“Beragama” dengan Sepak Bola
Maryolanda Zaini – 4 April 2023
Sepak bola telah menjadi salah satu tontonan olahraga terpopuler di planet ini. Mulai dari perhelatan Piala Dunia hingga Liga Inggris, miliaran penonton dari seluruh dunia menyaksikan tim favoritnya berkompetisi di lapangan. FIFA mencatat setidaknya 1,5 miliar orang menonton final Piala Dunia 2022. Sepak bola memang tidak hanya menawarkan atraksi adu olah bola di lapangan, tetapi juga menyediakan rangkaian ritual dan euforia kebersamaan bagi para penontonnya: mulai dari berjamaah datang ke stadion, berkumpul bersama dengan seragam klub/federasi, hingga kompak bernyanyi mengobarkan yel-yel bagi tim kesayangannya. Di sinilah sepak bola dan agama beririsan.
Irisan ini makin tampak ketika kita melihat sosok bintang lapangan yang menjadi pujaan para suporter. Sebut saja dua sosok pemain terbaik asal Argentina, Lionel Messi dan Diego Maradona. Setelah memimpin Argentina memenangkan Piala Dunia 2023, Messi dianggap sebagai pemain ‘terbaik sepanjang masa’ atau Greatest of All Time (GoAT) bagi sebagian besar orang. Berkat berbagai rekor dan gelar yang ia raih, para pendukungnya melihat Messi sebagai sosok manusia dari dunia lain yang memiliki kelebihan—hingga di satu titik mereka menyematkan julukan “Messiah” atau sang juru selamat. Sementara itu, Maradona merupakan pionir sepak bola, pahlawan nasional, sekaligus pemain dengan segala keajaiban. Dengan kemampuan, bakat, dan karismanya ia mengantarkan Argentina meraih Piala Dunia 1986. Menariknya, pada perempat final , ia menciptakan gol dengan tangan—sesuatu yang haram dilakukan dalam pertandingan sepak bola, sampai-sampai gol itu terkenal dengan nama gol tangan tuhan. Maradona juga menjadi mahabintang dengan membawa S.S.C. Napoli, klub dari Italia Selatan, mendobrak dominasi klub-klub kaya di Italia Utara dengan meraih dua gelar scudetto (juara) Serie A dan satu trofi UEFA.
Fenomena Messi dan Maradona menggambarkan kekuatan daya tarik yang dimiliki sepak bola dari penggemarnya. Kesetiaan para penggemar sepak bola laiknya fanatisme para pemeluk agama. Bagi sebagian orang, sepak bola bukan sekadar olahraga, melainkan juga sumber identitas komunitas yang dalam taraf tertentu menyerupai agama. Lantas, bagaimana melihat sepak bola sebagai sebuah entitas yang memiliki kemiripan dengan konsep dan nilai-nilai yang dibawa oleh agama?
Sepak bola sebagai Bentuk Institusi Sosial
Dalam beberapa hal, agama dan sepak bola memiliki bentuk dan karakteristik yang identik. Pakar sosiologi Emile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life menyatakan bahwa agama adalah sebuah institusi sosial yang merefleksikan dan memperkuat keyakinan dan nilai-nilai yang dibagi (shared values) dari sebuah komunitas. Praktik keagamaaan seperti ritual, perayaan, dan kegiatan lain membuat para pengikutnya dapat terhubung dengan nilai-nilai sakral dari agama atau kepercayaan mereka. Dalam konteks ini, sepak bola memiliki peran serupa bagi penggemarnya. Pertandingan sepak bola sering kali menjadi ajang pertemuan sosial tempat orang dari berbagai latar belakang dan identitas berkumpul dalam satu ruang untuk tujuan bersama. Ini membuat sepak bola menjadi alat efektif untuk memperkuat ikatan sosial dan solidaritas di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Argumen Durkheim tersebut menggambarkan bagaimana sepak bola menjadi sebuah institusi sosial tempat para penggemarnya membagikan dan merefleksikan nilai-nilai budaya dan identitas.
Melalui kacamata konsep sacred time and space atau ‘ruang dan tempat sakral’, pertandingan sepak bola yang rutin pada setiap pekan memiliki karakteristik yang seiras dengan upacara keagamaan. Para suporter fanatik seringkali melihat lapangan sepak bola beserta stadionnya sebagai tempat ritual yang sakral, tempat penggemar berkumpul untuk menciptakan sebuah atmosfer komunal dan berpartisipasi dalam pengalaman bersama (Sandvoss, 2003). Aspek ritual penggemar sepak bola tersebut dikuatkan oleh berbagai simbol dan artefak, seperti warna tim, nyanyian, hingga maskot yang berfungsi sebagai penanda dari identitas dan kepemilikan. Sisi emosional dalam pertandingan sepak bola juga selaras dengan kondisi emosional saat mengikuti ritual keagamaan. Baik penggemar maupun pemain secara bersamaan mengalami intensitas emosi seperti bersukacita dalam kemenangan hingga ketakutan dan gelisah atas kekalahan. Laiknya sebuah institusi keagamaan, relasi antara tim dan pendukungnya bersifat resiprokal. Performa tim memberikan efek yang signifikan dalam kehadiran supporter, begitu juga sebaliknya.
Beberapa dekade belakangan, penghargaan terhadap pemain atau pelatih yang dianggap berjasa besar pada sebuah tim tidak cukup dengan gaji yang melambung tinggi atau plaket. Sosok-sosok itu perlu dikultuskan secara material dan menjadi bagian dari ritus “peribadatan”. Napoli, misalnya, mengabadikan legenda mereka, Diego Maradona, sebagai ikon klub dengan cara mengganti nama stadion, atribut, hingga mengultuskannya melalui mural dan gambar yang tersebar di sekujur kota. Bahkan, kesetiaan dan kecintaan penggemar Napoli terhadap Maradona melahirkan ritual dan tradisi ziarah ke kampung halaman sang legenda. Di Inggris, klub raksasa Manchester United (MU) memberikan penghargaan tertinggi kepada Sir Alex Ferguson—pelatih tersukses dalam sejarah Liga Inggris yang membawa MU meraih 13 gelar juara liga, 5 Piala FA, dan 2 gelar Liga Champions UEFA—dengan menyematkan namanya sebagai nama salah satu tribun di Stadion Old Trafford. Di stadion ini pula berdiri patung pemain legendaris MU yaitu Law, Charlton, dan Best yang dijuluki “Holy Trinity” oleh para fans MU sedunia.
Sosiolog Max Weber, dalam karyanya The Theory of Social and Economics Organization, melihat fenomena semacam ini sebagai, “routinization of charisma”. Menurut Weber, pemimpin yang karismatik—seperti nabi, pastor, atau pahlawan—memiliki aura atau kekuatan yang menginpirasi pengikut-pengikutnya untuk mengikuti mereka dengan loyalitas yang tinggi. Ketika para pemimpin tersebut wafat, energi karismatik tersebut perlahan meredup. Para pengikut setia mereka mencoba untuk merutinisasi karisma itu menjadi struktur formal dan ritual demi mempertahankan nilai-nilai yang dibawa pemimpin karismatik tersebut di luar masa hidupnya. Proses tersebut juga terlihat pada klub sepak bola yang seringkali memiliki figur karismatik seperti pemain bintang, pelatih, atau pemilik klub. Namun, ketika figur karisma tersebut pensiun atau meninggalkan klub, pengaruh mereka dimanifestasikan oleh struktur yang diformalkan seperti tradisi klub, logo, nama stadion, nyanyian, atau pun sejarah yang melekat ke identitas klub. Kesemuanya itu berusaha menyediakan kontinuitas karisma dan nilai-nilai untuk para penggemarnya (Giulianotti, 2002).
Beriman kepada Sepak Bola
Sepak bola memang lebih dari sekadar olahraga yang diminati miliaran manusia di seluruh dunia. Filsuf Simon Critchley berpendapat bahwa sepak bola memberikan ruang bagi individu untuk mengalami transendensi (Critchley, 2010). Ia menyamakan pengalaman transendensi ini laiknya pengalaman religius.
Akan tetapi, laiknya institusi agama, sepak bola juga memiliki wajah ganda. Di satu sisi, sepak bola dapat memainkan peran penting dalam menghubungkan orang dan memperkuat ikatan sosial dari kelompok-kelompok yang berbeda. Akan tetapi, kecintaan terhadap sepak bola ini juga dapat menjadi sumber ketegangan dan konflik. Yang paling gamblang ialah rivalitas panas antarklub sepak bola yang berujung pada kekerasan dan tak jarang memakan korban jiwa—baik karena pertikaian antarsuporter, maupun bentrok dengan petugas keamanan. Salah satu yang masih hangat adalah Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang yang menelan korban jiwa ratusan suporter. Fenomena serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia seperti Tragedi Heysel, dan Tragedi Hillsborough. Selain itu, dalam beberapa kasus, sepak bola juga bisa menjadi alat untuk menyebarkan pesan intoleransi atau ujaran kebencian (Waiton, 2014). Rasa keyakinan yang berlebihan pada suatu ajaran yang dianut selama masa hidupnya menjadikan setiap individu kadang menutupi hal-hal yang berseberangan dengan apa yang diyakininya. Nyanyian-nyanyian bernada rasis untuk tim lawan masih sering digaungkan di stadion, terutama untuk pertandingan penting melawan rival.
Meskipun demikian, laiknya agama, sepak bola akan terus menemukan penggemarnya terlepas dari ekses-ekses negatif yang terjadi di dalamnya. Sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki karakteristik bak agama, sepak bola akan terus diminati dan “diimani” selama ia mampu memenuhi ruang transenden dan ruang sosial sekaligus. Dalam buku teranyarnya, What We Think About When We Think About Football (2018), Critchley menggarisbawahi bahwa salah satu kekuatan utama sepak bola adalah tentang harapan yang selalu diperbarui (ever-renewed hope). Harapan inilah yang menjaga “keimanan” para penggemar sepak bola, harapan yang membuat mereka terus datang ke stadion untuk menyaksikan nasib dari tim kesayangannya.
_______________________
Maryolanda Zaini adalah mahasiswa sarjana pada program Philosophy, International Studies and Economics (PISE) di Ca’ Foscari University of Venice, Italia. Selama Februari—Maret 2023, Maryo berkarya magang di Divisi Pendidikan Publik Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Baca tulisan Maryo lainnya di sini.