• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Agama Lupakan Peran Kritik Sosial

Agama Lupakan Peran Kritik Sosial

  • Berita Wednesday Forum
  • 28 November 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Agama di ranah publik memiliki dua fungsi, sebagai kritik sosial dan perangkat legitimasi. Namun kecenderungan di Indonesia, agama kehilangan fungsi pertama karena menitikberatkan pada fungsi kedua. Inilah poin utama yang diangkat Achmad Munjid dalam Wednesday Forum CRCS-ICRS, 26 Oktober 2011 dengan presentasi berjudul ‘The Role of Religion as Social Critique’ (Peran Agama sebagai Kritik Sosial).

 

Munjid, kandidat Ph. D. di Temple University, menggunakan terma ‘capital’ dan ‘power’ teori Pierre Bourdieu dan Louis Althusser untuk melihat kuasa agama dan kemampuannya mengolah kapital demi kepentingan sosial. Agama memainkan peran sebagai reservoir ingatan masyarakat seperti yang dikatakan Daniele Hervieu-Leger sehingga motivasi perjuangan sosial mampu diproduksi oleh agama.

 

Perkembangan masyarakat yang semakin “religious”, ternyata tidak berkorelasi positif dengan keberhasilan agama mengelola ingatan komunal demi kepentingan sosial. Agama malah sibuk dengan isu legitimasi, yang menurut Munjid telah menjauhkannya dari tujuan utama yaitu mengkritisi ketimpangan dan opresi dalam masyarakat. Padahal sejarah mencatat kisah para perintis agama baik Jesus, Muhammad maupun Confusius hadir di tengah-tengah masyarakatnya untuk melakukan fungsi itu meskipun menerima pengusiran, pengasingan bahkan pembunuhan.

 

Lebih jauh Munjid menyatakan bahwa kitab suci tidak dipahami monolitik melainkan melahirkan banyak tafsir. Sebagai contoh adalah hukum Islam, para ahli agama Islam berselisih pendapat dan saling berargumen meski menggunakan sumber referensi sama.

 

Salah satu peserta diskusi menanyakan pembagian peran antara kementerian Agama dengan berbagai lembaga agama yang eksis di masyarakat. Munjid menjawab bahwa kementerian agama masih dibutuhkan dalam pelaksanaan ‘aturan main’ namun tidak boleh mengintervensi urusan teologis masing-masing agama.

 

Mengomentari pernyataan Hans Kung, “Tidak akan ada perdamaian antar negara sebelum ada perdamaian antar agama” yang dikutip oleh seorang peserta, Munjid berpendapat bahwa ungkapan itu tidak berarti apa-apa jika sekedar pernyataan informatif yang pasif. Pesan Hans Kung itu harus ditempatkan sebagai pernyataan performatif yang mesti diperjuangkan. Perdamaian antar agama bisa diwujudkan melalui dialog antar agama dan dijadikan imajinasi sosiologis oleh setiap penganut agama-agama.

 

Kritik harus diarahkan kepada institusi agama atau orang yang melupakan pesan dasar agama; persamaan dan kebebasan. Agama memiliki misi luhur namun sering disalahgunakan, pungkas Munjid. [MoU]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

L A B E L Seberapa penting sebuah label? Bagi makh L A B E L
Seberapa penting sebuah label? Bagi makhluk modern, label itu penting walau bukan yang paling penting. Ia menjadi jendela informasi sekaligus penanda diri. Dalam kacamata masyarakat legalis, label juga berarti penerimaan dan perlindungan. Namun, seringkali label itu disematkan oleh entitas di luar diri, terlepas ada persetujuan atau tidak. Karenanya, tak jarang label juga menjadi penghakiman. Dalam silang sengkarut semacam ini, perebutan kuasa bahasa atas label menjadi vital, terutama bagi kelompok rentan yang dimarjinalkan. Kalau kata teman yang alumni dusun Inggris , "label is rebel!"

Simak bincang @astridsyifa bersama @dedeoetomo tentang lokalitas dan ekspresi identitas gender di situs web crcs
Waktu Hampir Habis 😱 HARI INI TERAKHIR PENDAFTA Waktu Hampir Habis 😱
HARI INI TERAKHIR PENDAFTARAN MASUK CRCS UGM 🫣

Jangan sampai lewatin kesempatan terakhir ini !! 
#crcs #ugm #s2 #sekolahpascasarjanaugm
Kupas Tuntas masuk CRCS UGM (Live Recap) #crcsugm Kupas Tuntas masuk CRCS UGM
(Live Recap)

#crcsugm #pendaftarancrcsugm #sekolahpascasarjanaugm #s2 #ugm #live
Beli kerupuk di pasar baru Nih loh ada info terbar Beli kerupuk di pasar baru
Nih loh ada info terbaruuu

Penasaran gimana rasanya jadi bagian dari CRCS UGM? 🧐 Yuk, intip live streaming kita hari Senin, 30 Juni jam 15.00-17.00 WIB yang akan mengupas tuntas seputar pendaftaran, kehidupan kampus CRCS UGM dan banyak lagi!
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY