Agama Lokal dalam Dialog Antaragama: Peluang dan Tantangan
Haris Fatwa Dinal Maula – 11 April 2021
Pada awal abad 20, banyak sosiolog mengajukan ‘tesis sekularisasi’ yang menyatakan bahwa agama di masa depan akan semakin punah dari ruang publik. Namun, realitas abad 21 menunjukkan sebaliknya: alih-alih memudah, agama malah makin merangsek dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Kenyataan ini memicu para sosiolog untuk mengkaji ulang tesis klasik itu dan menawarkan pembacaan baru. Sosiolog kenamaan seperti Peter Berger, misalnya, membaca fenomena itu sebagai “the resurgence of religion”, kebangkitan kembali agama.
Kebangkitan kembali agama ini, dalam analisis Berger, dipicu oleh dua faktor utama, yakni teknologi informasi dan demokratisasi. Terkait hal terakhir, bukannya meminggirkan agama, demokratisasi justru membuka jalan bagi munculnya gerakan-gerakan sosial politik berbasis agama di ruang publik. Konsekuensi dari hal ini ialah munculnya sejumlah konflik yang, dalam kadar yang bervariasi, melibatkan agama. Bahkan, agama tidak jarang menjadi kekuatan yang ampuh memobilisasi massa dalam konflik dan kekerasan yang tidak jarang kita lihat beritanya di media massa.
Dalam konteks kebangkitan kembali agama dan banyaknya konflik yang melibatkan agama itulah lahir prakarsa dialog antaragama. Sejarah dialog antaragama sendiri menunjukkan bagaimana upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahpahaman antaragama dan menghindarkan agama-agama dari penyalahgunaan dalam konflik dan kekerasan. Lebih dari itu, dialog antaragama juga bertujuan mempertemukan agama-agama dalam tanggung jawab etis bersama untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Namun demikian, dialog antaragama hingga saat ini cenderung didominasi oleh agama-agama dunia (world relgions). Buku dari Leonard Swidler, The History of Interreligious Dialogue (2013), misalnya, mencerminkan hal itu. Padahal, konflik yang melibatkan agama bukan saja terjadi antar-agama dunia saja, melainkan juga antara agama dunia dan agama lokal.
Bila melihat bahwa tujuan dari dialog antaragama bukan saja menyangkut isu teologis melainkan juga pemecahan masalah bersama terkait isu sosial, ekonomi, politik dan, tak kalah penting, juga isu ekologis, agama lokal merupakan salah satu sumber rujukan yang tak bisa diabaikan. Richard Penaskovic dalam tulisannya Interreligious Dialogue in a Polarized World (2016) menyoroti pentingnya dialog antaragama bukan semata menyoal terorisme dan politik, melainkan juga perubahan iklim global dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam isu yang terakhir inilah, eksklusi terhadap agama lokal dari dialog antaragama akan menghilangkan mitra dialog yang berharga.
Peluang: Isu Ekologis
Kesadaran yang mulai meluas akan degradasi ekologis yang kita alami saat ini dapat menjadi pijakan awal bagi inklusi agama lokal dalam dialog antaragama. Penaskovic yang dikutip di muka menyebutkan bahwa isu-isu sosial dan ekologis membuka peluang bagi dialog antaragama (dunia dan lokal) yang tidak terlalu menekankan perbedaan teologis dan bisa tetap pada misi dialog antaragama, yakni menciptakan dunia yang lebih baik antarsesama manusia dan antara manusia dan lingkungan hidupnya.
Patut disyukuri bahwa gagasan itu belakangan mulai disambut dan mengalami pelembagaan. Salah satu contoh konkretnya ialah Prakarsa Hutan Hujan Antar-Iman (Interfaith Rainforest Initiative/IRI) yang diluncurkan di Norwegia pada 2017. Prakarsa ini bukan peristiwa yang biasa sebab di dalamnya agama lokal dan masyarakat adat mendapat tempat yang cukup sentral—banyak dari mereka mendiami area hutan hujan tropis di kawasan yang dilewati garis katulistiwa. Dengan kata lain, komunitas agama lokal berada dan terlibat langsung di garda depan isu-isu ekologis global. (Baca liputan tentang IRI di situs web CRCS: Menyelamatkan Hutan: Aliansi Lintas Agama dan Masyarakat Adat)
Apa yang istimewa dari agama lokal dalam isu ekologis? Salah satunya ialah pandangan-dunianya terhadap alam. Bagi banyak agama lokal dan masyarakat adat, hutan merupakan entitas yang sakral dan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari modus religiositas mereka. Karena itu, larangan menebang hutan merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh banyak komunitas agama lokal. (Satu contoh kasus tentang bagaimana agama lokal memandang hutan, lihat Samsul Maarif, Ammatoan Indigenous Relgion and Forest Conservation [2015])
‘Teologi hutan’ dari agama lokal inilah satu dari sekian sumber rujukan yang layak mendapat tempat sentral dalam dialog antaragama. Dengan kalimat lain, eksklusi agama lokal dalam dialog antaragama akan menyingkirkan satu mitra dialog yang bisa memperkaya paradigma tentang lingkungan hidup dari agama-dunia (yang tidak jarang disebut cenderung ‘antroposentris’ dan dianggap oleh sejumlah sarjana sebagai penyebab degradasi ekologis).
Tantangan: Meminimalisasi Bias
Pun meski kita melihat ada urgensi untuk melibatkan agama lokal dalam dialog antaragama, sejumlah tantangan mesti diseksamai. Salah satunya ialah pandangan yang merendahkan agama lokal, yang membuat dialog tidak berjalan dalam relasi yang setara. Tulisan James Treat, Native People and Interreligious Dialogue in North America (1996), menunjukkan contoh bagaimana para sarjana Barat yang terjun dalam diskursus dialog antaragama cenderung fokus hanya pada agama dunia sembari mengabaikan apa yang mereka sebut “komunitas tribal” di Amerika. Bias paradigma agama dunia, yang memandang agama lokal dengan sebutan peyoratif seperti ‘heathen’, ‘animis’, dan ‘masyarakat primitif’, belum sepenuhya hilang dari memori kolektif agamawan di Barat. Pelabelan seperti inilah yang mempersempit jalan bagi pelibatan agama lokal dalam dialog antaragama.
Karena paradigma yang memandang komunitas agama lokal secara inferior di hadapan agama-agama dunia inilah dialog antaragama kadang justru menjadi ajang untuk mengonversi pemeluk agama lokal. John Azumah dalam karyanya The Legacy of Arab-Islam in Africa: A Quest for Interreligious Dialogue (2001) menunjukkan bagaimana dialog antaragama di Afrika menjadi kesempatan bagi agama dunia (khususnya Islam dan Kristen) untuk menyebarkan doktrin masing-masing alih-alih memahami perspektif dan pengalaman komunitas agama lokal.
Dalam konteks yang demikian itu, ‘dialog antaragama’ sejatinya bukan lagi dialog, melainkan ajang mendapatkan pengikut baru. Maka dari itu, kita perlu mengingat kembali salah satu pesan teoretisi dialog antaragama Abu Nimer bahwa dialog antaragama semestinya tidak dipakai sebagai wahana dakwah/misionari.
Hanya dalam relasi yang setara, yang tidak menganggap mitra dialog sebagai sasaran konversi, dialog bisa mulai dilakukan. Karena itu, walaupun sulit dihindari, akan lebih baik bila isu-isu teologis bukan diletakkan di awal. Pintu pembuka dialog yang lebih inklusif ialah isu-isu ekologis dan keadilan sosial yang tentangnya agama lokal punya banyak perspektif dan pengalaman yang bisa dibagi dan menjadi inspirasi bagi para pemeluk agama-agama dunia.
__________________________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.