Catatan redaksi: Alfred Stepan, yang terkenal dalam wacana politik agama di Indonesia dengan gagasannya mengenai “toleransi kembar”, meninggal pada bulan September 2017. Stepan ialah satu dari sekian ilmuwan politik non-Muslim yang, sebagaimana akan ditunjukkan di tulisan di bawah ini, bersimpati pada kaum Muslim; berupaya menentang wacana inkompatibilitas Islam dan demokrasi; dan mengajukan gagasan utama antara lain bahwa untuk menjadi demokrat, tidak harus sekuler. Untuk mengenangnya, redaksi web CRCS menerjemahkan artikel yang ditulis salah satu murid sekaligus sahabatnya, Ahmet T. Kuru. Tulisan-tulisan Stepan dan Kuru termasuk di antara yang dipelajari di CRCS, khususnya dalam mata kuliah Religion, State, and Society.
***
Alfred Stepan, Demokrasi, dan Islam
Ahmet T. Kuru – 25 Oktober 2017
Alfred Stepan, ilmuwan politik kenamaan dunia, meninggal pada 27 September 2017 di usia 81. Bagi saya, dia adalah mentor, sahabat, rekan penulis, dan sumber inspirasi. Tidak mungkin merekap warisan akademiknya dalam tulisan yang singkat. Karena itu, di tulisan ini saya akan fokus pada agenda riset mutakhirnya yang amat produktif: kajian Islam dan demokrasi.
Dalam buku yang sangat berpengaruh, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe (1996), Stepan dan Juan Linz (1926-2013) mengkritik pemerintah-pemerintah Barat yang kerap berstandar ganda dalam dukungan mereka terhadap para otokrat melawan kaum Islamis, seperti dukungan Barat terhadap kudeta militer di Aljazair pada 1991. Stepan menguraikan sudut pandangnya mengenai hal semacam ini dalam publikasi-publikasinya mengenai demokrasi dan agama-agama dunia.
Stepan membawa perspektif komparatif dalam mempelajari agama dan demokrasi. Dalam artikelnya tahun 2000, yang membuka jalan baru dalam bidang kajiannya, “Religion, Democracy, and the ‘Twin Tolerations’”, Stepan berpendapat bahwa Islam, Konghucu, dan Ortodoks Timur tidak secara inheren lebih otoriter daripada Kekristenan Barat. Dia juga mengkritik tesis Samuel Huntington bahwa pemisahan antara ranah agama dan ranah politik hanya ada di peradaban Kristen Barat.
Stepan menggambarkan ideologi-ideologi sekuler sebagai hal yang juga multivokal: kaum sekuler bisa menjadi rezim demokratis, juga bisa menjadi rezim otoriter. Oleh karena itu, dia menawarkan “toleransi kembar”, ketimbang pemisahan mutlak, sebagai solusi untuk masalah seputar sengketa negara-agama. Rumus “toleransi kembar” mensyaratkan bahwa ranah agama dan politik saling menoleransi sebagai bidang yang independen, sementara keduanya masih dapat berinteraksi di tingkat tertentu. Bagi Stepan, semua agama multivokal: agama-agama memiliki tafsir-tafsir yang bisa menyokong otoritarianisme atau mendukung demokrasi.
Stepan terus mempertanyakan wacana bahwa negara-negara Muslim cenderung otoriter. Dalam dua artikelnya, yang ditulis bersama Graeme Robertson (2003-4), Stepan membangun argumen untuk menyatakan bahwa tidak ada “kesenjangan demokrasi Muslim” (Muslim democracy gap). Dua artikel ini menunjukkan bahwa rasio negara-negara demokrasi dan otokrasi di antara negara-negara Muslim non-Arab hampir identik dengan rasio yang ditentukan secara teoritis terkait PDB per kapita negara-negara itu. Stepan menyebut beberapa otokrasi Muslim non-Arab sebagai “overachievers”—miskin namun demokratis. Di sisi sebaliknya, di antara negara-negara Arab, banyak negara-negara yang “underachievers”—kaya tapi otoriter.
Di Columbia University, Stepan membangun jaringan kelembagaan untuk mengembangkan studi demokrasi di negara-negara Muslim. Dengan hibah dari Luce, ia mendirikan Pusat Demokrasi, Toleransi, dan Agama (Center for Democracy, Toleration, and Religon/CDTR) di School of International and Public Affairs (SIPA). Dia juga menjabat sebagai co-founder Institut Agama, Budaya, dan Kehidupan Publik (Institute of Religion, Culture, and Public Life) di Columbia dan membantu pengembangan seri buku dengan judul yang sama di Columbia University Press. Stepan secara intelektual dan institusional mendukung para akademisi muda yang meneliti tentang Islam dan demokrasi, seperti Michael Buehler, Nader Hashemi, Mirjam Kunkler, Monica Marks, dan Jeremy Menchik.
Saya mulai bekerja dengan Stepan pada bulan Januari 2008 sebagai asisten direktur CDTR dan postdoctoral fellow di SIPA, Columbia. Stepan dan istrinya, Nancy, sangat ramah terhadap saya, istri saya Zeynep, dan anak kami yang berumur dua tahun. Saya merasa mendapat keistimewaan dapat bekerja dengan Stepan selama delapan belas bulan dengan penuh dinamika intelektual. Selama masa tersebut, CDTR menyelenggarakan acara dengan mengundang ilmuwan terkemuka dalam bidang agama dan politik di seluruh dunia, termasuk Rajeev Bhargava, Jose Casanova, Robert Hefner, Denis Lacorne, Daniel Philpott, dan Charles Taylor.
CDTR terutama berfokus pada tiga negara demokrasi sekuler dari negara-negara mayoritas Muslim non-Arab, yakni Turki, Indonesia, dan Senegal. Tujuan utama Stepan adalah untuk menunjukkan kompatibilitas antara Islam, demokrasi, dan toleransi kembar dalam ketiga kasus ini. Hasilnya adalah tiga jilid buku—satu tentang Turki (disunting oleh Stepan dan saya), satu lagi tentang Indonesia (disunting oleh Stepan dan Kunkler), dan yang ketiga mengenai Senegal (diedit oleh Mamadou Diouf). Khusus dalam tulisannya mengenai Senegal, Stepan menekankan bagaimana tokoh-tokoh Islam mempromosikan agenda liberal, seperti memerangi mutilasi alat kelamin perempuan dan HIV.
Ketika pemberontakan Arab dimulai, Stepan secara teoritis siap dan secara pribadi bersedia memberikan kontribusi substansial terhadap upaya demokratisasi. Dalam kolom Project Syndicate-nya, dia (dan Linz) memperingatkan tentang bahaya presidensialisme di Mesir pascarevolusi. Stepan terutama memuji Tunisia sebagai negara demokrasi Arab yang baru muncul. Saya bertemu dengannya pada bulan April 2013 di Tunis pada sebuah konferensi tentang Islam dan demokrasi. Dia terus berupaya menjembatani teori demokrasi dan observasi empiris dari kasus Tunisia. Dia optimis tapi juga sadar akan tantangan.
Salah satu kekecewaan terbesar Stepan dalam isu Islam dan demokrasi adalah kasus Turki. Pada awal pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP), Stepan sangat kritis terhadap kebijakan sekuler asertif yang dipraktikkan kaum Kemalis. Dia berharap agar Turki bisa lebih demokratis dengan mengintegrasikan kaum Islamis ke dalam sistem politik Turki. Pada tahun 2008, dia dan saya menyelenggarakan sebuah konferensi internasional untuk membahas konstitusi baru Turki yang sedang dirancang oleh Ergun Özbudun. Ketika sebuah kasus dibuka di Pengadilan Konstitusional Turki untuk melawan AKP, Stepan menulis satu esai di Project Syndicate untuk mengkritik upaya peradilan yang tidak demokratis ini. Pada tahun 2009, Stepan dan saya mengkoordinasikan kunjungan Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan ke Columbia untuk mengisi seminar publik. Sekali lagi, di tahun 2009, kami menyelenggarakan konferensi internasional mengenai demokrasi Turki, yang kemudian menghasilkan buku yang kami edit.
Namun demikian, sejak pertengahan 2012, menjadi jelas bahwa kami terlalu optimis terhadap AKP. Tepat setelah peristiwa Gezi dan polisi Turki menindak para pemrotes, Stepan mengirimi saya email singkat namun sensitif. Dia memberitahu saya bahwa Linz dan dia berpikir bahwa Erdoğan telah “kehilangan (demokrasi)” dan bertanya-tanya: “Apakah kami salah?” Pertanyaannya adalah cerminan khas kerendahan hati dan penghormatan Stepan atas pandangan orang lain. Tentu saja mereka benar. Erdoğan tidak hanya kehilangan kesempatan untuk dikenang sebagai pemimpin yang demokratis, tapi juga mengonfirmasi mereka yang berpendapat bahwa kaum Islamis tidak akan pernah bisa menjadi demokrat. Terakhir kali saya bertemu Stepan ialah pada bulan Juni 2015, dalam sebuah konferensi di Florence. Ia kecewa melihat hancurnya demokrasi di Turki, namun masih berusaha tetap berharap.
Stepan dan saya tetap menjalin kontak melalui email dan mendiskusikan penulisan artikel yang kami tulis bersama mengenai Turki. Saya menjadi cenderung pada pendapat bahwa aktor-aktor Islamis bertanggung jawab atas runtuhnya demokrasi Turki. Stepan, sebaliknya, berfokus pada kepemimpinan Erdoğan. Dia bertanya apakah ada aktivis Muslim yang menolak otoritarianisme Erdoğan? Stepan memiliki simpati terhadap umat Islam dan berusaha keras untuk memahami umat Islam. Dia secara konsisten mengkritik penggambaran stereotipikal mengenai Islam sebagai agama yang otoriter secara inheren. Perhatian mendalam Stepan kepada umat Islam adalah wujud dari rasa hormatnya secara umum kepada semua manusia. Itu juga merupakan cerminan dari pikirannya yang independen dan suka penasaran, dan hati yang besar dan penuh kasih.
Meninggalnya Stepan adalah kehilangan besar bagi ilmu politik, secara umum, dan studi tentang Islam dan demokrasi, secara khusus. Saya berharap warisannya akan bertahan dengan karya-karya dari para muridnya dan orang-orang lain yang terinspirasi olehnya.[]
______________________
Ahmet T. Kuru adalah profesor di departemen ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies, San Diego State University. Bidang penelitiannya mencakup politik komparatif, agama dan politik, dan Islam danTimur Tengah. Lebih jauh tentangnya: http://ahmetkuru.sdsu.edu/
Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di majalah online independen www.opendemocracy.net. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh staf CRCS, Azis Anwar, setelah mendapat izin dari penulisnya.