Bincang Bersama Paul Knitter: Batasan dan Peluang Bentuk Dialog Antaragama (Bagian 1)
Vikry Reinaldo Paais – 31 Januari 2023
Di negeri yang berbineka seperti Indonesia, dialog antaragama seolah menjadi kata kunci untuk mendorong perdamaian dan mencegah ekses konflik keagamaan. Akan tetapi, dalam banyak kasus, dialog yang terjadi seringkali menjadi “forum obrolan” karena pesertanya menghindari pembicaraan tentang “isu keras” dalam perjumpaan antaragama. Tak jarang, dialog antaragama ini dilakukan antara dua kelompok yang sama-sama berlatar belakang inklusif sehingga pembahasan isu-isu sensitif—yang kerap menjadi pemicu konflik—kurang mendapat ruang. Di sisi lain, dialog agama memang bukanlah obat mujarab yang bisa mengatasi segala permasalahan keberagaman. Lantas, sejauh mana dialog antaragama efektif dilakukan? Apakah ada batasan dalam dialog antaragama? Apa yang bisa kita lakukan dengan batasan itu?
Kali ini, kami berbincang dengan Paul F. Knitter, seorang profesor emiritus pada bidang Teologi dan Agama di Union Theological Seminary, New York. Akademisi dan teolog yang aktif menulis tentang dialog antaragama dan sempat mengajar di CRCS UGM pada 2003 dan 2006 ini berefleksi bersama tentang batasan dan peluang bentuk dialog antaragama. Berikut petikannya.
Saat ini dialog antaragama sering dikritik karena cenderung eksklusif. Agama, ataupun denominasi agama cenderung hanya berdialog dengan kelompok-kelompok yang sama atau sejalan secara doktrin, ajaran, dan kepercayaan. Bagaimana tanggapan Anda?
Ketika membicarakan tentang sikap eksklusif, boleh saya tanya, bagaimana Anda memahami perilaku eksklusivisme?
Salah satunya adalah klaim kebenaran. Suatu agama mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sementara agama yang lain tidak benar.
Bukan hanya “yang paling benar”, melainkan “satu-satunya agama yang benar”. Jika menganggap agamanya yang paling benar, itu adalah sikap dari inklusivisme. Artinya, ada kebenaran pada agama lain, tetapi milik kitalah yang paling benar—kita memiliki kebenaran yang lebih superior. Nah, apa yang saya sebut dalam buku tentang model korelasional juga dipahami sebagai model pluralistik. Kata lain dari korelasional adalah pluralis. Model pluralistik merekognisi bahwa kebenaran bisa jadi ada atau terdapat dalam banyak agama—catat yang saya katakan “bisa jadi ada”, artinya tidak harus ada. Tidak ada agama yang dapat memuat kebenaran tertinggi yang utuh tentang realitas tertinggi atau misteri suci yang kita sebut Tuhan ataupun Allah. Karena realitas tertinggi tentang Tuhan dan Allah melampaui pemahaman manusia.
Itu hanya untuk mengklarifikasi istilah yang saya gunakan.
Berkaitan dengan eksklusivisme, saya akan katakan dua hal tentang perilaku eksklusif ini, yaitu membatasi (limiting) dan berbahaya (dangerous). Ketika mengatakan bahwa kita memiliki kebenaran sedangkan orang lain tidak, itu adalah sikap membatasi diri dari kesempatan untuk belajar dan mengalami misteri ilahi yang nyata dan yang tidak bisa dipahami. Demikian pula ketika menutup diri dari dialog dengan orang lain atau dengan para pencari kebenaran tentang realitas tertinggi, Anda kehilangan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang Tuhan—menurut bahasa kekristenan.
Kedua, sikap eksklusivisme itu berbahaya. Ketika seseorang percaya bahwa hanya agamanya yang benar dan agamanya di atas agama lain, ia dengan mudah mengarah pada sikap, “Jika Anda tidak percaya pada kami atau menghalangi keberadaan kami, kami memiliki hak yang diberikan Tuhan (God given right) atau tugas yang diberikan Tuhan (God given duty) untuk menyingkirkan Anda.” Dengan kata lain, sikap ini membuka peluang untuk sesuatu yang kita semua tahu: kekerasan atas nama agama, kekerasan atas nama Tuhan.
Jadi, saya melihat ada kecenderungan sikap membatasi diri dan sangat berbahaya pada eksklusivisme. Keduanya dapat menjustifikasi kekerasan dan perlakuan buruk terhadap orang lain.
Akan tetapi, apa yang Anda sebut sebagai “membatasi diri” dan “berbahaya” adalah interpretasi juga atas teks kitab suci. Misalnya, di Alkitab disebutkan bahwa “Yesus satu-satunya jalan dan keselamatan”. Jika mengakui keselamatan dalam agama lain, maka sama saja dengan menyangkal Yesus sebagai “satu-satunya” jalan keselamatan. Bagaimana pendapat Anda?
Hal ini berkaitan dengan bagaimana memahami kitab suci? Bagaimana menginterpretasi pernyataan-pernyataan Alkitab serta tradisi Kristen? Secara harfiah, kontekstual, atau simbolis? Inilah yang menjadi perdebatan. Saya berpendapat bahwa semua bahasa agama kita tentang misteri suci atau Allah pada dasarnya bersifat simbolis; kita tidak memiliki bahasa lain untuk membahasakan yang ilahi tersebut.
Penganut eksklusivis tidak akan setuju dengan pendapat tersebut.
Pendekatan saya untuk terlibat bersama dengan umat Kristen yang eksklusif—saudara-saudara Kristen di dalam Kristus—yaitu berbicara tentang kesaksian saya sendiri. Saya memahami bahwa bahasa kitab suci sebagai sesuatu yang harus diinterpretasikan. Bahasa kitab suci tidak hanya bermakna secara harfiah—walau terkadang mungkin saja begitu, tetapi tetap saja setiap teks harus diinterpretasikan. Pendekatan saya kepada umat Kristen yang eksklusif adalah, “Lihat, saya memahami Alkitab berbeda dengan Anda. Namun, saya harap Anda dapat melihat bahwa Yesus Kristus adalah juga pusat hidup saya. Saya berkomitmen untuk mengikuti Yesus, untuk mengikuti pesan Injil sedalam yang Anda lakukan. Kita berdua adalah pengikut Kristus, meskipun kita memahami teks secara berbeda.”
Dan mereka akan katakan, “Bagaimana kami bisa tahu?”
Saya akan sampaikan, lihatlah pada cara saya hidup. Apakah saya mencoba menghidupkan pesan cinta yang radikal—panggilan untuk keadilan, kasih sayang dan keadilan seperti Yesus? Apakah saya memberi kesaksian kepada Buddha, muslim, dan Yahudi? Apakah saya memberi kesaksian atas apa yang saya yakini? Saya telah mempelajari tentang Tuhan melalui Yesus Kristus.
Lalu akan saya katakan juga, lihatlah pada cara kita hidup. Kita mencoba untuk hidup dengan cara yang sama meski pemahaman kita terhadap kitab suci berbeda. Jika mereka mengatakan, “Ya, saya melihat bahwa Anda mencoba menjadi seorang pengikut Kristus meski anda adalah seorang pluralis.” Maka, seorang Kristen pluralis dapat pula berkomitmen bersama Kristen eksklusif.
Lalu bagaimana dengan pemahaman teks-teks Alkitab seperti, “Tidak ada nama lain yang dengannya kita dapat diselamatkan, kecuali nama Yesus Kristus,” atau “Tidak seorang pun yang bisa datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku”?
Saya tidak tahu apakah Anda membaca pendekatan saya untuk menafsirkan teks-teks seperti itu. Teks-teks tersebut tidak dipahami sebagai bahasa cinta (love language), tetapi mengekspresikan komitmen kepada Kristus. Itu yang mau saya tekankan. Alkitab ingin mengatakan, percaya Yesus dengan sungguh-sungguh sehingga ia dapat menerangi hidup Anda, ikuti Dia. Itu maksudnya. Jadi, maksudnya bukan untuk mengatakan bahwa Buddha tidak memiliki nilai, atau Muhammad dalam Al-Qur’an tidak ada artinya. Itu adalah kesalahpahaman terhadap maksud kitab suci.
Saya suka menggunakan pernyataan yang sangat singkat dan indah dari John Cobb—seorang teolog Kristen metodis. Ia mengatakan, “Yesus adalah jalan yang terbuka bagi jalan-jalan yang lain.” Dengan kata lain, jika sungguh memahami pesan Yesus, Anda akan mencintai saudara-saudaramu tanpa peduli siapa mereka, apa pun agamanya. Anda akan terbuka untuk belajar dari mereka, bahkan mengakui mereka sebagai sesama anak-anak Allah yang juga mencari kebenaran.
Seperti Yesus, pesan-pesannya adalah pesan-pesan cinta yang radikal—bahkan sampai mencintai musuhmu. Ketika berpikir bahwa agama lain adalah musuh, Anda harus mencintai mereka. Apa yang disebut cinta adalah menghormati, menghargai, keterbukaan, dan keramahtamahan (hospitality).
Itu adalah beberapa cara kita dapat berbicara tentang “teks-teks eksklusif” dalam Alkitab dan Perjanjian Baru. Itulah yang saya temukan dalam keterbatasan saya berdialog dengan Kristen “eksklusif” atau “fundamentalis” di Amerika Serikat. Ketika kita menggunakan pendekatan ini, saya bilang, “Dengar, Yesus adalah sentral dalam hidup saya, sama seperti Anda.”
Hal itu dapat membuka pintu terhadap percakapan—tidak selalu, tapi sering.
Ketika Anda mengatakan bahwa dialog antaragama penting dalam konteks yang plural, apakah harus dipaksakan untuk berdialog dengan kelompok eksklusif?
Kita tidak bisa memaksa, karena itu tidak berguna. Namun, ada cara lain untuk mengundang mereka ke dalam dialog. Ada beberapa cara yang coba saya usulkan dalam buku One Earth Many Religions, dan juga dalam artikel yang yang saya tulis dalam buku yang saya edit bersama John Hick, The Myth of Christian Uniqueness. Saya rasa judul artikelnya adalah “Toward a Liberation of Religion”.
Misalnya, saya sebagai Kristen atau Kristen pluralis akan mengajak Anda—umpamanya sebagai seorang muslim atau Kristen eksklusif—untuk melihat masalah-masalah sosial, kultural, politik, dan isu-isu kemanusiaan yang berkaitan dengan penderitaan manusia, penderitaan yang tidak boleh ada dalam dunia yang kita tinggali bersama. Bersama, kita dengan kepala dingin melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan, kelaparan, atau menanggulangi perubahan iklim. Itulah area yang menurut saya bisa kita dialogkan: Kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan planet kita dan mengesampingkan perbedaan teologis. Saya rasa banyak dari kita akan setuju.
Apakah berarti dialog antar agama tidak selalu berbicara tentang agama?
Kenyataannya seperti itu. Lebih baik tidak dimulai dengan agama. Mulailah dengan apa yang sama-sama kita rasakan dan akan kita lakukan. Ketika kita melihat anak yang kelaparan, sungai yang tercemari, banjir yang terjadi sepanjang waktu.
Apakah ini yang Anda sebut sebagai tanggung jawab global?
Ya, benar! Tanggung jawab global untuk planet kita, untuk sesama.
Dalam pengalaman saya, seorang teman tidak akan mengatakan, “Saya memiliki kebenaran dan kamu tidak.” Seorang teman tidak mengatakan, “Saya lebih baik daripada Anda.” Jika demikian, kita telah menciptakan lingkungan yang baru terhadap dialog: “kebenaran” untuk bekerja bersama, “kebenaran” untuk saling berbagi komitmen. Dari sini, kita bisa menciptakan atmosfer persahabatan yang baru. Kita bisa berbicara tentang bagaimana kita menginterpretasikan Alkitab, berbicara tentang pemahaman antara manusia dan alam, atau pemahaman Anda tentang Tuhan—kesemuanya dalam bingkai menjadi teman dalam tanggung jawab global. Ini hanyalah salah satu pendekatan yang saya temukan. Pendekatan ini tidak selamanya bekerja sepanjang waktu, tetapi itu adalah bentuk-bentuk dialog antaragama yang paling menjanjikan.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.