Dian Andriasari | SPK-CRCS | Opini
Agama dan negara memiliki relasi yang erat dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga menyatakan kemerdekaan Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Kalimat dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu adalah salah satu representasi pengakuan negara terhadap eksistensi agama, meskipun Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara kesatuan yang mengakui keragaman melalui semboyan bhinneka tunggal ika. Indonesia merupakan suatu bangsa yang multietnis dan multireligius, dan rakyatnya memiliki multiidentitas.
Dalam ranah praksis, agama tidak semata berupa ritus, liturgi, doa atau pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik. Agama juga hadir dan manifes dengan cara yang kadang tidak dikehendaki pemeluknya sendiri. Di satu sisi agama dapat menjadi sarana integrasi sosial; di sisi lain agama dapat menjadi instrumen yang cukup efektif dalam memicu disintegrasi sosial.
Relasi agama dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan. Ketegangan hubungan agama dan negara dipicu antara lain oleh konstelasi sosial-budaya di Indonesia yang heterogen. Namun negara mengatur hak kebebasan beragama melalui Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Artinya secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi. Pemerintah juga telah meratifikkasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menambah jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Perkembangan demokrasi di beberapa negara menunjukkan bahwa kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk bisa berdiri jika ditopang oleh beberapa pilar. Pilar pertama adalah konstitusi yang mengandung prinsip akuntabilitas yang mengontrol perimbangan kekuasaan dan penerimaan/pengakuan hak-hak warga negara (hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan kultural). Proses mencapai tujuan negara demokrasi juga bertumpu pada pengembangan cita hukum sebuah negara, hukum yang melahirkan regulasi guna mewujudkan perlindungan dan ketertiban sosial.
Hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral. Ide keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum, sebab membicarakan hukum, baik jelas maupun samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan (Satjipto Rahardjo, 1986:46). Kekuatan moral juga adalah unsur hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan dan ketidakadilan menurut hukum diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia.
Embrio formalisasi pengaturan agama oleh negara pertama kali disampaikan oleh Prof. Oemar Senoadji, SH dalam simposium “Pengaruh Kebudayaan dan Agama Terhadap Hukum Pidana” di Bali pada tahun 1975 dengan tulisan beliau berjudul “Delik Agama”. Oemar Senoadji mengemukakan landasan dan urgensi mengapa negara perlu mengatur agama. Landasan dan urgensi tersebut kemudian melahirkan beberapa teori-teori delik agama. Teori-teori tersebut bermaksud menjelaskan landasan teoritik atau latar belakang pemikiran konseptual mengenai perlunya dilakukan kriminalisasi terhadap delik agama.
Beberapa catatan penting dari landasan teoretik tersebut di antaranya adalah: Pertama. Religionsschutz-Theorie (teori perlindungan “agama”). Menurut teori ini, “agama” itu sendiri dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (atau yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kedua, Gefühlsschutz-Theorie (teori perlindungan “perasaan keagamaan”). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari orang-orang yang beragama. Ketiga, Friedensschutz-Theorie (teori perlindungan “perdamaian/ ketentraman umat beragama”). Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah “kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional di antara pemeluk agama/kepercayaan.”
Di dalam KUHP (WvS) selama ini tidak ada bab khusus mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang dapat dikategorikan juga sebagai delik agama dalam ketiga pengertian di atas. Delik agama dalam pengertian yang pertama (yaitu “delik menurut agama”) banyak tersebar di dalam KUHP karena pada dasarnya sebagian besar delik dalam KUHP juga terlarang menurut agama, seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, perkosaan, dan seterusnya. Artinya hal-hal yang dilarang dalam KUHP juga merupakan hal-hal yang dilarang ajaran agama.
Sedangkan delik agama dalam pengertian yang kedua terlihat dalam Pasal 156a, yakni penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan yang bertujuan agar orang tidak menganut agama. Oemar Senoadji turut memasukkan delik dalam Pasal 156-157 (penghinaan terhadap golongan/penganut agama, atau dikenal dengan istilah “group libel”) ke dalam kelompok delik agama dalam pengertian yang kedua.
Sebenarnya agak sulit untuk memasukkan Pasal 156-157 ke dalam kelompok “delik terhadap agama”, karena golongan/kelompok agama tidak identik dengan “agama”. Delik ini sulit untuk dikualifikasi sehingga pada praktiknya pasal ini akan mudah ditarik ke dalam berbagai keadaan atau situasi dan rentan terhadap penyelundupan hukum. Hal semacam ini akan berbahaya dan mengancam iklim demokrasi di Indonesia, bahkan mencederai marwah “negara hukum.”
Adapun delik agama dalam pengertian yang ketiga (“yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama”) di dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal 175-181 dan rancangan pasal 503 di buku II RUU KUHP yang sedang dibicarakan.
Dengan memperhatikan pengaturan pasal-pasal KUHP tersebut, terlihat jelas bahwa pada mulanya tidak ada delik yang ditujukan terhadap agama (pengertian delik agama kedua). Yang diatur dalam KUHP hanya delik-delik yang berhubungan dengan agama (pengertian ketiga). “Delik terhadap agama” (pengertian kedua) masuk pada tahun 1965 ke dalam KUHP, yaitu dengan ditambahkannya Pasal 156a ke dalam KUHP.
Dari perspektif politik hukum pidana yang hendak disasar pada masa itu dan dengan melihat aspek redaksional Pasal 156a itu, jelas terlihat bahwa delik yang dirumuskan ditujukan terhadap “agama” dan bukan pada terganggunya perasaan agama atau ketertiban masyarakat pada umumnya. Penambahan Pasal 156a ke dalam KUHP itu berdasarkan pada Pasal 4 UU No. 1/PNPS/ 1965 yang pada awalnya berbentuk Penpres. Perumusan tersebut tampak berlandaskan pada “Religionsschutz-theorie”. Dengan kata lain, ada divergensi atau ketidakharmonisan antara “status dan penjelasan delik” dengan “teks dan rumus delik”.
Ada bab khusus mengenai delik agama dalam konsep KUHP yang baru (RUU KUHP), yang berjudul “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Bab khusus ini sudah sudah direncanakan sejak konsep pertama Buku II tahun 1977 sampai dengan konsep tahun 2014 dan merupakan bagian dari upaya pembaharuan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Konsep baru KUHP ini mengkaji ulang KUHP warisan zaman Belanda yang menempatkan delik-delik yang berkaitan dengan keagamaan ke dalam salah satu bagian dari delik terhadap “ketertiban umum”.
Problem mendasar dari hal-hal ini adalah apakah fakta bahwa agama menjadi salah satu “objek” yang dilindungi oleh negara sejalan dengan amanat konstitusi berupa jaminan kebebasan beragama? Ataukah justru politik hukum pidana telah benar-benar secara nyata menghegemoni agama dan menjadikannya sebagai alat politisasi belaka?
*Penulis, Dian Andriasari, adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung dan alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII CRCS UGM. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di satuharapan.com dengan judul Delik Agama: Hegemoni Negara terhadap Agama? Tulisan diterbitkan lagi di web ini dengan beberapa suntingan.
SPK news
Gregory Vanderbilt | CRCS UGM | Perspective
The kyai switched to English for just one sentence as he joined other village leaders in welcoming CRCS’s Eighth Diversity Management School or Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) to the village of Mangundadi, 23 km west of Magelang, at the foot of Mt. Sumbing. Perhaps his choice was to honor the diversity present in this group—or that the chasm from ivory tower to mountain village had been bridged for an afternoon—as we tried to absorb the dance performance based on the carved reliefs of Borobudur we had just experienced. Though the village is 24km away from the 10th-century sacred site, and Muslim, it and its arts are part of the Ruwat-Rawat Festival movement that seeks to re-sacralize the great Buddhist monument from the disenchantment of the tourism industry and the weight of the busloads that climb it each day to snap selfies and admire in passing the craftsmanship of a millenium ago.
We were there because of the friendship with Ruwat-Rawat founder Pak Sucoro that has developed over the last year thanks to CRCS alumna Wilis Rengganiasih. Owner of the counter-narrative-producing Warung Info Jagad Cleguk across from the gates to the Borobudur parking lot and instigator of the eight-week festival each April-May, he had arranged an amazing afternoon for the excursion that has become an important change-of-page for SPK members after a week of ideas and passionate discussion. On the Saturday of the ten-day long school, the twenty-five members of SPK plus facilitators and friends departed by bus the school’s venue at the Disaster Oasis in Kaliurang, heading first to the warung at Borobudur to meet our guides and then heading another hour west from Magelang.
The road to the village of Mangundadi was too steep for our bus and so we were met at the main road by the pickups and motorcycles of the young men of the village. Having climbed on board, off we went to Mangundadi, the motorcycles revving their engines in a chorus of welcome. Afterwards SPK staffer Subandri admitted that he has now a tinge of positive feeling when he hears the youth gangs disrupt the city streets with their noisy machines, because what a welcome it was! When we reached the village, women lined the lane to shake our hands as we were ushered into one house to catch our breath, and then to process around the village’s new mosque with the genungan ritual mountain of vegetables, followed by the groups of performers, children, youth, adults, already in gorgeous costume and make-up. By the time we had feasted in another house, the performers were ready and, as the rain fell, they danced scenes from the stone reliefs. In the end, Pak Sucoro pulled some of us onto the stage to move with them and then they offered their salims and went back to their villages.
In the evening we returned to the Omah Semar retreat house near the monument-park for a discussion with Pak Sucoro about his vision of Borobudur as a universal spiritual heritage and as a place of spiritual significance for local culture, a place for Indonesian society to make a new choice, to live in harmony with God, nature, and each other. The Ruwat-Rawat has incorporated and re-ignited local traditions by focusing them on a global question, the question I asked the Advanced Study of Buddhism students who met Pak Sucoro back in May: who owns Borobudur? The next morning, walking across the lawns where his village once stood, we could see the stupa-monument in a new way.
This was my third SPK since I came to CRCS in 2014. For me, it is an opportunity to meet the activists, academics, government workers, and media people who come to participate and see how change is happening across Indonesia. Each SPK may have its own character—this one, for example, was quicker to start singing than put on a mop of cringe-worthy joke telling—but the greater tone of excitement at being among others as serious of purpose and as ready to be challenged to greater intellectual depth is constant. The participants are excited by guest insights from Bob Hefner and Dewi Candraningrum but even more by the well-developed program from a core of facilitators devoted to teaching “civic pluralism” as a paradigm for just co-existence in the contexts of Indonesian diversity, one basing access in the three Re-‘s of recognition, representation, and redistribution, combined with thinking systematically about such core CRCS emphases as taking apart religion as lived and governed in Indonesia, digging into research for advocacy and putting into practice the theories and methods of conflict resolution. Equally important, they stay up late sharing their work, from teaching to preaching to activating NGOs to working conscientiously from inside government. Some know of the program because they have heard about CRCS while visiting or studying in Yogyakarta; others, following friends and co-workers who applied previously; and others still from searching online for “pluralism school” in order to serve better as religious and social leaders.
Visiting SPK alumni in their homeplaces—Jakarta, Aceh, West Sumatra, and Jambi, so far—has also shown me glimpses of grass-roots possibility across Indonesia. Trainings and workshops are regular features of Indonesian civil society, but it appears SPK leaves a more lasting impression on its participants. This is perhaps because of the intensity of their twelve days in the aptly named Disaster Oasis and perhaps because it challenges them more to take an intellectually grounded, hopeful framework to the places they are working and asks them to return with a research project, on how a pluralistically civil society is being made in soccer clubs and local studies movements and activism for gender (five from SPK-VIII work against domestic violence) and ethnic equality and film festivals and women’s economic literacy programs in villages and so on. In that way, the village kyai is right.
*The writer, Gregory Vanderbilt, is a lecturer at CRCS, teaching courses, among others, on religion and globalization; and advanced study of Christianity.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu:
Anang Alfian | CRCS UGM | SPK News
“Kita tidak akan mencoba mengurangi keragaman karena itu sia-sia, dalam konteks negara demokratis, semua punya hak dan kewajiban yang sama”.
Uraian Zainal Abidin Bagir, fasilitator SPK dari CRCS UGM, itu menjadi titik tolak diskusi para pertemuan SPK hari ketiga pada Kamis 6 agustus 2016. Bertempat di Disaster Oasis Kaliurang Yogyakarta, Bagir mengawali diskusi dengan memperkenalkan beberapa pendekatan terkini dari berbagai mahzab pengelolaan keragaman seperti seperti John Rawls (nalar publik), Abdullahi An-Naim (nalar kewargaan), Bikhu Parekh, Tariq Modood (kewarganegaraan multikultural), maupun Chantal Mouffe (“pluralisme agonistik”). Berbagai pendekatan ini memberikan gambaran bahwa metode pengelolaan keragaman pun tidak tunggal. Ide pluralisme kewarganegaraan ditawarkan sebagai pisau analisis dan perumusan model pengelolaan keragaman yang mampu menjawab tantangan Indonesia saat ini. Lantas fasilitator yang akrab dipangggil Pak Zain ini mengajak semua peserta memikirkan kembali paradigma pengelolaan keragaman yang tidak hanya mewadahi kerukunan tetapi juga mendorong ke arah keadilan sosial. “Isu pluralisme tidak semata-mata sebagai isu koeksistensi, yaitu kerukunan dan perdamaian tapi juga keadilan sosial” ujar Pak Zain.
Pada sesi berikutnya, Trisno Susanto memfokuskan bahasan pada politik keragaman di Indonesia dengan mendalami masalah-masalah hukum terkait dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) . Menurutnya, Indonesia menganut prinsip governed religion yaitu agama sebagai sesuatu yang dikendalikan oleh pemerintah. Namun, pada pelaksanaanya hal ini menjadi sangat problematis. Posisi penghayat, misalnya, tidak mendapat jaminan hukum di hadapan RUU PUB. Ini berbeda dengan pemeluk enam agama yang diakui di Indonesia. Padahal pengakuan terhadap legalitas identitas ini menjadi penting ketika berhadapan dengan kebijakan publik.
Yang unikmenarik, pada sesi diskusi bertema“ Konseptualisasi Pengelolaan Keragaman” ini para peserta tak hanya mendengarkan suara sumbang terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga upaya- upaya pemerintah yang sebenarnya sudah sejalan dengan kepentingan keragaman, “Pemerintah sebenarnya sudah mengutamakan pranata adat untuk penyelesaian masalah di wilayahnya sendiri,” cetus Fahdli, salah satu peserta SPK. Menurutnya, masalah yang kerap terjadi adalah tidak tersampaikannya aspirasi karena distorsi berbagai kepentingan. Untuk itu, advokasi harus dikawal dari bawah hingga ke atas, bahkan sampai pada implementasinya.
Antusiasme peserta semakin terlihat ketika mereka menjabarkan berbagai perspektif mulai dari peran pemerintah, diskriminasi yang terjadi, hingga berbagai pengalaman mereka di daerah. “Penghayat di Brebes itu gak bisa dimakamkan di pemakaman Muslim,” sebut Wijanarto, peserta dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Brebes. Tak dapat dipungkiri memang, diskriminasi terhadap identitas minoritas masih menjadi pertanyaan yang terus mencari jawaban penyelesaian. Materi pengelolaan keragaman ini tak hanya berusaha membantu khazanah teoritis para peserta sebagai aktivis dan pegiat kemanusiaan dalam advokasi mereka tetapi juga menjadi langkah awal dalam memahami tantangan pengelolaan keragaman yang makin kompleks di Indonesia.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Dapatkah bumi, air atau bahkan banjir berbicara? Pertanyaan ini disodorkan Dewi Candraningrum, fasilitator pada pada hari ke dua Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII. Pada sesi ke tiga yang bertema “Politics of Identity: Gender, Sexuality, Ecology”, Dewi menggugah peserta SPK VIII untuk menggumuli kembali perbincangan tentang subyektivitas yang tak terbatas pada manusia.
Alam dan bahkan bencana alam juga memiliki suara dan mereka telah berbicara kepada kita semua dengan suara yang sangat keras. Banjir telah berbicara kepada kita bahwa saat ini ia sudah tidak punya rumah lagi. Hutan sudah gundul dan tidak ada lagi daerah resapan air yang cukup menampung semua air hujan, hingga banjir pun berkata. “Aku sudah tidak punya rumah, sekarang aku akan masuk rumah mu!” Melalui kisah ini, Dewi Candraningrum mengajak peserta untuk memaknai bahwa keberagaman tidak hanya terbatas pada manusia tetapi juga entitas selain manusia. Mereka setara dengan manusia dan dapat pula berkomunikasi dengan manusia. Untuk itu manusia harus peka terhadap bahasa-bahasa dari entitas lain yang ‘bersuara dalam keheningan’, sebagaimana alam telah berbicara pada kita.
Berbicara tentang keberagaman mustahil dilakukan tanpa penghargaan terhadap identitas dan subyektivitas. Menurut dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, identitas dapat tampil dalam tiga ruang: pertama, ruang diskursif, sebagaimana ia hadir pada pembicaraan-pembicaraan manusia; kedua, ruang performatif sebagaimana ia ditampilkan; dan yang ketiga ruang historis, artinya identitas yang terkait dengan jejak konteksnya di masa lalu. Dengan kata lain, sebuah identitas tidak dapat dinilai apalagi dihakimi tanpa melihat konteks dan jejak pembentukannya. Mengutip Julia Kristeva, Candraningrum menyatakan, “dalam hidup manusia modern atau bahkan posmodern saat ini ada sebuah horor yang terjadi ketika kita menjadikan sang liyan atau yang berbeda dengan kita sebagai abject atau yang ditakuti dan dianggap merusak tatanan.” Teman-teman LGBTQ dan kelompok-kelompok lain yang berbeda dari kebanyakan orang seringkali menjadi pihak yang di-abject-kan. Padahal, dari keberadaan sang liyan itu kita justru belajar bahwa sesungguhnya kita memang beragam dan kita perlu menerima keberagaman tersebut. “Ini bisa dimulai dengan menghargai sesuatu sebagai subjek, menghargai ia sebagai ia, bukan sebagai benda,” ujar Dewi. Sehingga apapun bentuk atau identitas seksualitas seseorang—laki-laki, perempuan, laki-laki yang hidup sebagai perempuan, perempuan yang hidup sebagai laki-laki, atau seseorang yang hidup dalam kedua identitas tersebut—patut dan perlu kita hargai sebagai subyek. Muara dari ini adalah penumbuhan dua nilai dalam diri kita, yakni kesadaran dan penghormatan terhadap yang lain di luar diri kita.
Sebenarnya keberagaman bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Namun, menurut Dewi, manusia modern pada hari ini tengah mengalami disartikulasi narasi akar dan teritorialisasi manusia dan alam. Yang pertama, kita telah terputus dari narasi-narasi akar. Nenek moyang kita pada zaman dahulu telah lebih dulu menghadapi realitas subjektifitas yang sangat kaya dan mereka dapat menghargainya. Dewi Candraningrum menunjukkan video dokumenter singkat mengenai Suku Bugis. Tak hanya dua jenis gender, Suku Bugis mengenal hingga lima gender. Selain laki dan perempuan, Suku Bugis mengenal Callalai, Callabai, dan Bissu. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam hibiriditas identitas laki-laki dan perempuan. Kelima gender tersebut merupakan kesatuan dan saling terlibat aktif dalam segala praktik kultur di masyarakat, terutama persembahan terhadap alam dan pertanian. Masyarakat Bugis justru memaknai keberagaman identitas itu secara positif dan terkait erat dengan keberlangsungan kesuburan alam.
Yang kedua, Candraningrum menceritakan pengalamannya meng-advokasi para ibu di Kendeng, Jawa Tengah yang menolak eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan semen nasional adan multinasional. Eksploitasi tersebut terjadi karena teritorialisasi manusia dari alam. Manusia tidak lagi merasa terlibat dan terikat pada alam atau peristiwa alam yang tengah terjadi di tempat lain. Menurut Candraningrum, bumi adalah satu kesatuan dan tidak terbatasi oleh wilayah administratif. Bahkan kita manusia, adalah juga bagian dari bumi. Sehingga, walaupun ia adalah orang Solo ia merasa perlu terlibat dalam advokasi ibu-ibu Kendeng. Alam adalah Ibu yang tidak boleh dieksploitasi sebab ia adalah ibu kita, sumber hidup kita.
Pada akhirnya, Candraningrum mengingatkan bahwa kita perlu waspada dan hormat terhadap semua subjek dan subjektivitasnya. Kesadaran dan penghormatan terhadap yang liyan itu akan lebih baik jika dipadukan dengan pengetahuan. Sebuah advokasi hanya menjadi baik dan berhasil jika basis kekuatannya adalah pengetahuan yang dijiwai oleh semangat menebar bagi kebaikan seluruh subjek.
Asep S. Sudjatna | CRCS UGM | SPK NEWS
“Sebenarnya di kalangan aktivis, penelitian itu juga tidak absen, pun sebaliknya,” cetusan Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf , Ketua program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII itu memantik perhatian para peserta yang hadir pada pembukaan SPK VIII di Disaster Oasis Kaliurang, Yogyakarta. Selama ini, aktivis dan akademisi seolah diposisikan sebagai bagian terpisah yang bekerja di ranah masing-masing. Dikotomi inilah yang sedang dikritisi oleh CRCS UGM melalui program SPK VIII. “Di kalangan akademisi, banyak sekali akademisi yang aktivis, pun banyak pula aktivis yang peneliti. Sebenarnya irisan-irisan itu sudah ada” tukas Iqbal. Pengategorian ini tidak hanya menciptakan kesenjangan semu tetapi seringkali malah menimbulkan persoalan baru. Para aktivis yang getol terjun ke lapangan dalam penyelesaian berbagai konflik keragaman kerap terbentur masalah data riset dan basis pengetahuan sebagai landasan advokasi. Di sisi lain, para akademisi yang mencoba melibatkan diri dalam proses advokasi cenderung terpaku pada teori dan kurang menguasai medan. Dalam konteks inilah SPK VIII berusaha menjembatani kesenjangan antara dunia akademis dan aktivis. Kolaborasi kreatif antara aktivis-akademisi ini akan mampu memberi terobosan dalam penyelesaian masalah-masalah keragaman tersebut.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Prof. Ir. Suryo Purwono, MA.Sc., Ph.D, Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, menggarisbawahi tentang kekayaan keragaman Indonesia sebagai sebuah kekuatan yang tidak dapat ditandingi negara mana pun. “Sayangnya,” ujar profesor yang menamatkan studi doktoralnya di University of Waterloo, Kanada, ini, “Pengelolaan keragaman ini belum dapat ditangani dengan baik” Lebih lanjut, Prof. Suryo berharap agar setelah selesai mengikuti kegiatan ini, para peserta SPK tak hanya dapat menjadi pemantik dan pelopor bagi komunitasnya tetapi juga membangun jejaring yang solid dalam pengelolaan keragaman di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, konsep pembelajaran SPK memadukan antara kuliah dan pelatihan. Secara garis besar, ada tiga tahapan penting dalam proses pembelajaran di SPK yang akan dilalui oleh para peserta. Ketiga tahapan tersebut yaitu pemetaan masalah, pengayaan teoretis, serta advokasi berbasis riset. Selain membekali dengan materi yang bersifat teoretis, program SPK juga mengasah dimensi praktis para peserta melalui studi kasus secara nyata. “Jadi, kita tidak mengajari peserta bagaimana cara melakukan advokasi, yang kita lakukan adalah memperkaya alat analisa peserta dalam merefleksikan pengalaman advokasi mereka,” ujar Iqbal.
Perlu diketahui, 25 peserta SPK VIII tak cuma berasal dari beragam latar belakang—seperti profesi, jenis kelamin serta agama dan suku—tetapi juga orang-orang yang aktif dalam mengadvokasi situasi keragaman di komunitasnya. Seluruh peserta ini merupakan hasil seleksi ketat terhadap ratusan calon peserta dari seluruh wilayah di Indonesia yang mengirimkan aplikasi lamaran peserta beberapa bulan sebelumnya. Selain itu, keterwakilan wilayah juga menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan peserta.
Pada hari pertama SPK ini, para peserta melakukan kontrak belajar yang akan menjadi tata tertib selama proses pembelajaran di SPK ini berlangsung. Nia Sjarifudin, fasilitator SPK VIII yang berasal dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) memandu sesi kontrak belajar ini. Selanjutnya, Dr. Zainal Abidin Bagir, fasilitator dari CRCS UGM, mengajak peserta SPK untuk bersama memetakan berbagai persoalan keberagaman. Dari diskusi yang gayeng tapi serius, dirumuskanlah lima pokok persoalan yang kerap hadir dalam persoalan keberagaman, yakni interfaith atau hubungan antar agama, perempuan, masyarakat adat, pendidikan, dan media. Kelima tema inilah—dengan segenap polemik dan persoalan turunannya—yang akan menjadi bahasan sepanjang SPK berlangsung. Malam semakin larut, namun para peserta masih bersemangat untuk berbagi pengalaman soal pengelolaan keragaman. Semangat ini pula yang menjadi titik pijak pertama kebersamaan dari serangkaian acara SPK yang masih akan berlangsung hingga sepuluh hari ke depan.