Aksi Super Damai 212 patut diapresiasi sebagai bukti kemajuan dan kedewasaan umat Islam Indonesia dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Kesejukan yang hadir dalam aksi ini sudah seharusnya diapresiasi.
Namun demikian, bagi peserta aksi, tujuan mereka bukan sekadar membuktikan bahwa Aksi Bela Islam adalah gerakan damai. Ratusan ribu atau bahkan lebih dari sejuta orang bersusah payah mendatangi Jakarta dalam aksi 212. Sebagian bahkan rela jalan kaki berhari-hari demi “membela Islam”, dengan tuntutan memenjarakan Ahok. Menariknya, meskipun Ahok tidak ditahan, para peserta aksi 212 tampak pulang dengan perasaan menang.
Sampai esai ini ditulis, perayaan kemenangan masih berlanjut. Linimasa masih dibanjiri konten dan unggahan yang menunjukkan kedahsyatan momen setengah hari di bawah Monas itu. Sebagian bahkan menawarkan cenderamata dan kaos untuk mengenang momen kemenangan.
Lantas pertanyaannya: apa yang sebenarnya telah dimenangkan?
Perang Posisi, Bukan Perang Manuver
Bagi banyak orang, partisipasi dalam aksi 212 bisa menjadi bagian dari momen langka yang tidak terlupakan. Berada di tengah lautan manusia untuk “membela Islam” merupakan kepuasan spiritual. Aksi yang begitu besar, yang dilakukan dengan tertib dan tanpa menyisakan sampah, adalah sebuah kemenangan dalam melawan wacana atau tuduhan tentang ancaman kekerasan dan makar.
Perspective
Ashabul Fitnah dan Kehancuran Sebuah Bangsa, Pelajaran dari Suriah
M. Iqbal Ahnaf – 7 Maret 2016
Ketika baru-baru ini seorang ‘ustadz’ di laman facebooknya memosting gambar Imam Besar Universitas Al-Azhar sedang berciuman dengan Paus Fransiskus banyak orang langsung menuduh bahwa sang ustadz sedang menyebar fitnah. Setelah dilaporkan ke polisi atas tuduhan mencemarkan nama baik, sang ustadz tidak bisa mengelak; seakan mengakui telah menyebar foto palsu ia segera menghapus alat fitnah tersebut dari laman facebooknya. Tapi ironisnya ia tidak mengakui kesalahannya, tetapi justru menyampaikan bahwa ia memosting foto tersebut dengan ‘niat baik’ mengingatkan umat Islam agar menolak upaya berdamai dengan penganut Syiah sebagaimana pesan Sang Imam.
Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai
Tim Penulis CRCS – 19 Juli 2015
Suasana Idul Fitri di Kabupaten Tolikara, Papua terusik dengan berita kerusuhan yang menyebabkan satu orang meninggal dan belasan terluka karena tembakan aparat; serta puluhan kios dan sebuah musholla di dekatnya dibakar (menurut satu versi, musholla bukan target utama tapi ikut terbakar). Sejauh ini telah muncul berita dari beberapa sumber, yang sebagian tampaknya masih perlu diverifikasi. Namun, sebagian lain, sayangnya, dalam keterbatasan informasi yang ada kini, sudah “menggoreng” berita itu untuk melakukan provokasi lebih jauh, hingga ke tingkat menggiring isu ini menjadi konflik kekerasan antara Kristen dan Muslim—bukan hanya di Tolikara, tapi Papua, bahkan jangkauannya diperluas hingga Indonesia, mungkin juga ada yang memperluasnya untuk berbicara mengenai Muslim-Kristen di dunia!