandi adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Uel lainnya di sini.
On the other hand, victims also experience testimonial injustice. Society has social presumptions towards the perpetrator as a religious figure who is respected and far from immoral acts https://storyups.com/