Bruno Latour: Sains, Modernitas, dan Ekologi
Krisharyanto Umbu Deta – 31 Desember 2020
Sejumlah sarjana memandang modernitas—dengan sains sebagai satu elemen yang turut membangunnya—sebagai salah satu penyebab terbesar krisis ekologi. Apa argumen dari pandangan ini? Salah satu jawabannya bisa kita temui dalam pemikiran Bruno Latour, filsuf Prancis yang berpadangan bahwa modernitas telah membuat pemisahan tegas antara manusia (culture) dan alam (nature), padahal dunia ini selalu penuh dengan percampuran-percampuran (hybrids) yang melampaui berbagai macam kategori yang dikonstruksi oleh modernitas. Dalam memaparkan pemikirannya ini, Latour sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah sains benar-benar objektif?”; “apakah dunia memang harus di-modern-kan?”; dan “apakah kita memiliki alternatif lain?”
Pemikiran Bruno Latour mengenai sains, modernitas, dan ekologi dapat dilihat dalam karya-karyanya yang dapat dibagi setidaknya dalam tiga rumpun. Pertama, rumpun antropologi sains, yakni buku Laboratory Life (1986), Science in Action (1987), Pasteurization of France (1988). Kedua, rumpun filsafat modernitas, dengan karya populernya berjudul We Have Never Been Modern (1993). Ketiga, rumpun politik ekologi, dalam buku berjudul Politics of Nature (2004). Pembahasan ketiga periodisasi ini dapat dilihat dalam karya Anders Blok dan Torben Jensen yang berjudul Bruno Latour: Hybrid Thoughts in A Hybrid World (2011).
Antropologi Sains
Pada periode ini, poin utama yang ingin disampaikan Latour menyasar pada pertanyaaan tentang apa yang dapat disebut sebagai fakta saintifik. Para epistemolog biasanya menyebutkan bahwa fakta saintifik merupakan deskripsi ide yang sesuai dengan dunia objektif—salah satu isu utama dalam filsafat sains adalah rekonstruksi metodologi saintifik. Namun, alih-alih melihat sains secara demikian, dalam Laboratory Life (1986) Latour pergi langsung ke laboratorium untuk melihat sains dan saintis dalam praktiknya secara antropologis. Dari investigasi antropologis ini, Latour menyimpulkan bahwa “fakta saintifik” tidaklah independen dari saintis sebagai subjek, tetapi dapat ditemukan dalam dan melalui keterhubungan (networks) antara aktor dan objek material dalam interaksi yang lebih luas.
Bagi Latour, sains juga bukanlah bentuk rasionalitas yang tertinggi yang menyingkap fakta-fakta universal, melainkan kerja keras dan upaya kreatif para saintis itu sendiri. Sains dengan demikian adalah konstruksi fakta oleh para saintis. Oleh karena itu, bagi Latour, untuk memahami sains kita membutuhkan antropologi, sebab sains bukan soal penyingkapan (discovery) terhadap sesuatu yang tersembunyi, melainkan soal invensi, yakni ketika sains mengonstruksi objek yang sedang dipelajari. Dengan demikian, apa yang selama ini kita sebut sebagai alam (nature) sebenarnya adalah apa yang dikatakan ilmu pengetahuan alam (natural sciences).
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa Barat menganggap sains dan modernitas sebagai garis pemisah antara yang rasional dan irasional. Berdasarkan perspektif Latour, hal ini sebenarnya bukanlah persoalan pembagian antara pikiran pra-saintifik dan saintifik, melainkan bahwa Barat telah mengkonstruksi aktor-jaringan (actor-networks) yang meliputi proses penerjemahan yang strategis, konstruksi laboratorium, dan pusat kalkulasi (Blok and Jensen, 2011: 50).
Filsafat Modernitas
Pertanyaan fundamental pada bagian ini adalah apa yang membuat kita modern. Jawaban yang paling umum dari para sejarawan, sosiolog, dan ilmuwan sosial lainnya adalah bahwa kita modern jika membentuk sistem pemerintahan dengan demokrasi representatif yang beradab alih-alih brutal; mengandalkan rasionalitas atau prinsip-prinsip saintifik alih-alih iman dan takhayul; hidup dalam masyarakat industri dan mengakui hak-hak setiap individu. Kebanyakan orang juga mengasumsikan bahwa modernitas benar-benar eksis dan saat ini kita berada di dalamnya serta mengasosiasikan modernitas dengan harapan dan keyakinan akan kemajuan dan kehidupan yang beradab. Namun demikian, modernitas ternyata melahirkan kolonisasi dan eksploitasi terhadap negara-negara dunia ketiga; terjadinya perang dunia; munculnya senjata pemusnah massal; serta polusi dan kerusakan alam dalam skala yang tidak pernah terbayang sebelumnya.
Sebagaimana eksplisit tampak dari judul bukunya, We Have Never Been Modern, Latour sama sekali tidak setuju dengan asumsi di atas. Bagi Latour, modernitas bukanlah sebuah periode historis yang benar-benar ada (an existing historical period) yang dengannya kemudian orang dapat menyebut kategorisasi mengenai era pramodern, modern, dan pascamodern. Bagi Latour, modernitas lebih merujuk kepada suatu cara berpikir (the way of thinking) dan bermula dari pemisahan antara alam dan masyarakat (nature and society) pada sekitar abad ke-17 ketika ilmu pengetahuan alam merupakan salah satu blok esensial yang membangun kategorisasi ini. Dalam menjustifikasi klaim ini, Latour konsisten menggunakan metode antropologi yang melihat semuanya secara sekaligus, karena baginya menjadi modern bukanlah sebuah sektor yang terisolasi, melainkan sebuah kerangka berpikir dan praktik. Objek dalam metodologi ini bukanlah komunitas-komunitas ‘primitif’ melainkan mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang atau masyarakat modern. Antropolog kemudian mencari susunan cara berpikir dan bertindak (rules of thought and action) dari sebuah komunitas yang diteliti. Cara berpikir dan bertindak dari orang atau masyarakat yang menyebut dirinya modern ini disebut oleh Latour sebagai “konstitusi modern”.
Mereka yang modern cenderung berpikir dalam kategori-kategori. Alam, misalnya, dinyatakan terpisah dari masyarakat. Namun, bagi Latour, segala sesuatu selalu terhubung dan tidak terpisah-pisah dalam sektor-sektor. Latour mengambil contoh berita di koran-koran. Berita mengenai perubahan iklim, misalnya, bukan hanya berkaitan dengan sains per se, melainkan juga berkaitan dengan masyarakat, politik, respons para pemimpin di pemerintahan, proses pembuatan hukum di parlemen, dll. Dengan demikian, “never been modern” berarti dunia tidak pernah berjalan berdasarkan aturan-aturan dari “konstitusi modern”. Ketika kita berpikir dalam kategori-kategori seperti sains, politik, alam, dan budaya, dunia sebenarnya penuh dengan percampuran-percampuran (hybrids) yang melampaui kategori-kategori tersebut.
Dekonstruksi terhadap cara berpikir modern ini kemudian membawa kita pada konsep “politik ekologi”, yang dengannya Latour berkesimpulan bahwa demokrasi harus diperluas dari sekedar parlemen rakyat (manusia) menjadi “parliament of things” .
Politik Ekologi
Pada bagian ini, Latour berfokus pada bagaimana merepresentasikan hybrids yang ada melalui konstitusi non-modern sebagai alternatif terhadap konstitusi modern. Hal ini tampak eksplisit dalam judul bukunya Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy (2004). Dalam hal ini Latour menentang konstitusi modern yang melihat sains dan politik sebagai dua hal yang terpisah. Baginya, sains dan politik harus saling melengkapi dan memperkaya dalam menyelidiki persoalan-persoalan yang sama, walau dengan sarana dan sumber daya yang berbeda. Dengan demikian diperlukan representasi manusia (humans) dan non-manusia (things) secara simultan. “Things” di sini mencakup manusia, sungai, objek-objek ekologis, lapisan ozon, dan seterusnya. Singkatnya: kolektivitas dari hybrids yang ada. Alih-alih melanjutkan modernisasi, bagi Latour kita mesti memulai untuk meng-ekologi-kan (ecologizing) kehidupan kolektif kita.
Bila modernisasi menekankan separasi, ekologisasi (ecologization) menekankan kolektivitas. Bagi Latour, politik ekologi perlu mengakui bahwa krisis ekologi tidak dapat dipandang secara sederhana sebagai krisis alam, melainkan juga krisis objektivitas. Artinya objek-objek dari krisis tersebut tidak pasti, kontroversial, dan keadaan hybrids–nya tergeser (shape-shifting hybrids). Dalam hal ini, politik ekologi bukanlah soal menyelamatkan alam dari pengaruh manusia, melainkan soal mendistribusikan kembali agen, peran, dan relasi kuasa yang secara praktis dapat mendobrak batas-batas antara manusia dan non-manusia, antara masyarakat dan alam. Politik ekologi juga bukan soal pergeseran dari antroposentrisme ke ekosentrisme, melainkan sebuah gerakan desentralisasi (movement of decentering), mengingat yang murni manusia (purely human) dan murni alam (purely natural) itu tidak pernah ada. Hewan atau tumbuhan misalnya, tidak membawa nilai-nilai intrinsik yang absolut dalam dirinya sendiri, melainkan dalam hubungan-hubungan konstitutif dengan manusia dan non-manusia lainnya.
Demikianlah Latour menunjukkan kepada kita bahwa sains merupakan sebuah konstruksi dan modernitas itu sendiri lebih merujuk pada suatu kerangka berpikir yang cenderung mengkotak-kotakkan berbagai macam kategori, sehingga modernisasi, bagi Latour, perlu diganti dengan ekologisasi.
Pemikiran Latour ini menemukan relevansinya dalam beberapa kasus, baik di Barat maupun di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Di Selandia Baru misalnya, kawasan hutan Te Urewera secara hukum dianggap sebagai entitas yang memiliki agensi atau personality. Undang-undang Selandia Baru yang memberikan identitas hukum terhadap hutan ini menyebutkan bahwa Te Urewera adalah sebuah entitas legal, dan memiliki semua hak, kuasa, tugas, dan kewajiban sebagai suatu oknum yang legal (a legal person). Setelah itu, Selandia Baru juga memberikan pengakuan hukum yang sama kepada sungai Whanganui. Pada 2008, Ekuador juga telah mengakui asas hak-hak dari alam (rights of nature principle) dalam konstitusinya. Di Indonesia pun, cara melihat alam yang demikian sejatinya bukan hal yang baru. Kelompok-kelompok agama suku di Indonesia seperti Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, masyarakat Kendeng di Jawa Tengah, suku Mollo di NTT, dan Marapu di Sumba, melihat alam mereka sebagai entitas yang memiliki agensi sembari menghayati keterhubungan mereka dengan entitas-entitas non-manusia di sekitarnya.
_________________
Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Umbu lainnya di sini.