• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Bertuhan dengan Humor

Bertuhan dengan Humor

  • Event report, News, Wednesday Forum Report
  • 1 March 2024, 13.08
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Bertuhan dengan Humor

Nanda Tsani – 1 Maret 2024

Pengalaman transendental nun di atas langit seringkali tidak bisa kita gapai dengan intelektual. Di sinilah humor bekerja. Dengan humor, agama yang adiluhung nan surgawi bisa menjadi sangat manusiawi dan membumi. 

Dalam dunia komedi digital hari ini, para komika seringkali melibatkan tuhan dan keberagamaan sebagai bahan humor, entah topik maupun gimik. Sebut tongkrongan Coki Perdede, Tretan Muslim, Deddy Corbuzier, hingga Habib Jafar yang berhumor ria mengonversi istilah agama dengan kosakata anak muda. Misal jargon log-in untuk mualaf dan log-out untuk keluar dari agama asal. Ketika Deddy Corbuzier memutuskan menjadi mualaf 2019 silam, dua akun Twitter “garis lucu” saling serah terima jabatan. “Hari ini kami serahkan @corbuzier ke @Nugarislucu untuk selanjutnya silahkan disunat dan diarahkan,” cuit akun Katolik Garis Lucu. “Siap, ndan. Ajaran-ajaran baik dari sampean tetap kami pertahankan,” NU Garis Lucu pun menimpal umpan.

Pun di dunia nyata, perkawanan humor dan agama di negeri ini bukanlah hal baru. Tablig akbar atau ceramah kiai di kampung-kampung tak ubahnya pertunjukkan komedi tunggal jauh sebelum istilah stand-up comedy dikenal khalayak Indonesia. Pesan-pesan moral dan agama dikemas dengan lugu, jenaka, dan penuh gelegar tawa. Berangkat dari kultur keagamaan semacam itu, kita pernah memiliki Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan humor-humornya yang kharismatik. Ditarik ke belakang, dunia pertunjukan tradisional kita mengenal tokoh punakawan—Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (atau Bawor dalam tradisi Banyumasan). Keempatnya memainkan lakon yang menyajikan filosofi ilahiah berbalut komedi. Betapa keberagamaan kita sangat akrab dengan humor, bukan?

Wednesday Forum edisi 28 Februari 2024 membincang persoalan agama dan humor ini di atas mimbar akademik. Rev. Prof. Robert Setio, Ph.D. mempresentasikan tilikannya terkait agama, humor, dan kemanusian berjudul “The Joke Is On Me (God)”. Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana ini mengaku tidak pandai berkelakar. Walakin, ia seorang penikmat berat seni humor. Di samping pegiat hermeneutik, pendeta cum profesor ini menggandrungi pendekatan manuskrip-manuskrip religi—khususnya yang terdapat dalam Alkitab—melalui pembacaan humor. Tawa di antara peserta forum pecah karena contoh-contoh humor dalam manuskrip religi yang ia bacakan selama presentasi.

Memanfaatkan Humor

Robert melihat humor sebagai suatu cara manusia menyikapi absurditas, tragedi, dan pengalaman tragis atas eksistensi mereka. Di samping itu, humor juga dapat menjadi alat yang membelalakkan kontradiksi dan paradoks di dalam agama. Satu contoh, salib Yesus Kristus kerap merefleksikan kepedihan penuh agoni karena begitulah kita diperkenalkan selama ini melalui lukisan maupun figur patung. Kemudian, Robert menunjukkan foto Yesus yang disalib tetapi tersenyum mringis. Foto itu pun memantik cekikik. Mungkin, para peserta forum tergelitik melihat wajah Yesus nyengir kuda di papan salib. Penggambaran figur Yesus ini nyata adanya dan bukan hasil rekayasa digital. Menariknya, figur patung bernama The Smiling Christ ini berasal dari abad ke-13 dan terdapat pada sebuah kapel di kastil St. Francis Xavier, Spanyol.

Rupanya sejak dulu, umat Kristen tidak selamat dari tangan-tangan “nakal” para seniman di jamannya. Bisa jadi The Smiling Christ adalah sesuatu yang mempermalukan, tetapi bagaimana jika ini diartikan sebagai paradoks bahwa kita terlalu tegang mempercayai Tuhan Yesus pastilah menderita demi menebus suka cita umat manusia. Bagaimana jika Dia juga ikut senyum dan bergembira? Humor bergantung pada interpretasi fakta. Johan Taels (2011), cendikia agama dan humor, berpendapat bahwa humor erat kaitannya dengan cara manusia menginterpretasikan suatu pengalaman tragis atau fakta komikal dan mengaitkannya pada perkara eksistensial. Oleh karena itu, humor mengacu pada esensi dari struktur eksistensi manusia, lebih spesifik, mengindikasikan fakta bahwa manusia adalah makhluk komikal-tragis. Sebagai sebuah seni berkehidupan, tegas Taels, humor dapat dilihat sebagai pelengkap praktik-praktik kebajikan.

Robert kemudian mengelaborasi lika-liku tawa sebagai tanda resistensi dalam menyikapi trauma. Dalam Humor, Resistance, and Jewish Cultural Persistence in The Book of Revelation (2020), Sarah Emanuel menjabarkan alasan humor dan anekdot Yahudi banyak ditemukan dalam Kitab Wahyu. Ia melihat umat Yahudi menggunakan humor sebagai perlawanan tersembunyi terhadap imperium Romawi yang mereka benci sekaligus idam-idamkan. Mereka me-roasting (kata lain mengatai dalam stand-up comedy) trauma mereka atas imperium melalui cengengesan yang merendahkan. 

“Saya Tersinggung!”

Lantas, bagaimana jika humor dilempar menggelinding terlalu jauh? Alih-alih tawa, reaksi yang didapat malah amuk massa. Apa yang membuat humor dinilai tidak lagi manusiawi dan sudah kelewat batas?  Salah satu peserta forum merespons bahwa lelucon itu sendiri justru tentang melewati batas. Karenanya, selalu ada risiko di balik melewati batas. Kita tidak tahu pasti apa yang ada di luar batas, bukan?

Robert menegaskan bahwa humor senantiasa bersifat kultural dan kontekstual. Memang, hampir tidak ada suatu kultur pun yang tidak mengenal humor. Akan tetapi, tetap ada hal-hal partikular dalam universalitasnya. Kelakar di suatu kelompok masyarakat belum tentu diterima atau dianggap lucu oleh komunitas lain. Oleh karenanya, Robert menggarisbawahi, “Biarkan orang bebas memberikan reaksi apa pun terhadap lawakan yang kita lempar, termasuk, tersinggung. Biarkan humor menjadi bagian dari demokrasi dan menyemarakkan kreativitas di tengah kita.” 

Manusia era modern, hemat Robert, cenderung merepresi humor sebagai bagian dari kreativitas dan estetika beragama. Modernitas condong menyepelekan humor karena dianggap tidak produktif dan buang-buang waktu. Setengah berkelakar, Robert mengatakan bahwa kekristenan—khususnya Protestan—lebih represif terhadap humor dan kreativitas. Ia mengilustrasikan palang salib gereja Protestan yang sangat sederhana dan pelit ornamen dibandingkan  gereja Katolik atau tempat ibadah agama lain.

Pada ujung diskusi, Robert menyimpul kaitan agama, humor, dan kemanusiaan ke dalam beberapa poin. Pertama, humor dan kemanusiaan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dan keduanya tidak dapat dipisahkan pula dari agama. Kedua, saat agama menyentuh hal-hal paling mendasar dari aspek kehidupan manusia, di situlah humor ada. Ketiga, mempelajari humor sudah seharusnya menjadi bagian dari studi agama karena di dalamnya mengulik watak tragis-komikal kemanusiaan. Keempat, pada tataran moral, humor mengekspos kedangkalan relasi sosial. Terakhir, humor adalah kejujuran yang blak-blakan, ia bisa menghinakan dan mengantarkan pada hakikat eksistensi kita sekaligus. Jadi, berhumorlah dengan tuhan sebelum humor itu dilarang tuhan.

______________________

Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini karya FrentaN dari Shutterstock

Tags: humor nanda tsani

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju