Beragam Landasan bagi Hak Asasi Manusia
Azis Anwar Fachrudin – 7 Juli 2018
— Refleksi dari kuliah bersama Tore Lindholm dari Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief, Norwegian Centre for Human Rights, Universitas Oslo
Nilai normatif yang paling mendasari Hak Asasi Manusia (HAM) ialah kemuliaan/martabat manusia (human dignity, karamah al-insan). Hak-hak asasi manusia diderivasi dari nilai dasar ini. Dengan kalimat lain, karena manusia memiliki martabat/dignity/karamah itulah maka ia memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.
Martabat manusia ini bersifat melekat-terberi/inheren, setara, dan universal—persisnya, universal dalam cakupannya terhadap seluruh manusia tanpa kecuali (universal in reach). Inilah yang ditegaskan dalam pasal pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): “Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak-haknya” (all human beings are born free and equal in dignity and rights).
Bagian pembukaan DUHAM juga implisit menyampaikan pesan bahwa pengabaian atau penegasian atas martabat dan hak-hak asasi manusia adalah pangkal dari kejahatan-kejahatan besar. Kejahatan acapkali terlandasi pandangan bahwa orang lain ‘kurang manusia’ atau ‘bukan manusia’ sehingga ia bisa diperlakukan secara tak manusiawi. Karena cara pandang yang mendehumanisasi ini, seseorang bisa dianggap tak lagi punya hak hidup (pasal 3), hak untuk tak diperbudak (pasal 4), hak untuk tak disiksa (pasal 5), dan seterusnya.
Dalam kalimat yang sederhana: HAM bersumber dari pengakuan terhadap manusia sebagai manusia.
Pengertian dasar dari HAM sendiri, yang acap disebut dalam buku-buku teks pengantar tentang HAM, ialah: hak-hak yang dimiliki semua manusia semata-mata karena mereka adalah manusia. (Human rights are rights all human beings possess simply in virtue of their humanity.) Karena sifat dasariahnya ini, HAM bisa menjadi ‘ambang batas minimum’ dalam perumusan norma-norma dalam beragam interaksi manusia, dari kode etik interpersonal, kebijakan negara, hingga tata aturan hubungan internasional.
Pada landasan paling mendasar (martabat manusia) itulah nilai-nilai lintas budaya dan ajaran-ajaran lintas agama bisa bertemu. HAM tidak harus selalu diberi pembenaran/justifikasi dengan filsafat-filsafat ‘sekuler’. (Bacaan terbaru mengenai landasan filsafat terhadap HAM berikut debat dan kritik-kritiknya antara lain adalah Rowan Cruft et al [eds], Philosphical Foundations of Human Rights [2015].)
Dengan mengontekstualisasikan HAM ke dalam budaya setempat atau ajaran agama tertentu, justru HAM akan lebih berterima bagi orang-orang dari budaya/agama itu.
Justifikasi terhadap HAM yang diderivasi dari beragam sumber norma, sekalipun di antara norma-norma itu ada yang berbenturan, tidak saja mungkin diupayakan, tetapi sesungguhnya sudah dikampanyekan cukup lama. HAM sendiri oleh para perumusnya dimaksudkan untuk sebisa mungkin ‘dibumikan’ ke dalam konteks-konteks yang beragam sehingga universalitasnya bukan saja ada pada segi cakupannya melainkan juga sumber nilainya.
Dalam wacana keislaman, argumen yang paling sering dikutip untuk menegaskan pengakuan Islam terhadap martabat manusia sebagai karunia Tuhan dan karena itu memiliki nilai sakral ialah QS 17:70: “Sungguh telah Kami muliakan anak-cucu Adam” (Walaqad karramna bani Adam). Dari ayat inilah, padanan istilah human dignity dalam bahasa Arab ialah karamah al-insan. (Di antara buku yang mengulas hal ini: Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective [2001].)
Dalam wacana Judeo-Kristiani, tidak terdapat istilah langsung dari Alkitab yang mendekati makna dignity sebagaimana karamah dalam al-Quran. Namun legitimasi skriptural yang paling sering dikutip untuk menegaskan pengakuan ajaran Judeo-Kristiani atas martabat manusia ialah Kejadian 1:27: “Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya”. Pasase ini muncul sebagai klimaks proses penciptaan manusia dalam narasi Alkitabiah. Dari pasase inilah antara lain muncul konsep Imago Dei, manusia sebagai citra Tuhan, dan karena ini ia memiliki nilai sakral.
Pengakuan atas martabat manusia dalam ajaran agama juga bukan monopoli agama-agama monoteis. Konfusianisme memiliki konsep “ren”, yang berperan dalam perumusan pasal pertama DUHAM. (Tentang “ren”, baca jurnal kelas #1 dari kuliah Religion and Human Rights: Seberapa Universalkah Hak Asasi Manusia?) Perwakilan Tiongkok, Peng Chun Chang, dalam komite penyusunan draf DUHAM berkontribusi dalam penghapusan redaksi dalam draf aawal DUHAM yang memuat alusi bahwa martabat manusia merupakan karunia Tuhan, melainkan sesuatu yang terberi secara natural—ini agar DUHAM tak dipandang bias agama-agama monoteis sehingga universalitasnya bisa lebih berterima.
Justifikasi dari jalur yang berbagai
Apakah pemberian justifikasi bagi HAM melalui ajaran-ajaran agama yang memiliki klaim-klaim kebenaran yang boleh jadi berbenturan itu layak untuk dilanjutkan? Bagi salah satu pengajar kuliah Religion and Human Rights di CRCS, Tore Lindholm: ya! Penulis The Cross-cultural Legitimacy of Universal Human Rights: Plural Justification across Normative Divides (2006) ini menawarkan pandangan tentang feasibilitas justifikasi yang beragam bagi HAM. Argumennya ialah bahwa sejumlah pandangan yang boleh jadi bertentangan atau bahkan salah memiliki kemungkinan untuk berkonvergensi pada kesimpulan yang sama dan benar.
Untuk menyokong argumennya, Lindholm mengambil analogi dari logika deduktif yang trivial: kesimpulan yang benar bahwa “semua paus memiliki paru-paru” dapat diderivasi dari dua silogisme yang berbeda, yaitu (1) dari premis “semua mamalia memiliki paru-paru” dan “semua paus adalah mamalia”; dan (2) dari premis “semua ikan memiliki paru-paru” dan “semua paus adalah ikan”. Silogisme yang kedua mengandung premis yang keliru (karena paus bukanlan ikan), tetapi berujung pada kesimpulan yang benar: semua paus memiliki paru-paru.
Analogi dari Lindholm ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus, argumentasi-argumentasi yang mengambil jalur yang berbeda, yang sebagiannya bahkan mengandung premis yang salah, bisa mencapai kesimpulan yang sama dan benar. Dengan analogi yang serupa, justifikasi terhadap HAM dari ajaran-ajaran normatif yang memiliki klaim-klaim kebenaran yang boleh jadi berbenturan mungkin untuk terjadi.
Faktor politik dan ketaksepakatan dalam detail
Landasan dasar HAM berupa martabat manusia itu seharusnya akan membuatnya mendapat keberterimaan yang luas. Pengakuan atas kemanusiaan manusia ialah nilai kebajikan yang boleh jadi paling dasar dari segala nilai dasar moral dan etika. Namun mengapa HAM, atau lebih persisnya DUHAM, di sejumlah konteks masih mendapat tentangan? Setidaknya dua alasan bisa diajukan.
Pertama, karena HAM itu sendiri mengandung watak politis. Pelembagaan HAM melalui International Bill of Human Rights (yang mencakup DUHAM, ICCPR, dan ICESCR) menjadikan pemerintah sebagai sasaran (addressees) utama yang diberi tanggung jawab korelatif atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi warga negaranya. Konsepsi perumusan DUHAM itu sendiri, sebagaimana terbaca implisit di bagian pembukaannya, bertujuan melindung manusia dari agresi negara yang melebihi batas dalam mengintrusi hak-hak individu warga negaranya. Karena watak politiknya inilah, HAM akan menempatkan diri sebagai oposisi bagi—dan karena itu sulit diterima—pemerintah-pemerintah diktator.
Kedua, karena daftar hak-hak yang dikategorikan sebagai HAM itu bukan hal-hal yang disepakati bulat, sekurang-kurangnya dalam detail penerapan praktisnya, yang kadang berbenturan dengan sensitivitas kultur/agama tertentu atau harus bernegosiasi dengan konteks politik yang beragam.
Dari International Bill of Human Rights (DUHAM, ICCPR, dan ICESCR), terdapat empat puluh jenis HAM. Sebagian besar darinya disepakati, namun sebagian lain diperdebatkan. Di antara debat itu, misalnya, menyangkut tentang bagaimana membuktikan bahwa kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul (untuk mengutip sebagian contoh yang kerap mengundang kontroversi) merupakan hak asasi manusia yang bersumber dari nilai martabat manusia? Pertanyaan ini dapat mengundang debat yang panjang. Dalam ranah praksisnya, isu tentang pembatasan HAM, misalnya, juga memicu perdebatan yang tak kalah panjang.
Namun demikian, ketaksepakatan akan sejumlah detail dalam HAM tidak boleh berarti bahwa HAM kudu ditinggalkan. Sekali lagi, HAM berporos pada konsep mengenai martabat manusia; bahwa manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak-hak asasi yang melekat. Martabat manusia merupakan induk, pondasi, atau ushul dari HAM itu sendiri, satu landasan dasar yang mendapat persetujuan lintas bangsa. Di atas segalanya, tanpa mengabaikan sejumlah kritik atasnya, HAM kini telah menjadi norma internasional dan, hingga taraf tertentu, merefleksikan semangat zaman seabad mutakhir.
_______________
Catatan ini berdasar pada kuliah Religion and Human Rights di CRCS UGM, yang diadakan atas kerja sama dengan Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief dan International Centre for Law and Religious Studies Brigham Young University (ICLRS-BYU), pada semester pendek 2018 dengan para pengajar yang terdiri dari Zainal Abidin Bagir, Suhadi, Brett Scharffs, Tore Lindholm, Lena Larsen, Renata Arianingtyas, Rikardo Simarmata, dan Asfinawati.