• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Class Journal
  • Beragam Landasan bagi Hak Asasi Manusia

Beragam Landasan bagi Hak Asasi Manusia

  • Class Journal
  • 7 July 2018, 01.52
  • Oleh: Admin Jr
  • 0

Beragam Landasan bagi Hak Asasi Manusia

Azis Anwar Fachrudin – 7 Juli 2018

— Refleksi dari kuliah bersama Tore Lindholm dari Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief, Norwegian Centre for Human Rights, Universitas Oslo

Nilai normatif yang paling mendasari Hak Asasi Manusia (HAM) ialah kemuliaan/martabat manusia (human dignity, karamah al-insan). Hak-hak asasi manusia diderivasi dari nilai dasar ini. Dengan kalimat lain, karena manusia memiliki martabat/dignity/karamah itulah maka ia memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.

Martabat manusia ini bersifat melekat-terberi/inheren, setara, dan universal—persisnya, universal dalam cakupannya terhadap seluruh manusia tanpa kecuali (universal in reach). Inilah yang ditegaskan dalam pasal pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): “Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak-haknya” (all human beings are born free and equal in dignity and rights).

Bagian pembukaan DUHAM juga implisit menyampaikan pesan bahwa pengabaian atau penegasian atas martabat dan hak-hak asasi manusia adalah pangkal dari kejahatan-kejahatan besar. Kejahatan acapkali terlandasi pandangan bahwa orang lain ‘kurang manusia’ atau ‘bukan manusia’ sehingga ia bisa diperlakukan secara tak manusiawi. Karena cara pandang yang mendehumanisasi ini, seseorang bisa dianggap tak lagi punya hak hidup (pasal 3), hak untuk tak diperbudak (pasal 4), hak untuk tak disiksa (pasal 5), dan seterusnya.

Dalam kalimat yang sederhana: HAM bersumber dari pengakuan terhadap manusia sebagai manusia.

Pengertian dasar dari HAM sendiri, yang acap disebut dalam buku-buku teks pengantar tentang HAM, ialah: hak-hak yang dimiliki semua manusia semata-mata karena mereka adalah manusia. (Human rights are rights all human beings possess simply in virtue of their humanity.) Karena sifat dasariahnya ini, HAM bisa menjadi ‘ambang batas minimum’ dalam perumusan norma-norma dalam beragam interaksi manusia, dari kode etik interpersonal, kebijakan negara, hingga tata aturan hubungan internasional.

Pada landasan paling mendasar (martabat manusia) itulah nilai-nilai lintas budaya dan ajaran-ajaran lintas agama bisa bertemu. HAM tidak harus selalu diberi pembenaran/justifikasi dengan filsafat-filsafat ‘sekuler’. (Bacaan terbaru mengenai landasan filsafat terhadap HAM berikut debat dan kritik-kritiknya antara lain adalah Rowan Cruft et al [eds], Philosphical Foundations of Human Rights [2015].)

Dengan mengontekstualisasikan HAM ke dalam budaya setempat atau ajaran agama tertentu, justru HAM akan lebih berterima bagi orang-orang dari budaya/agama itu.

Justifikasi terhadap HAM yang diderivasi dari beragam sumber norma, sekalipun di antara norma-norma itu ada yang berbenturan, tidak saja mungkin diupayakan, tetapi sesungguhnya sudah dikampanyekan cukup lama. HAM sendiri oleh para perumusnya dimaksudkan untuk sebisa mungkin ‘dibumikan’ ke dalam konteks-konteks yang beragam sehingga universalitasnya bukan saja ada pada segi cakupannya melainkan juga sumber nilainya.

Dalam wacana keislaman, argumen yang paling sering dikutip untuk menegaskan pengakuan Islam terhadap martabat manusia sebagai karunia Tuhan dan karena itu memiliki nilai sakral ialah QS 17:70: “Sungguh telah Kami muliakan anak-cucu Adam” (Walaqad karramna bani Adam). Dari ayat inilah, padanan istilah human dignity dalam bahasa Arab ialah karamah al-insan. (Di antara buku yang mengulas hal ini: Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective [2001].)

Dalam wacana Judeo-Kristiani, tidak terdapat istilah langsung dari Alkitab yang mendekati makna dignity sebagaimana karamah dalam al-Quran. Namun legitimasi skriptural yang paling sering dikutip untuk menegaskan pengakuan ajaran Judeo-Kristiani atas martabat manusia ialah Kejadian 1:27: “Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya”. Pasase ini muncul sebagai klimaks proses penciptaan manusia dalam narasi Alkitabiah. Dari pasase inilah antara lain muncul konsep Imago Dei, manusia sebagai citra Tuhan, dan karena ini ia memiliki nilai sakral.

Pengakuan atas martabat manusia dalam ajaran agama juga bukan monopoli agama-agama monoteis. Konfusianisme memiliki konsep “ren”, yang berperan dalam perumusan pasal pertama DUHAM. (Tentang “ren”, baca jurnal kelas #1 dari kuliah Religion and Human Rights: Seberapa Universalkah Hak Asasi Manusia?) Perwakilan Tiongkok, Peng Chun Chang, dalam komite penyusunan draf DUHAM berkontribusi dalam penghapusan redaksi dalam draf aawal DUHAM yang memuat alusi bahwa martabat manusia merupakan karunia Tuhan, melainkan sesuatu yang terberi secara natural—ini agar DUHAM tak dipandang bias agama-agama monoteis sehingga universalitasnya bisa lebih berterima.

Justifikasi dari jalur yang berbagai

Apakah pemberian justifikasi bagi HAM melalui ajaran-ajaran agama yang memiliki klaim-klaim kebenaran yang boleh jadi berbenturan itu layak untuk dilanjutkan? Bagi salah satu pengajar kuliah Religion and Human Rights di CRCS, Tore Lindholm: ya! Penulis The Cross-cultural Legitimacy of Universal Human Rights: Plural Justification across Normative Divides (2006) ini menawarkan pandangan tentang feasibilitas justifikasi yang beragam bagi HAM. Argumennya ialah bahwa sejumlah pandangan yang boleh jadi bertentangan atau bahkan salah memiliki kemungkinan untuk berkonvergensi pada kesimpulan yang sama dan benar.

Untuk menyokong argumennya, Lindholm mengambil analogi dari logika deduktif yang trivial: kesimpulan yang benar bahwa “semua paus memiliki paru-paru” dapat diderivasi dari dua silogisme yang berbeda, yaitu (1) dari premis “semua mamalia memiliki paru-paru” dan “semua paus adalah mamalia”; dan (2) dari premis “semua ikan memiliki paru-paru” dan “semua paus adalah ikan”. Silogisme yang kedua mengandung premis yang keliru (karena paus bukanlan ikan), tetapi berujung pada kesimpulan yang benar: semua paus memiliki paru-paru.

Analogi dari Lindholm ini sekadar untuk menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus, argumentasi-argumentasi yang mengambil jalur yang berbeda, yang sebagiannya bahkan mengandung premis yang salah, bisa mencapai kesimpulan yang sama dan benar. Dengan analogi yang serupa, justifikasi terhadap HAM dari ajaran-ajaran normatif yang memiliki klaim-klaim kebenaran yang boleh jadi berbenturan mungkin untuk terjadi.

Faktor politik dan ketaksepakatan dalam detail

Landasan dasar HAM berupa martabat manusia itu seharusnya akan membuatnya mendapat keberterimaan yang luas. Pengakuan atas kemanusiaan manusia ialah nilai kebajikan yang boleh jadi paling dasar dari segala nilai dasar moral dan etika. Namun mengapa HAM, atau lebih persisnya DUHAM, di sejumlah konteks masih mendapat tentangan? Setidaknya dua alasan bisa diajukan.

Pertama, karena HAM itu sendiri mengandung watak politis. Pelembagaan HAM melalui International Bill of Human Rights (yang mencakup DUHAM, ICCPR, dan ICESCR) menjadikan pemerintah sebagai sasaran (addressees) utama yang diberi tanggung jawab korelatif atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi warga negaranya. Konsepsi perumusan DUHAM itu sendiri, sebagaimana terbaca implisit di bagian pembukaannya, bertujuan melindung manusia dari agresi negara yang melebihi batas dalam mengintrusi hak-hak individu warga negaranya. Karena watak politiknya inilah, HAM akan menempatkan diri sebagai oposisi bagi—dan karena itu sulit diterima—pemerintah-pemerintah diktator.

Kedua, karena daftar hak-hak yang dikategorikan sebagai HAM itu bukan hal-hal yang disepakati bulat, sekurang-kurangnya dalam detail penerapan praktisnya, yang kadang berbenturan dengan sensitivitas kultur/agama tertentu atau harus bernegosiasi dengan konteks politik yang beragam.

Dari International Bill of Human Rights (DUHAM, ICCPR, dan ICESCR), terdapat empat puluh jenis HAM. Sebagian besar darinya disepakati, namun sebagian lain diperdebatkan. Di antara debat itu, misalnya, menyangkut tentang bagaimana membuktikan bahwa kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul (untuk mengutip sebagian contoh yang kerap mengundang kontroversi) merupakan hak asasi manusia yang bersumber dari nilai martabat manusia? Pertanyaan ini dapat mengundang debat yang panjang. Dalam ranah praksisnya, isu tentang pembatasan HAM, misalnya, juga memicu perdebatan yang tak kalah panjang.

Namun demikian, ketaksepakatan akan sejumlah detail dalam HAM tidak boleh berarti bahwa HAM kudu ditinggalkan. Sekali lagi, HAM berporos pada konsep mengenai martabat manusia; bahwa manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak-hak asasi yang melekat. Martabat manusia merupakan induk, pondasi, atau ushul dari HAM itu sendiri, satu landasan dasar yang mendapat persetujuan lintas bangsa. Di atas segalanya, tanpa mengabaikan sejumlah kritik atasnya, HAM kini telah menjadi norma internasional dan, hingga taraf tertentu, merefleksikan semangat zaman seabad mutakhir.

_______________

Catatan ini berdasar pada kuliah Religion and Human Rights di CRCS UGM, yang diadakan atas kerja sama dengan Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief dan International Centre for Law and Religious Studies Brigham Young University (ICLRS-BYU), pada semester pendek 2018 dengan para pengajar yang terdiri dari Zainal Abidin Bagir, Suhadi, Brett Scharffs, Tore Lindholm, Lena Larsen, Renata Arianingtyas, Rikardo Simarmata, dan Asfinawati.

Tags: Azis Anwar Fachrudin hak asasi manusia

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju