• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Bedah Buku
  • Dari Kosmologi Ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan Menentang Fanatisme

Dari Kosmologi Ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan Menentang Fanatisme

  • Bedah Buku
  • 1 January 2011, 00.00
  • Oleh:
  • 0

CRCS-20032012-97-kosmologiDalam perjalanan eksistensialnya, manusia berusaha menguak berbagai misteri jagad raya hingga mempertanyakan “Realitas”. Termasuk di dalamnya usaha keras seorang Albert Einstein yang terobsesi merumuskan teori relativitas untuk menyingkap kehendak Tuhan atas penciptaan. Namun, kecanggihan indera dan rasio manusia memiliki batas-batas tertentu. Realitas tidak pernah terengkuh secara mutlak, apalagi Tuhan.

Karlina Supelli membuka buku ini lewat pemaparan bahwa pengetahuan dipengaruhi sangat kuat oleh dimensi antropologis. Mengangkat kajian kosmologi yang telah digelutinya sekian tahun, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menunjukkan disparitas antara Kosmos (dengan k besar) dengan kosmos (k kecil). Yang pertama adalah hasil rengkuhan manusia, para ilmuan. Sedangkan yang kedua adalah pengetahuan absolut akan Sang Mutlak yang tak terpermanai (terjangkau). Konflik timbul karena “kegagalan manusia menjalin pemahaman tentang k dengan pengalaman akan K” (hal. 70). Sehingga sikap rendah hati dalam menjelaskan realitas menjadi penting.

Landasan epistemologis inilah yang melatarbelakangi kehadiran “Dari Kosmologi ke Dialog”. Ada keprihatinan dan kerisauan terhadap “cuaca kultural bangsa ini yang ditandai oleh berbagai gejala fanatisme dan ekstriemisme” (hal. 21).

Pembaca diajak mengeksplorasi lebih serius tentang orasi ilmiah Karlina Supelli dalam serial Nurcholis Madjid Memorial Lectrure (NMML) yang ditanggapi oleh beberapa pakar dan ilmuan dari berbagai bidang. Mark Woodward, seorang antropolog Amerika, misalnya memberikan pandangan bahwa apa yang berusaha ditegaskan Karlina tentang usaha memahami hubungan pencipta-makhluk sebenarnya lebih kurang sama dengan gagasan Cak Nur. Bedanya, Karlina masuk dari Kosmologi sedangkan Cak Nur dari Ilmu Kalam. Namun mereka sampai pada kesimpulan yang selaras: ketidakpenuhan atas totalitas pengetahuan.

Apakah tesis “keterbatasan manusia mencerap realitas” mengafirmasi keberadaan nihilisme? Karlina lebih cenderung memilih titik moderat di antara objektivisme absolut dan subjektivisme nihilistik. Proposisi bahwa realitas yang sampai pada manusia hanya representasi dan bukan realitas itu sendiri tidak serta-merta menjadikan segalanya hanya ilusi. Benda-benda yang manusia hidup dengannya hingga bumi yang didiami tidak bisa dikatakan tidak nyata. Bahwa kemudian manusia membutuhkan mediasi berupa bahasa misalnya, untuk bisa sampai pada realitas adalah soal lain. Namun, persoalaan akan muncul ketika tafsir atas realitas, yang jelas-jelas dimediasi oleh bahasa dan tidak bisa tidak terbatas, menjurus pada klaim kebenaran tunggal. Gejala inilah yang perlu diantisipasi sedini mungkin agar tidak terlanjut ke ranah fanatisme buta.

“Dari Kosmologi ke Dialog” menjadi penting karena memberikan ruang pemahaman tentang problematika manusia dalam usahanya mencerap realitas. Tak berhenti di situ, usaha mencerap realitas ketuhanan yang dilandasi doktrin agama juga ditilik secara kritis. Buku ini membawa pesan yang sederhana namun sangat penting untuk direnungi, khususnya menyangkut realitas keberagamaan kita. Jika manusia tidak mampu terhindar dari subjektifitas penafsiran atas segala upaya menangkap pengetahuan, lalu masih layakkah pemertahanan tafsiran tunggal atas kebenaran agama? (AGA)

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju