Dari Peluncuran Film Our Land is the Sea
Azis Anwar Fachrudin – 14 Agustus 2018
Film Our Land is the Sea atau Air Tanahku ditayangkan perdana untuk publik pada Rabu, 8 Agustus 2018, di @america, Pacific Place Mall, Jakarta. Tema yang diambil untuk acara ini adalah Road to Our Ocean Conference 2018. Pada tahun ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi internasional Our Ocean, di Bali pada Oktober nanti.
Film Our Land is the Sea memang menyoroti kehidupan (orang-orang) laut. “Namun tema besar dari proyek pembuatan film ini sebenarnya adalah Voicing Diversity/Menyuarakan Keragaman. Keragaman ini mencakup keragaman agama dan budaya dan hal-hal lain yang terkait,” demikian direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS UGM Dr Zainal Abidin Bagir membuka acara.
“Di CRCS UGM, kami memahami agama dalam maknanya yang luas. Di media, agama lebih kerap diberitakan dalam hubungannya dengan intoleransi, radikalisme, terorisme, dan semacamnya. Kami mempelajari agama sebagai pengalaman yang hidup (lived experience), yang beririsan dengan banyak hal, tak terkecuali keragaman hayati/biodiversitas. Inilah mengapa ada film ini, yang pertama dari proyek ini. Film-film berikutnya dalam tema besar yang sama akan menyusul.”
Our Land is the Sea adalah film dokumenter pendek tentang tiga generasi keluarga Bajau di Taman Nasional Wakatobi yang kini menghadapi perubahan drastis budaya dan lingkungan mereka. Bajau adalah kelompok etnis pelaut dengan wilayah tradisional di area Segitiga Terumbu Karang, kawasan dengan luas tak kurang dari 6 juta km persegi. Komunitas ini tersebar di banyak daerah di kawasan laut Asia Tenggara dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka di atas laut. Film ini dibuat atas kerja sama CRCS UGM, Center for Southeast Asian Studies/CSEAS University of Hawai’i at Manoa, the Global Workshop, dan segenap mitra dari komunitas Bajau di Sampela.
Komunitas Bajau yang menjadi fokus dalam film ini, yang tinggal di Sulawesi Tenggara, mengalami pergeseran budaya dan praktik keislaman akibat kian berkurangnya jumlah ikan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka, juga makin banyaknya terumbu karang yang rusak. Diceritakan dalam film ini bahwa hanya dalam 15 tahun terakhir, perubahan itu terasa drastis: dulu cukup mengulurkan jala ke samping rumah sudah dapat ikan, kini harus melayar jauh ke tengah laut. Sederhananya, film ini hendak menunjukkan keterkaitan erat antara lingkungan hidup dan agama/budaya dan fakta bahwa keduanya saling memengaruhi, sehingga menjaga agama/budaya tak bisa lepas dari upaya pelestarian alam.
Komunitas Bajau di film ini memiliki sistem budayanya tersendiri. Tokoh dari generasi tua di film ini menceritakan bahwa leluhur pertama mereka ialah Mbo Jango (Nabi Khidr), dan arwah para leluhur senantiasa menjaga laut. Kepercayaan lain yang mereka miliki ialah bahwa setiap orang Bajau lahir memiliki kembaran gurita. Bila ia melukai gurita itu, ia akan mendapat musibah, dan untuk menghilangkan musibah itu ia harus menebusnya dengan menyelenggarakan ritual sesembahan ke laut. Pelaksanaan ritual-ritual Bajau dipimpin oleh orang yang disebut sandro. Dengan tetap merawat kepercayaan ini, orang-orang Bajau dalam film ini semuanya mendaku Muslim. Mereka juga berpandangan bahwa seseorang baru menjadi Muslim sejati setelah ia disunat. Di komunitas Bajau ini, acara kolektif terbesar adalah sunatan.
Pergeseran budaya dan praktik keagaman datang mulai dari modernisasi. Generasi belakangan banyak yang sekolah di ‘darat’. Ditambah dengan kian berkurangnya jumlah ikan, generasi yang mengenyam pendidikan ‘modern’ di ‘darat’ tak begitu tertarik untuk meneruskan karir hidup di laut seperti generasi sebelumnya. Keterikatan kultural dengan laut mulai berkurang. Selain itu, pendidikan keislaman di ‘darat’ mengajarkan generasi belakangan bahwa memercayai adanya sosok atau arwah lain yang menguasai alam dan memberikan sesembahan pada arwah itu merupakan tindakan menyekutukan Tuhan. Ini berarti tradisi yang acapkali dipimpin sandro mulai dipertanyakan. Keterampilan sandro pun kini sudah sedikit yang mewarisi. Tantangan terhadap tradisi lama ini berdampak pada bagaimana identitas ‘ke-Bajau-an’ dipahami atau dikonstruksi ulang.
Komplikasi dari berjalin-kelindannnya isu-isu ini, yakni agama/budaya, lingkungan hidup, dan modernisasi, adalah yang ingin ditunjukkan dalam film ini, yang dibicarakan melalui bagaimana orang-orang Bajau, dari tiga generasi yang berbeda, melihatnya sendiri dan boleh jadi berbeda pandangan dalam beberapa aspek.
Kalimat penutup dalam film ini dari seorang aktivis Bajau menyuarakan keresahan akibat dari ketegangan isu-isu itu. Ia mengatakan, “Anakku akan menjadi orang dewasa yang modern. Tapi apa itu menjadi modern? Apakah modern berarti percaya pada batasan yang tidak ada; bukan saja batasan antarwilayah saja, melainkan juga batasan yang memisahkan agama dari tradisi; batasan yang memisahkan leluhur dari keturunannya; batasan yang memisahkan orang-orang dari alamnya? Kalau batasan-batasan yang gaib ini adalah roh dari kepercayaan modern, aku berharap anak-anakku memilih kepercayan Bajau.”
Diskusi
Dalam diskusi mengenai film ini, pembicara pertama Nirwan Arsuka, aktivis literasi dari Pustaka Bergerak dan berasal dari Sulawesi, menyoroti peran Islam dan perubahan budaya keagamaan Bajau. “Di film, orang Bajau menyatakan tak melihat adanya pertentangan antara Islam dan Bajau. Islam dulu memang berperan dalam menjinakkan dan mengurangi praktik-praktik kekerasan di komunitas Bajau pada 1970-an. Namun kini, Islam sebagaimana diajarkan dalam pendidikan formal di ‘darat’, membuat tradisi Bajau dipertanyakan.”
“Figur dalam film ini yang memimpin upacara sunatan, yang mampu mengumpulkan orang-orang di kampung Bajau itu untuk menyanyi dan berdansa bersama, memiliki kekuatan penggerak kohesi sosial. Figur semacam ini akan menjaga tradisi Bajau dan dengan keberadaan orang-orang seperti ini, bagi saya, masa depan Bajau akan lebih baik,” lanjut Nirwan.
Pembicara kedua, dosen CRCS UGM Dr Kelli Swazey, yang juga sekaligus salah satu pembuat film ini, menyatakan bahwa sudah ada film-film tentang orang-orang Bajau, tetapi kebanyakan membahas kemampuan menyelam mereka. Film ini ingin menyoroti sisi lain, yakni ketegangan budaya keagamaan dan perubahannya, termasuk di dalamnya perbedaan pemahaman antargenerasi.
“Orang-orang Bajau kerap dianggap sebagai orang-orang laut nomaden yang tak punya tanah dan karena itu tak punya budaya, padahal sesungguhnya laut itulah ‘tanah’ mereka. Inilah mengapa film ini berjudul Our Land is the Sea, atau Air Tanahku, alih-alih ‘tanah airku’. Dari lautlah budaya mereka terbentuk,” ujar Dr Swazey. “Bajau adalah komunitas budaya yang paling banyak memiliki sistem pengetahuan mengenai laut.”
“Komunitas Bajau, sebagaimana banyak komunitas adat atau budaya lokal lain, memiliki sistem kosmologi yang mengatur bagaimana hubungan manusia dan kehidupan non-manusia harus dilakukan. Di era Anthropocene kini, saat umat manusia sudah memberikan banyak dampak yang tak-dapat-dikembalikan terhadap alam, pengetahuan mengenai sistem kosomologi komunitas adat tak bisa dikesampingkan dalam setiap upaya konservasi alam.”
“Ketika kita mendiskriminasi komunitas adat atau budaya lokal, yang kita diskriminasi sebenarnya adalah sistem kosmologi itu,” Dr Swazey menyampaikan poin finalnya. “Karena itu, upaya pelestarian alam tak boleh mengabaikan komunitas adat yang sudah memiliki tradisi sistem pengetahuan dalam berhubungan dengan alam. Ini pilihan etis. Melestarikan lingkungan hidup dan keragaman hayatinya tak bisa dilepaskan dari menjaga keragaman budaya keagamaan.”
Dalam sesi diskusi, salah satu hadirin Trisno Sutanto memberikan komentarnya: “Ini bagian dari dunia yang akan hilang. Ikan makin berkurang. Apalagi mengingat bahwa di dekat kawasan itu ada pusat global penangkapan ikan besar-besaran. Ditambah lagi dampak perubahan iklim.”
“Ini film yang melankolis bagi saya,” Trisno melanjutkan, “yang membuat saya ingat pada kata-kata teman saya yang menjadi aktivis advokasi hak-hak masyarakat adat bahwa ‘pendidikan membuat kita takut pada lumpur, karena kaki kita tak lagi ingin menginjak sawah’. Saya khawatir, ini dunia yang tak terhindarkan.”
“Tetapi di sisi lain, saya juga bertanya, apakah kita akan terus membiarkan mereka begitu? Memang ada semacam romantisme dalam kehidupan laut mereka. Tapi apakah kita akan membiarkan mereka hidup selamanya di laut? Apakah ini pilihan etis kita?”
Satu hadirin lain, Dhandy Laksono dari WatchdoC, menyampaikan pandangan: “Bagi saya, tumbukan pertama dalam isu yang dihadapi orang-orang Bajau ini, yang terjadi tidak hanya di Indonesia, ialah dengan institusi bernama negara. Isu agama itu nomor dua, yang memang ikut memperburuk memang, di samping juga soal lain seperti pendidikan modern. Tapi tumbukan pertama tetaplah dengan negara. Karena negara, mereka beranjak hidup menetap, dituntut untuk menegaskan identitas keagamaan, dan terdampak oleh ekonomi pasar karena kawasan tinggal mereka akan menjadi objek eksploitasi. Ini hal-hal yang membuat mereka tercerabut dari akar lingkungan mereka. Saya belum melihat negara disorot dalam film ini.”
Menanggapi komentar Trisno mengenai pilihan etis, Dr Swazey menyampaikan: “Budaya selalu berubah. Dan perubahan ini tak terhindarkan. Namun berubah tidak sama dengan pemusnahan. Merujuk Habermas, ruang publik dimaksudkan sebagai tempat tiap elemen masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya. Namun persoalan yang sering terjadi, tidak setiap dari elemen itu mendapat kesempatan dan cara yang setara untuk didengar. Poinnya di sini bukanlah bahwa kita harus merawat setiap budaya dan bahwa setiap budaya tidak boleh berubah. Poinnya ialah kita harus memberikan kesempatan yang setara kepada setiap komunitas di ruang publik guna menyusun cara hidup kolektif sebaik mungkin. Hal ini meniscayakan penguatan komunitas yang belum memiliki kuasa yang cukup agar suara mereka bisa didengar. Ini yang kami harap dapat kami lakukan melalui film tentang komunitas Bajau yang memiliki sistem budaya yang patut dipelajari dan didengar.” [CRCS/AAF]