• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Bukit Kasih (Indahnya Multireligiusitas)

Bukit Kasih (Indahnya Multireligiusitas)

  • Berita Wednesday Forum
  • 13 May 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Seorang antropolog Jerman dengan spesialisasi kajian Asia Tenggara, Dr. Judith Schlehe, hadir sebagai pembicara dalam Wednesday Forum CRCS-ICRS 13 April 2011. Profesor dari Universitas Freiburg, Jerman, ini menyampaikan presentasinya yang berjudul ‘Bukit Kasih, the Hill of Love: Multireligiosity for Pleasure’. Presentasi ini merupakan studi lapangan atas objek wisata Bukit Kasih di Sulawesi Utara yang berkonsep wisata antar agama, ditandai dengan rumah-rumah ibadah dari agama berbeda.

 

Bukit Kasih terletak di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Dari Manado, ibukota provinsi, berjarak  sekitar limapuluh kilometer ke arah selatan. Lokasinya merupakan daerah perbukitan yang menurut kepercayaan leluhur masyarakat lokal adalah tempat suci. Pertama kali dinamai Bukit Do’a di tahun 1999, kemudian di tahun 2004 rumah ibadah lima agama resmi Indonesia dibangun sehingga tempat ini memiliki nama baru Bukit Kasih.

 

Gagasan Bukit Kasih adalah pencanangan simbol kerukunan beragama saat pada pergantian dua millenium konflik agama marak di Indonesia. Namun Schele menyebutkan di tempat itu bahwa suasana pariwisata lebih terasa daripada suasana antar-agama. Pengunjung hanya memasuki tempat ibadah agama masing-masing tanpa ketertarikan dengan rumah ibadah agama lain. Baginya gagasan antar-agama tak nampak lagi, bahkan masyarakat sekitar melihat keberadaan tempat itu dari segi bisnis.

 

Di tempat ini pula terdapat makam mantan gubernur Sulawesi Utara, A. J. Sondakh. Menurut Schlehe, hal ini menunjukkan adanya nuansa politik dan kuasa di balik berdirinya lokasi wisata ini. Namun di luar kegagalan representasi antar-agama, Schlehe menekankan tentang bagaimana agama sesungguhnya bisa direproduksi dalam logika popular. Fakta bahwa substansi keagamaan dapat muncul dalam beragam suasana dan situasi melawan teori sekularisasi ini bertentangan dengan teori sekularisasi.

 

Setelah presentasi, sesi dibuka untuk pertanyaan dan pendapat. Diskusi menyinggung isu hubungan antropologi dengan dialog antar agama saat Schlehe menjelaskan bahwa dia sebagai antropolog hanya memberikan saran ke dalam area dialog antar-agama. Ini mengingat bahwa konfik keagamaan memang benar-benar ada sehingga sarjana ilmu sosial punya semacam tanggung jawab terhadap area dialog antar-agama tersebut.

 

Salah seorang peserta diskusi berkomentar bahwa kegagalan fungsi antar agama justru disebabkan oleh identifikasi kekuasaan pada Bukit Kasih. Schlehe tak menyanggah komentar itu dan ia menambahkan bahwa Bukit kasih lebih merupakan perayaan atas keberagaman namun tak sepenuhnya mampu mendorong dialog. Ia sukses sebagai objek ziarah agama-agama satu per satu bukan namun tidak secara keseluruhan. Ziarah adalah wisata itu sendiri sebagaimana disebut Victor Turner and Edith Turner.

 

Forum juga menyebut bahwa Bukit Kasih lebih didominasi oleh simbolis-simbol Kristen. Satu asumsi adalah bahwa ia bukan simbol antar-agama namun hanya dominasi Kristen dalam wilayah multirelijius yang bebas konflik. Schlehe juga mempertanyakan tidak adanya simbol Konghucu yang faktanya telah dilegalkan di Indonesia sejak 2002. Namun bagaimanapun, masih ada celah potensi dalam kasus Bukit Kasih yang bisa dimaksimalkan demi gagasan keberagaman agama dan dialog antar agama. [MoU]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju