Dialog antar-umat beragama di Indonesia mengalami berbagai perkembangan sejak isu ini digulirkan pada tahun 1960-an. Dalam perkembangannya dialog tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni berdasarkan pelakunya: pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Ketiga kategori ini dapat dikatakan pula mewakili tiga kekuatan dalam sebuah negara: pemerintah, masyarakat sipil dan pasar. Argumen inilah yang pokok penting dalam penelitan team riset CRCS-UGM terhadap ide dan praktik dialog antar-umat beragama di Indonesia. Mereka mempresentasikan temuan mereka pada Wednesday Forum, 15 April 2009.
Dialog antar-umat beragama di Indonesia dimulai sejak Menteri Agama Republik Indonesia, Mukti Ali, memprakarsainya pada tahun 1969. Hal ini diawali oleh dorongan untuk membangun dialog pada level nasional dan international pada tahun 1960-an. Di Indonesia, telah ada inisiatif untuk melakukan dialog dimana pada awalnya sebagai respons terhadap konflik-konflik lokal yang melibatkan komunitas-komunitas umat beragama pasca tahun 1965. Berangkat dari latar belakang ini, kemudian bermunculan dialog-dialog yang terinstitusionalisasikan baik oleh pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil maupun akademisi.
Para peneliti CRCS-UGM melihat bahwa, dari perkembangan dialog selama ini terdapat tujuh level atau situasi didalam dialog itu sendiri. Level pertama disebut sebagai ?dialog kehidupan? dimana orang-orang dari latar belakang kepercayaan yang berbeda berbagi pengalaman tentang kehidupan mereka sehari-hari sebagai ?komunitas manusia? dengan persoalan-persoalan bersama. Kedua disebut sebagai ?analisis sosial dan etika kontekstual?, yakni situasi dimana mereka berupaya memahami realitas kehidupan secara sosial dan etis. Level ketiga dapat dikatakan sebagai ?belajar mengenai sumber-sumber keimanan saya?, disini orang-orang berupaya mempelajari tradisi religiusnya didalam komunitas religiusnya. Pada level keempat mereka bersama-sama mengikuti komunitas inter-religius dan membangun situasi dimana mereka berbagi pengalaman iman dalam rangka pengayaan dan usaha bersama untuk menemukan ?the Ultimate?. Selangkah lebih maju, pada level kelima mereka melakukan dialog teologi inter-religius, dimana mereka mengalami pengayaan pada level teologi, baik interpretasi maupun orientasinya. Pada level keenam mereka menekankan ?dialog aksi?, yakni memberdayakan peserta dialog dengan perspektif-perspektif yang terkait dengan isu keadilan sosial dan gender, hak asasi manusia, dan ekologi. Level terakhir adalah dialog intra-umat beragama yang menunjukkan terjadinya kritik atas diri sendiri dimana ?imanku diperkaya dan diperbaharui? (tertransformasikan).
Dari beberapa level di atas, peneliti CRCS-UGM melihat lebih jauh bahwa kategori pelaku atau penyelenggara dialog turut membedakan semangat dialog yang ada. Dialog yang diselenggarakan oleh pemerintah cenderung top-down. Disini dialog digunakan sebagai instrumen untuk mengatasi suatu persoalan guna terwujudnya kerukunan, dan sekaligus terkait dengan urusan diplomasi. Berbeda dari pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil lebih menekankan pendekatan bottom-up.
Dialog tidak hanya diselenggarakan oleh organisasi antar-umat beragama, tetapi juga organisasi masyarakat sipil. Dialog yang diselenggarakan organisasi masyarakat sipil dapat dikategorikan sebagai berikut: organisasi antar-umat beragama (contohnya Interfidei [1991], ICRP [2000], eLaIeM [2000]), organisasi non-pemerintah untuk isu kajian-kajian religius-sosial-demokrasi/advokasi (contohnya LKiS [1993], Percik [1996], PSAP [2001], WI [2004]), gerakan-gerakan feminis (contohnya Mitra Wacana [1996], Fahmina [2000], Kapal Perempuan [2000]), dan organisasi-organisasi dewan keagamaan (contohnya PGI [1950], KWI [1955], MUI [1975]).
Sementara itu, dialog yang diupayakan oleh akademisi, lebih berfokus pada pengembangan pendidikan tinggi. Dialog umumnya terjadi diantara para akademisi itu sendiri. Terdapat beberapa aspek dalam dialog ini: lembaga kemahasiswaan, pengajar, kurikulum/ metode-metode pedagogis.
Dari penelitian ini paling tidak kita dapat memetakan perkembangan dan bentuk dari dialog antar-umat beragama di Indonesia. Dari ketiga kategori yang ada barangkali dapat dibandingkan pula dengan pokok pikiran Diana L. Eck dalam melihat wilayah (arena) ?bahasa? yang digunakan dalam masyarakat: akademik, religius dan publik.
(JMI)
[Tim Riset ini terdiri atas J.B. Banawiratma (co-instructor of ?Inter-religious Dialogue? course at CRCS), Zainal Abidin Bagir (CRCS), Fatimah Husein (co-instructor of ?Inter-religious Dialogue? course), Suhadi (CRCS), Novita Rakhmawati (mahasiswa CRCS), Budi Asyhari (CRCS), Ali Amin (CRCS), dan Mega Hidayati (mahasiswa ICRS). Kunjungi http://crcs.ugm.ac.id/news.php?news_id=160 untuk melihat abstrak dari tim ini]