• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Delik Agama: Bagaimana Negara Melindungi Agama?

Delik Agama: Bagaimana Negara Melindungi Agama?

  • Articles, Headline, News, SPK news
  • 10 February 2017, 16.31
  • Oleh:
  • 0

Dian Andriasari | SPK-CRCS | Opini

Agama dan negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Kalimat dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu adalah salah satu representasi pengakuan negara terhadap eksistensi agama, meskipun Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara kesatuan yang mengakui keragaman melalui semboyan bhinneka tunggal ika. Indonesia merupakan suatu bangsa yang multietnis dan multireligius, dan rakyatnya memiliki multiidentitas.
Dalam ranah praksis, agama tidak semata berupa ritus, liturgi, doa atau pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik. Agama juga hadir dan manifes dengan cara yang kadang tidak dikehendaki pemeluknya sendiri. Di satu sisi agama dapat menjadi sarana integrasi sosial; di sisi lain agama dapat menjadi instrumen yang cukup efektif dalam memicu disintegrasi sosial.
Relasi agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan. Ketegangan hubungan agama dan negara dipicu antara lain oleh konstelasi sosial-budaya di Indonesia yang heterogen. Namun negara mengatur hak kebebasan beragama melalui Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Artinya secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi. Pemerintah juga telah meratifikkasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menambah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Perkembangan demokrasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk bisa berdiri jika ditopang oleh beberapa pilar. Pilar pertama adalah konstitusi yang mengandung prinsip akuntabilitas yang mengontrol perimbangan kekuasaan dan penerimaan/pengakuan hak-hak warga negara (hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan kultural). Proses mencapai tujuan negara demokrasi juga bertumpu pada pengembangan cita hukum sebuah negara, hukum yang melahirkan regulasi guna mewujudkan perlindungan dan ketertiban sosial.
Hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral. Ide keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum, sebab membicarakan hukum, baik jelas maupun samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan (Satjipto Rahardjo, 1986:46). Kekuatan moral juga adalah unsur hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan dan ketidakadilan menurut hukum diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia.
Embrio formalisasi pengaturan agama oleh negara pertama kali disampaikan oleh Prof. Oemar Senoadji, SH dalam simposium “Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana” di Bali pada tahun 1975 dengan tulisan beliau berjudul “Delik Agama”. Oemar Senoadji mengemukakan landasan dan urgensi mengapa negara perlu mengatur agama. Landasan dan urgensi tersebut kemudian melahirkan beberapa teori-teori delik agama. Teori-teori tersebut bermaksud menjelaskan landasan teoritik atau latar belakang pemikiran konseptual mengenai perlunya dilakukan kriminalisasi terhadap delik agama.
Beberapa catatan penting dari landasan teoretik tersebut di antaranya adalah: Pertama. Religionsschutz-Theorie (teori perlindungan “agama”). Menurut teori ini, “agama” itu sendiri dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (atau yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kedua, Gefühlsschutz-Theorie (teori perlindungan “perasaan keagamaan”). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari orang-orang yang beragama. Ketiga, Friedensschutz-Theorie (teori perlindungan “perdamaian/ ketentraman umat beragama”). Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah “kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional di antara pemeluk agama/kepercayaan.”
Di dalam KUHP (WvS) selama ini tidak ada bab khusus mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang dapat dikategorikan juga sebagai delik agama dalam ketiga pengertian di atas. Delik agama dalam pengertian yang pertama (yaitu “delik menurut agama”) banyak tersebar di dalam KUHP karena pada dasarnya sebagian besar delik dalam KUHP juga terlarang menurut agama, seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, perkosaan, dan seterusnya. Artinya hal-hal yang dilarang dalam KUHP juga merupakan hal-hal yang dilarang ajaran agama.
Sedangkan  delik agama dalam pengertian yang kedua terlihat dalam Pasal 156a, yakni penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan yang bertujuan agar orang tidak menganut agama. Oemar Senoadji turut memasukkan delik dalam Pasal 156-157 (penghinaan terhadap golongan/penganut agama, atau dikenal dengan istilah “group libel”) ke dalam kelompok delik agama dalam pengertian yang kedua.
Sebenarnya agak sulit untuk memasukkan Pasal 156-157 ke dalam kelompok “delik terhadap agama”, karena golongan/kelompok agama tidak identik dengan “agama”.  Delik ini sulit untuk dikualifikasi sehingga pada praktiknya pasal ini akan mudah ditarik ke dalam berbagai keadaan atau situasi dan rentan terhadap penyelundupan hukum. Hal semacam ini akan berbahaya dan mengancam iklim demokrasi di Indonesia, bahkan mencederai marwah “negara hukum.”
Adapun delik agama dalam pengertian yang ketiga (“yang berhubungan  dengan agama atau kehidupan beragama”) di dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal 175-181 dan rancangan pasal 503 di buku II RUU KUHP yang sedang dibicarakan.
Dengan memperhatikan pengaturan pasal-pasal KUHP tersebut, terlihat jelas bahwa pada mulanya tidak ada delik yang ditujukan terhadap agama (pengertian delik agama kedua). Yang diatur dalam KUHP hanya delik-delik yang berhubungan dengan agama (pengertian ketiga). “Delik terhadap agama” (pengertian kedua) masuk pada tahun 1965 ke dalam KUHP, yaitu dengan ditambahkannya Pasal 156a ke dalam KUHP.
Dari perspektif politik hukum pidana yang hendak disasar pada masa itu dan dengan melihat aspek redaksional Pasal 156a itu, jelas terlihat bahwa delik yang dirumuskan ditujukan terhadap “agama” dan bukan pada terganggunya perasaan agama atau ketertiban masyarakat pada umumnya. Penambahan Pasal 156a ke dalam KUHP itu berdasarkan pada Pasal 4 UU No. 1/PNPS/ 1965 yang pada awalnya berbentuk Penpres. Perumusan tersebut tampak berlandaskan pada “Religionsschutz-theorie”. Dengan kata lain, ada divergensi atau ketidakharmonisan antara “status dan penjelasan delik” dengan “teks dan rumus delik”.
Ada bab khusus mengenai delik agama dalam konsep KUHP yang baru (RUU KUHP), yang berjudul “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Bab khusus ini sudah sudah direncanakan sejak konsep pertama Buku II tahun 1977 sampai dengan konsep tahun 2014 dan merupakan bagian dari upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Konsep baru KUHP ini mengkaji ulang KUHP warisan zaman Belanda yang menempatkan delik-delik yang berkaitan dengan keagamaan ke dalam salah satu bagian dari delik terhadap “ketertiban umum”.
Problem mendasar dari hal-hal ini adalah apakah fakta bahwa agama menjadi salah satu “objek” yang dilindungi oleh negara sejalan dengan amanat konstitusi berupa jaminan kebebasan beragama? Ataukah justru politik hukum pidana telah benar-benar secara nyata menghegemoni agama dan menjadikannya sebagai alat politisasi belaka?
*Penulis, Dian Andriasari, adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung dan alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII CRCS UGM. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di satuharapan.com dengan judul Delik Agama: Hegemoni Negara terhadap Agama? Tulisan diterbitkan lagi di web ini dengan beberapa suntingan.

Tags: delik agama dian andriasari KUHP pasal 156A pnps ruu teori pidana

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju