• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Dialog Antar-Umat Beragama Ala Indonesia

Dialog Antar-Umat Beragama Ala Indonesia

  • Berita Wednesday Forum
  • 11 May 2009, 00.00
  • Oleh:
  • 0

Dialog antar-umat beragama di Indonesia mengalami berbagai perkembangan sejak isu ini digulirkan pada tahun 1960-an. Dalam perkembangannya dialog tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni berdasarkan pelakunya: pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Ketiga kategori ini dapat dikatakan pula mewakili tiga kekuatan dalam sebuah negara: pemerintah, masyarakat sipil dan pasar. Argumen inilah yang pokok penting dalam penelitan team riset CRCS-UGM terhadap ide dan praktik dialog antar-umat beragama di Indonesia. Mereka mempresentasikan temuan mereka pada Wednesday Forum, 15 April 2009.

Dialog antar-umat beragama di Indonesia dimulai sejak Menteri Agama Republik Indonesia, Mukti Ali, memprakarsainya pada tahun 1969. Hal ini diawali oleh dorongan untuk membangun dialog pada level nasional dan international pada tahun 1960-an. Di Indonesia, telah ada inisiatif untuk melakukan dialog dimana pada awalnya sebagai respons terhadap konflik-konflik lokal yang melibatkan komunitas-komunitas umat beragama pasca tahun 1965. Berangkat dari latar belakang ini, kemudian bermunculan dialog-dialog yang terinstitusionalisasikan baik oleh pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil maupun akademisi.

Para peneliti CRCS-UGM melihat bahwa, dari perkembangan dialog selama ini terdapat tujuh level atau situasi didalam dialog itu sendiri. Level pertama disebut sebagai ?dialog kehidupan? dimana orang-orang dari latar belakang kepercayaan yang berbeda berbagi pengalaman tentang kehidupan mereka sehari-hari sebagai ?komunitas manusia? dengan persoalan-persoalan bersama. Kedua disebut sebagai ?analisis sosial dan etika kontekstual?, yakni situasi dimana mereka berupaya memahami realitas kehidupan secara sosial dan etis. Level ketiga dapat dikatakan sebagai ?belajar mengenai sumber-sumber keimanan saya?, disini orang-orang berupaya mempelajari tradisi religiusnya didalam komunitas religiusnya. Pada level keempat mereka bersama-sama mengikuti komunitas inter-religius dan membangun situasi dimana mereka berbagi pengalaman iman dalam rangka pengayaan dan usaha bersama untuk menemukan ?the Ultimate?. Selangkah lebih maju, pada level kelima mereka melakukan dialog teologi inter-religius, dimana mereka mengalami pengayaan pada level teologi, baik interpretasi maupun orientasinya. Pada level keenam mereka menekankan ?dialog aksi?, yakni memberdayakan peserta dialog dengan perspektif-perspektif yang terkait dengan isu keadilan sosial dan gender, hak asasi manusia, dan ekologi. Level terakhir adalah dialog intra-umat beragama yang menunjukkan terjadinya kritik atas diri sendiri dimana ?imanku diperkaya dan diperbaharui? (tertransformasikan).

Dari beberapa level di atas, peneliti CRCS-UGM melihat lebih jauh bahwa kategori pelaku atau penyelenggara dialog turut membedakan semangat dialog yang ada. Dialog yang diselenggarakan oleh pemerintah cenderung top-down. Disini dialog digunakan sebagai instrumen untuk mengatasi suatu persoalan guna terwujudnya kerukunan, dan sekaligus terkait dengan urusan diplomasi. Berbeda dari pemerintah, organisasi-organisasi masyarakat sipil lebih menekankan pendekatan bottom-up.

Dialog tidak hanya diselenggarakan oleh organisasi antar-umat beragama, tetapi juga organisasi masyarakat sipil. Dialog yang diselenggarakan organisasi masyarakat sipil dapat dikategorikan sebagai berikut: organisasi antar-umat beragama (contohnya Interfidei [1991], ICRP [2000], eLaIeM [2000]), organisasi non-pemerintah untuk isu kajian-kajian religius-sosial-demokrasi/advokasi (contohnya LKiS [1993], Percik [1996], PSAP [2001], WI [2004]), gerakan-gerakan feminis (contohnya Mitra Wacana [1996], Fahmina [2000], Kapal Perempuan [2000]), dan organisasi-organisasi dewan keagamaan (contohnya PGI [1950], KWI [1955], MUI [1975]).

Sementara itu, dialog yang diupayakan oleh akademisi, lebih berfokus pada pengembangan pendidikan tinggi. Dialog umumnya terjadi diantara para akademisi itu sendiri. Terdapat beberapa aspek dalam dialog ini: lembaga kemahasiswaan, pengajar, kurikulum/ metode-metode pedagogis.

Dari penelitian ini paling tidak kita dapat memetakan perkembangan dan bentuk dari dialog antar-umat beragama di Indonesia. Dari ketiga kategori yang ada barangkali dapat dibandingkan pula dengan pokok pikiran Diana L. Eck dalam melihat wilayah (arena) ?bahasa? yang digunakan dalam masyarakat: akademik, religius dan publik.

(JMI)

[Tim Riset ini terdiri atas J.B. Banawiratma (co-instructor of ?Inter-religious Dialogue? course at CRCS), Zainal Abidin Bagir (CRCS), Fatimah Husein (co-instructor of ?Inter-religious Dialogue? course), Suhadi (CRCS), Novita Rakhmawati (mahasiswa CRCS), Budi Asyhari (CRCS), Ali Amin (CRCS), dan Mega Hidayati (mahasiswa ICRS). Kunjungi http://crcs.ugm.ac.id/news.php?news_id=160 untuk melihat abstrak dari tim ini]

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
D H A R M A Dunia ini adalah tempat kita tinggal, D H A R M A
Dunia ini adalah tempat kita tinggal, tempat kita berbagi, dan tempat semua makhluk berada. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu
Experience "Moving with Dharma," a unique practice Experience "Moving with Dharma," a unique practice as research performance that creatively explores Buddhist teachings in the context of contemporary Indonesia. This event blends music and dance to offer new perspectives on Dharma.

Happening on Saturday, May 17th, 2025, from 7 to 9 PM WIB at Balai Budaya Minomartani.

Witness the talents of performers M Rhaka Katresna (CRCS UGM), Victorhugo Hidalgo (Gnayaw Puppet), Gutami Hayu Pangastuti (Independent Researcher-Artist), and Sakasatiya (Music Presentation, ISI Yogyakarta). The evening will be guided by MC Afkar Aristoteles M (CRCS UGM).

The event also includes welcoming remarks by Samsul Maarif (CRCS UGM) and Ahmad Jalidu (Paradance Platform), an introduction to "Buddhism in Modern Asia" by Yulianti (CRCS UGM), and a discussion moderated by Ayu Erviana (CRCS UGM) with responders Nia Agustina (Paradance Platform) and Rahmad Setyoko (ICRS UGM).

This presentation is a collaboration between CRCS UGM, ICRS, and Paradance Platform, and is part of the final term project for "Buddhism in Modern Asia" and a group research project on "Interreligious Dialogue."

#MovingWithDharma #BuddhistTeachings #ContemporaryIndonesia #MusicAndDance #PerformanceArt #DharmaDiscussion #BalaiBudayaMinomartani #YogyakartaEvents #AcademicResearch #ArtAndSpirituality
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju