Problem keragaman seperti konflik rumah ibadah dan intoleransi selama ini seringkali dipahami sebagai akibat dari menguatnya radikalisme keagamaan. Namun tulisan-tulisan dalam buku ini memberikan gambaran yang berbeda. Secara umum relasi antar kelompok identitas ditempatkan dalam dua bentuk: kontestasi dan koeksistensi. Istilah kontestasi digunakan untuk menunjukkan bahwa konflik-konflik sosial keagamaan yang belakangan banyak terjadi tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial politik di Indonesia yang menunjukkan menguatnya perebutan kendali atas ruang publik oleh kekuatan-kekuatan sosial di Masyarakat. Untunglah kontestasi ini bukanlah gambaran tunggal: beberapa tulisan dalam buku ini mengangkat tradisi di masyarakat plural yang menjadi mekanisme pengelolaan keragaman secara damai atau dapat disebut koeksistensi. Kedua jenis relasi ini diharapkan dapat membuka jendela untuk mengeksplorasi ragam praktik pengelolaan keragaman di Indonesia secara jernih dan bernuansa.
Pluralism News
The “Keeping the Faith: A Study of Freedom of Thought, Conscience and Religion in ASEAN” discussion series arrived in Yogyakarta on May 30, 2015. Held in collaboration with HRRC’s partner, the Law Faculty of Gadjah Mada University (UGM), the event was also organized with the support of the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS UGM), the Center for Human Rights Studies of the Islamic University of Indonesia (PUSHAM UII), and the Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief at the Norwegian Centre for Human Rights.
Dr. Zainal Abidin Bagir, Director of the Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) at Gadjah Mada University and author of the Indonesia country report in “Keeping the Faith,” focused on the country’s freedom of religion situation. “Law both shapes the society and is shaped by the society. Thus, engagement with the society is important to end discrimination and persecution against religious and belief minorities.” Specifically on the Law on Anti-Blasphemy in Indonesia, “there is a need to raise awareness in the society to repeal laws that open the room or pathway toward intolerance,” Dr. Bagir emphasized.
For the whole report of the discussion series click “Keeping the Faith roadshow in Jakarta” and “Keeping the Faith discussion series in Yogyakarta.”
Sebagai the City of Tolerance, Yogyakarta dikenal sebagai miniatur Indonesia, sebuah negara yang dibangun diatas kesadaran akan keragaman. Namun saat ini apa yang menjadi masalah dilevel nasional, Indonesia, juga terjadi di level lokal, Yogyakarta, yaitu masalah pengelolaan keragaman yang ditandai oleh maraknya tindakan-tindakan intoleransi dan konflik-konflik terkait berbedaan. Demikian salah satu bahan evaluasi dan refleksi pada pembukaan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ketiga di Kaliurang, Yogyakarta, 24 April 2014. Kegiatan yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi antara elemen akademik dengan aktivis ini terselenggara atas kerjasama antara CRCS dengan American Friends Service Committee. Diharapkan upaya ini dapat berkontribusi dalam mewujudkan Yogyakarta sebagai the City of Tolerance, demikian papar Dr. Samsul Maarif, ketua pelaksana prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS).
Sekretaris Nasional Gus Durian, Alissa Wahid yang dihadirkan pada acara pembukaan mengungkapkan, meskipun komunikasi pemuka agama relatif masih baik, namun terdapat perkembangan yang mulai mengkhawatirkan, diantaranya adalah munculnya spanduk-spanduk kebencian kepada kelompok lain, anti syiah maupun anti komunis, adanya insiden-insiden protes terhadap perbedaan dan kelompok minoritas. Serta penyelesaian masalah-masalah itu yang cenderung instan dan segera bergerak ke arah isu lain dengan cepat, sehingga insiden dan konflik tersebut akan mudah terulang.
Dihadapan 25 peserta dari berbagai organisasi di Yogyakarta, Alissa Wahid menilai bahwa kondisi Indonesia saat ini sangat ironis. Menurutnya Indonesia yang berdiri atas kesepakan bersama dari berbagai suku bangsa seharusnya menyadari bahwa keberagaman menjadi sesuatu yang given dan dihormati. Namun, ruang-ruang diskusi pengelolaan keragaman menjadi sangat resmi dan harus dilakukan berulang-ulang sebagai upaya untuk mempertahankan keragaman tersebut, karena semakin langkanya penghormatan dan pengakuan hak-hak kewargaan, khususnya untuk kelompok minoritas.
Lebih lanjut Alissa menerangkan, efek globalisasi menyebabkan komunitas tidak lagi terbentuk berdasarkan kekerabatan dan kedekatan geografis. Apa yang dulu disebut suku saat ini lebih pada kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan ideologi dan minat. Konsekuensinya arus tersebut tidak bisa ditahan, dimana seseorang memiliki kesamaan minat dari berbagai penjuru dunia. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kepercayaan terhadap orang yang berbeda di sekililingnya. Dengan demikian, tumbuh perasaan curiga dan jika pun tidak terdapat konflik, hanya berdasarkan pada toleransi semu semata.
Alissa menambahkan terdapat beberapa indikator masyarakat yang menuju pada kondisi destruktif, salah satunya adalah akses mendapatkan senjata yang mudah. Indonesia tidak sampai pada kondisi tersebut namun masih terdapat indikator masyarakat destruktif lainnya yang ditemukan, yaitu bagaimana Negara (maupun kelompok mayoritas) memperlakukan masyarakat yang rentan (minoritas) sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Dalam pengeloaan konflik, kelompok tersebut dianggap sebagai ancaman yang harus dilokalisir. Berbeda dengan indikator masyarakat berkembang dimana masyarakat kecil tidak dilihat sebagai minoritas, tetapi warga sipil yang seharusnya tetap mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya.
Keragaman adalah fakta geografis dan sosial bangsa Indonesia yang tak bisa dipungkiri. Sebagaimana yang ditegaskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman sudah menjadi identitas Indonesia. Disatu sisi keragaman adalah kekayaan yang bisa dibanggakan namun disisi lain juga menyimpan potensi konflik yang tinggi, baik konflik antar umat beragama maupun antar etnis, sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan keragaman ini. Untuk itu Program Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM mengadakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dengan mengundang aktivis dan akademisi untuk saling menggenapi. Tulisan ini merupakan hasil bincang-bincang dengan Taufik Bilfagih, ketua umum Yayasan Alhikam Cinta Indonesia di Manado, yang menjadi peserta SPK angkatan k-2, pada akhir November lalu.
Bertempat di University Club, UGM, Senin (25/11), lelaki Manado dari suku Bajo ini menuturkan bahwa keragaman adalah sebuah keadaan di mana ada banyak sisi perbedaan, baik yang berhubungan dengan identitas kesukuan, agama, bahkan psikologi seseorang. Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah membawa keragaman seperti, perbedaan sifat, sikap, fisik, keyakinan, dan lain-lain. Maka, dalam konteks ke-Indonesiaan, keragaman adalah realitas hidup yang harus dikelola secara baik sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika .
Bahkan jika berbicara masalah waria, ia menambahkan, itu juga termasuk bagian dari keragaman yang ada. Jika kita melihat kitab suci al-Qur’an atau al-Kitab, memang tidak disebutkan bahwa waria diciptakan oleh Tuhan. Kitab suci hanya menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan pria dan wanita saja. Hal ini menunjukan bahwa secara biologis, Tuhan menciptakan pria dan wanita, namun secara gender, ada juga pria yang memiliki fimininitas lebih dominan dari pada maskulinitasnya, dan begitu juga sebaliknya. Maka, ini adalah salah satu realitas keragaman yang ada. Mereka patut diperhatikan dan tidak boleh dipandang hanya dari satu sisi saja, jelasnya.
Berbicara mengenai isu keragaman yang lebih spesifik, yaitu di Sulawesi Utara khususnya Manado, pria kelahiran 16 Maret 1986 ini menjelaskan bahwa secara mendasar, Manado adalah salah satu kota yang dihuni oleh bermacam-macam etnik seperti, Minahasa, Jawa, Arab, Tionghoa dan juga bermacam-macam penegikut agama. Namun, ada perubahan sosial yang dirasakannya semenjak era globalisasi saat ini yang menurutnya dipicu oleh mudahnya informasi yang masuk dari daerah di luar Sulawaesi Utara, baik itu informasi yang negatif ataupun positif.
Sebelum masa reformasi, Manado relatif lebih bisa menerima keragaman yang ada, namun setelah era reformasi, ada pemantik-pemantik konflik antar umat beragama yang jika tidak dikelola dengan baik, akan meningkat menjadi konflik yang lebih besar. Contohnya saja, ketika ada pembangunan Islamic Center di Bitung, Sulawsi Utara, ada penolakan dari pemuda-pemuda Kristen setempat. Ia menjelaskan, “saya pikir ini salah satu implikasi dari mudahnya informasi yang masuk dari luar, seperti beberapa berita insiden bom bunuh diri yang dilakukan oleh sekelompok Muslim radikal di beberapa tempat di luar Manado, yang akhirnya menimbulkan stereotype.”
Salah satu pergeseran sosial yang ia rasakan juga adalah, mulai banyaknya ustadz-ustadz yang berdatangan dari luar manado, bahkan ada yang dari Timur-Tengah. Saat ini mereka lebih mudah mengatakan dan memprovokasi masyarakat dengan imbauan-imbauan, “hati-hati dengan agama misionaris Kristen.” Bahkan di kampung-kampung, Minahasa, pendeta juga berani mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris. Maka, pemantik-pemantik seperti ini jika tidak dikelola secara baik dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih besar.
Biasanya ketika sesuatu terjadi, maka akan ada efek yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat yang berada di lain tempat sekitarnya atau bahkan di luar pulau. Contohnya saja Jawa, sedikit banyak apa yang terjadi di Jawa, juga akan mempengaruhi daerah-daerah di luar Jawa, karena ia menjadi pusat dalam berbagai hal. Untuk Manado sendiri, sampai saat ini ia juga merasakan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut yang bisa menjadi pemantik konflik antar umat beragama, namun efeknya tidak terlalu besar. Ketika terjadi konflik Islam-Kristen di Ambon atau Poso, Manado adalah salah satu kota yang tidak terpengaruh walaupun masyarakat Manado juga terdiri dari orang-orang Kristiani dan Muslim, tutur pria yang biasa dipanggil Bilfagih ini.
Termotivasi oleh pergeseran sosial yang ia rasakan di Sulawesi Utara, maka ia memutuskan mengikuti kegiatan SPK ke-2 ini. Ia juga menambahkan, “Karena saya sudah cukup lama aktif di dalam isu keragaman, salah satunya di Yayasan Al-Hikam Cinta Indonesia yang bergerak mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama, yang kebetulan saya ketuai, maka SPK ini sangat bermanfaat sekali. Di sini kita dapat memperluas pengetahuan mengenai masalah-masalah keragaman di Indonesia dan teori-teori beserta strategi untuk mengelola keragaman tersebut. Selain itu, kita juga mempelajari lagi dari program ini contoh pola-pola untuk mengelola keragaman yang ternyata beberapa kebetulan sudah terlaksana di Manado khususnya. Contoh, ketika ada hari besar Islam seperti lebaran, Idhul adha, Maulid Nabi, teman-teman dari umat kristiani ikut membantu untuk melancarkan acara tersebut dengan membentuk panitia yang mengelola parkir, lalu-lintas, dan begitu juga sebaliknya. Pola ini sebenarnya sudah terbentuk, hanya saja belum tersistematisasi.”
Setelah mengikuti program SPK ini selama beberapa hari, para peserta akan memiliki ide-ide yang berhubungan dengan pluralisme dan keragaman yang akan diimplementasikan di daerahnya masing-masing sekembalinya nanti. Bilfagih sendiri menjelaskan bahwa ia akan melanjutkan aktifitas-aktifitas dakwah sosial yang berkenaan dengan kerukunan umat beragama yang sudah dijalankan di lembaganya, seperti dialog antar umat beragama dengan mengundang tokoh-tokoh agama lain ke yayasannya, sekaligus juga ingin membuat komunitas yang lebih luas dan beragam bagi tokoh-tokoh yang peduli pada kerukunan antar sesama di Manado, baik itu aktifis Muslim, Kristiani, ataupun kelompok budaya. Dengan ini, apa yang didapatkan ketika SPK tidak hanya berhenti setelah kegiatan tersebut selesai, melainkan para peserta tetap akan mengimplementasikannya di lapangan.
One of the weaknesses of advocacy activities performed by non-profit organizations is their lack of a basis of knowledge at both the micro and macro levels. This results in advocacy that is not maximal due to imprecise strategy, targets, and coverage. Advocacy is an important activity that provides a bargaining position for the public in the process of improving government policy. Therefore, advocacy requires rational consideration based on data in order to be able to offer alternative solutions for mutual agreements between parties, the government, and the public.
In an effort to increase the research skills of activists and strengthen the quality of their advocacy efforts, the participants of the second School for Diversity Management (Sekolah Pengelolaan Keragaman, SPK) were invited to the Institute for Research and Empowerment (IRE), a non-partisan, nonprofit independent organization based in the academic community. Located in Sariharjo village in Yogyakarta, the IRE conducts research on the evaluation and analysis of government policy, especially in regions where support for critical attitudes and tactical actions are needed to strengthen the democratic process.
IRE Senior Researcher Arie Sujito explained that advocacy based in research is a form of advocacy that utilizes the main results of empirical research for data and analysis. Research results are used to convince parties aiming to influence strategic policy, especially the public and formal authorities. These measures are applied through two different avenues. First, they are applied through “political technocracy” that evaluates the evolution of the state’s response to transparent, committed, accountable, professional and innovative work, and secondly, through the organization and empowerment of a critical and active public.
The advantage of using research-based advocacy is that data and discoveries provide strong material for the process of negotiating government policy. In addition, research results can help to more completely map problems, identify and prioritize issues, and seek alternative solutions while negotiating change. They also support a number of different strategies for action.
Research-based advocacy expands the agenda of policy makers in exploring particular issues. What is needed is a sense of a problem’s context, including issues, interests, alternative choices and solutions formulated as strategies for advocacy. Sujito provided an example of a number of projects where IRE used research-based advocacy, including pluralism advocacy in regards to local applications of syariah law in three provinces in the regions of West Nusa Tenggara, South Sulawesi, and South Kalimantan.
Sujito emphasized that the key to research for advocacy is managing the results so they can be used as strategic proposals for problem solving, not just in efforts to cause new problems. Therefore, he recommends three basic steps should be heeded: the presentation of priority subject matter, allowing the findings and recommendations to received and debated, as well as the hope that the research results will contribute to a unanimous position and balanced interests.
Research can become a basis for advocacy depending on how researchers and activists manage the process. According to Sujito, public protests over government policy can be channeled through constructive interests. Data gathered in the field can become educational material, raise awareness, and serve as a legitimation for approaching the community.
Sujito added that data does not just produce inanimate objects like reports or educational materials, but can also become a tool for motivating the public through media outlets like journals, articles, talk shows and the like. The duplication of data must be closely watched not only at the level of the public, but all the way to the level of policy makers in the executive, legislative, and judicial branches.
The most pressing problem for Sujito is the difficulty of finding space for discussion in social, political, and economic debate. The majority of the space created by the media for discussion is, in his opinion, a “space of gossip” because the greater public does not catch the essence the discourse. Moral critiques have become dominant instead. A healthy space for discourse is one that helps to overcome sectarianism. Sectarianism emerges in part as a result of the failure of the public to define identities, and because the state is not capable of facilitating different identities in interaction.
Pluralism Knowledge Program is a collaborative program of four countries: Indonesia, Uganda, India and the Netherland. This video explains the activities of this program.
[youtube=https://youtu.be/h5NETlkQRqk]