Semua orang menginginkan kebebasan beragama atau berkeyakinan, tetapi bagaimana jika kebebasan itu saling menafikan dan tidak bisa didamaikan?
Bedah Buku
“Laporan ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, Pilkada turut berperan dalam terciptanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan mobilisasi dan peran kekuatan-kekuatan sosial yang mengusung ideologi intoleran.”
Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia ini mengkaji peran pilkada sebagai struktur kesempatan politik bagi menguatnya konflik atau kekerasan keagamaan. Tanpa bermaksud mendelegitimasi Pilkada langsung, Laporan ini mengulas tiga kasus kekerasan terkait hubungan antar dan intra-agama. Ketiga kasus ini dihadirkan untuk memberi ilustrasi pentingnya mengantisipasi efek samping dari Pilkada terhadap situasi keragaman agama di Indonesia.
Ketiga Kasus tersebut adalah kekerasan terhadap Masjid Ahmadiyah dan beberapa gereja di Bekasi (Jawa Barat), kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang (Jawa Timur), dan sengketa pembangunan Masjid Nur Musafir di Kelurahan Batuplat, Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur). Ketiga kasus ini dipilih untuk memberikan ilustrasi tentang pentingnya memperhatikan Pilkada sebagai masa kritis yang bisa menentukan pola hubungan antar-agama.
Dengan demikian, bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai peta permasalahan terkait kehidupan beragama, beberapa karakternya, dan peluang-peluang atau cara-cara konstruktif untuk menanggapinya. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa sesungguhnya selama 15 tahun terakhir ini, ada beberapa jenis isu utama yang muncul secara konsisten. Misalnya, sementara kekerasan komunal berskala besar cenderung menurun secara tajam, namun kekerasankekerasan sporadis yang terkait dengan “penodaan agama” atau isu pembangunan rumah ibadah tampak makin intens; isu lain yang kerap muncul sebagai akibat demokratisasi adalah menguatnya wacana pro-kontra terkait pembuatan kebijakankebijakan publik, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Laporan ini bisa diunduh: http://wp.me/P5Fa8A-4P
Anang Alfian | CRCS UGM | Book Review
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”14″]”Kasus kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang tak cuma seputar isu konflik dan permusuhan, di sana juga ada upaya rekonsiliasi dan persaudaraan yang mengharukan.” [/perfectpullquote]
Berita kerusuhan antar-umat beragama di Sampang lima tahun silam senyampang mungkin masih melekat di memori kita. Namun, kerusuhan pada waktu itu tetap menyisakan trauma mendalam di kalangan Syiah dan Sunni masyarakat Dusun Nagkernang dan Gading Laok, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Setidaknya telah tercatat dua kali pembakaran pada tahun 2011 dan 2012 yang berujung pada pengusiran warga Syiah dari Madura.
Situasi konflik tersebut mendorong Muhammad Afdillah untuk menelisik lebih jauh akar perseteruan Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Berangkat dengan asumsi bahwa konflik kekerasan yang terjadi diakibatkan oleh rentetan peristiwa yang mendahuluinya, buku “ Dari Masjid ke Panggung Politik” ini mendasari penelitiannya dengan teori bahwa kekerasan fisik yang terjadi adalah hasil dari kekerasan struktural dan kultural yang terjadi di masyarakat (hlm. 5). Untuk itu, buku ini membuka bahasannya dengan mendedah budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sampang sebagai titik tolak.
Secara garis besar, Afdillah menggarisbawahi bahwa Masyarakat Sampang, dan Madura pada umumnya, memegang teguh tiga nilai yang menjadi identitas karakter orang Madura. Yaitu bappha’ babbhu’, guruh, rato, artinya orang tua, guru, penguasa; Taretan dibi, artinya persaudaraan; dan lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata yang artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Dalam konteks nilai semacam ini, orang tua menempati urutan utama dalam masyarakat Madura sehingga tak heran hubungan keluarga di Madura sangat erat. Nilai ini salah satunya tercermin pada rumah adat Madura yang cenderung mengumpul dan berjejer dengan rumah anggota keluarga yang lain dalam satu pekarangan. Guru atau pemimpin agama merupakan aktor strategis sebagai mediator hubungan masyarakat dengan penguasa. Sikap patuh kepada guru tidak bisa ditawar dalam masyarakat Madura. Selain itu, nilai nilai gotong royong, persaudaraan dan martabat diri dan keluarga sangat dijaga oleh orang Madura. Dalam kasus konflik Sampang, elemen-elemen budaya ini mewarnai dinamika dan peta relasi kultur dan politik dalam inisiasi dan eskalasi konflik.
Permulaan konflik sampang dijelaskan secara beruntun mulai dari perselisihan antarkeluarga Kyai Makmun dan Kyai Karrar yang memiliki perbedaan ideologi agama, hingga masalah perebutan pengaruh kekuasaan. Tak luput isu isu ekonomi juga berdampak pada perkembangan konflik. Banyaknya aktor yang terlibat dari organisasi masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah daerah dan politisi semakin menambah ramai masalah hingga terdengar luas di Indonesia. Eskalasi konflik pun tak terelakkan ketika bentrok masyarakat terjadi beberapa kali.
Buku yang berasal dari tesis di Program Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, ini ditulis pada tahun 2013 ketika dampak dari eskalasi konflik masih sangat terasa. Dengan gaya narasi yang ringan dan menarik, buku yang mendapatkan penghargaan Thesis Award CRCS ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam karakter sosial masyarakat Madura, khususnya Sampang, dari awal mula terjadinya pertikaian antarkeluarga dan masyarakat, hingga meluas menjadi eskalasi konflik yang mencekam.
Menariknya, buku ini tak hanya berbicara tentang bagaimana konflik Sampang terjadi, tapi juga usaha penyelesaian konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca konflik dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai persaudaraan sebagai kearifan lokal orang Madura. Pada pertemuan ke empat yang diadakan oleh Kementerian Agama Kabupaten Sampang antara kelompok Syiah dan Sunni, terlihat jelas bagaimana rasa persaudaraan yang kuat Taretan Dibi’ orang Madura tak bisa dibohongi. Mereka yang dulu terlibat konflik berdarah akhirnya mengakui rasa kangennya terhadap saudara dan ingin melupakan konflik yang pernah terjadi dan berjanji akan menjalin dan menjaga perdamaian bersama meskipun trauma serupa tetap ada. Buku ini menjadi penting sebagai pelajaran reflektif bagi kita untuk terus mengupayakan kerukunan dan toleransi terhadap perbedaan antar umat beragama, dan mengupayakan resolusi konflik dengan jalan perdamaian.
Judul: Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur | Penulis: Muhammad Afdillah | Penerbit: CRCS 2016 | ISBN: 978-602-72686-6-1 | Harga: Rp 70.000,- |
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here
Kamis, 8 Oktober 2015, Prof. Chaiwat Satha-Anand, guru besar ilmu politik Universitas Thammasat, Thailand, memberikan kuliah umum seputar agama dan kekerasan di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah itu merupakan bagian dari Nucholish Madjid Memorial Lecture (NMML) IX yang pada tahun ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta, sekaligus dalam rangka mengisi peringatan 15 tahun program studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS]), UGM. Satha-Anand dikenal luas sebagai akademisi sekaligus aktivis yang mengampanyekan perjuangan melawan ketidakadilan dengan pendekatan nirkekerasan berbasis keagamaan, khususnya Islam. Satha-Anand juga merupakan kawan baik dari almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Tulisan-tulisannya banyak membahas relasi agama dan kekerasan secara umum, juga resolusi konflik di Thailand secara khusus.
Rachmanto | CRCS
Indonesia tidak hanya kaya aneka sumber daya alam tetapi juga kaya akan beragam bencana alam dan pemaknaannya. Setiap individu dan kelompok masyarakat akan mempuyai penjelasan dan pemaknaan yang berbeda-beda terhadap bencana tergantung sudut pandang dan kepercayaannya masing-masing. Jika pemerintah menggunakan pendekatan sains dalam merespon bencana tidak halnya dengan masyarakat lokal, mereka mempunyai pandangan sendiri terhadap bencana.
Buku ini secara khusus membahas mengenai salah satu pandangan masyarakat lokal di Indonesia Timur dalam memahami dan merespon bencana. Mereka adalah suku Wunga, Sumba Timur, NTT. Buku yang ditulis oleh Jimmy Marcos Immanuel ini merupakan tesisnya di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada. Melalui pendekatan etnoekologi penulis mencoba memahami bagaimana masyarakat Wunga memandang, memahami, dan juga merespon lingkungan sekitarnya (khususnya ketika terjadi bencana) (p.xi).
Masyarakat Sumba Timur merupakan daerah dengan beragam ancama bencana. Mulai dari gempa bumi, tsunami, kekeringan (yang menyebabkan krisis pangan dan air bersih), banjir, dan sebagainya (p.4-6). Bencana ini, yang juga sangat ditentukan oleh kondisi alam, sudah mereka anggap sebagai bagian dari hidup mereka. Mereka menganggap tanah tempat mereka hidup adalah sesuatu yang harus diterima. Bahkan mereka harus berterima kasih terhadap kondisi tersebut. Hal yang membuat masyarakat Wunga tetap optimis dalam menghadapi bencana karena mereka percaya Marapu (nenek moyang) masih terus menjaga mereka (p.146). Worldview seperti ini membuat masyarakat Wunga tidak mudah menyerah dalam tekanan.
Untuk melihat makna dan respon masyarakat Wunga, maka tidak lepas dari pandangan kosmologi mereka. Masyarakat Wunga hidup menyatu dan selaras dengan alam. Segala hal yang mereka lakukan terhadap alam merupakan bentuk komunikasi mereka terhadap Marapu. Jimmy Marcos Immanuel, mengutip Wellen (2004), menjelaskan bahwa Marapu adalah kepercayaan tradisional masyarakat Sumba. Marapu adalah sesuatu yang tidak terlihat dan dihormati, disembah, dan merupakan kekuatan supranatural (p.7-8). Sehingga apapun yang terjadi tidak lepas dari peran serta Marapu dalam masyarakat. Termasuk ketika terjadi bencana.
Masyarakat Wunga mengklasifikasikan bencana alam dalam beberapa macam dan jenisnya. Permasalahan alam tersebut antara lain Rimbang (kelaparan), mucung (kebakaran), Longa (hama belalang), Kaliduk (hama ulat), Wandu (kekeringan), Kaputa Ahu (angin puting beliung), Kapeku (hama katak), Tai Kabala (gulma), Opung (gempa bumi) (p.86).
Hal menarik dalam masyarakat Wunga, mereka tidak mengenal istilah bencana. Bagi mereka, peristiwa alam yang terjadi merupakan Ngangu Hipu (pelanggaran). Mereka percaya bahwa peristiwa ini terjadi karena ada masyarakat Wunga yang melakukan pelanggaran. Masyarakat Wunga juga tidak mengenal istilah korban melainkan penerima sanksi (karena jika korban mungkin tidak bersalah. Sementara penerima sanksi pasti bersalah). Penggunaan istilah ini makin memperkuat pandangan bahwa peristiwa alam yang terjadi adalah akibat pelanggaran dan bukan bencana (p.125).
Hasil interaksi masyarakat Wunga dengan dunia luar (pemerintah, media informasi, LSM, dsb) secara perlahan merubah beberapa konsep dan pandangan mereka atas peristiwa alam yang terjadi. Jika sebelumnya masyarakat Wunga merasa pasrah dan menikmati bencana alam yang terjadi, saat ini mulai berubah. Dalam merespon bencana alam, masyarakat Wunga mulai membutuhkan dan menerima bantuan. Bandingkan dengan sebelumnya yang mengaggap bencana sebagai sesuatu yang “tertutup” untuk mereka. Hal itu merupakan bentuk “pengurangan” dan “pengecualian” dalam masyarakat Wungga saat ini (p.176). Di sini tampak masyarakat Wunga dapat menerima informasi yang lebih bersifat ilmiah. Salah satu buktinya saat ini mereka mulai mempercayai bahwa gempa terjadi karena terjadi gesekan lempeng bumi. Sebelumnya mereka hanya mempercayai gempa terjadi karena tikus (lawu) menggigit batang tanah (p.120).
Pandangan masyarakat Wunga ini menunjukkan bahwa mereka memiliki local wisdom dalam merespon bencana. Hal ini adalah suatu pandangan yang mesti dihargai. Local wisdom berfungsi untuk memberi makna berbeda sekaligus alternatif solusi atas bencana. Meskipun begitu, local wisdom ini juga harus dapat berinteraksi dengan scientific knowledge. Bukan untuk saling menghilangkan melainkan saling berbagi. Artinya perlu adanya dialog yang saling mengisi antara kearifan masyarakat dengan pengetahuan modern. Local wisdom yang tidak memperhatikan scientific knowledge dalam merespon bencana berpotensi menimbulkan korban jiwa yang besar saat terjadi bencana. Sebaliknya, scientific knowledge dalam merespon bencana yang tidak memperhatikan local wisdom tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.