Situasi keberagamaan antar pemeluk keyakinan yang berbeda di Indonesia masih diwarnai saling kecurigaan, kebencian, bahkan konflik kekerasan. Oleh karena itu, pada segmen Interview kali ini kami akan menyajikan liputan wawancara yang dilakukan oleh Team Website CRCS dengan Dr. Zainal Abidin Bagir (Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM) yang hadir sebagai pembicara pada Diskusi Buku “Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia”, diselenggarakan oleh Kementerian Agama, 18 April 2011 di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Berikut petikan wawancaranya:
Q: Apa yang ingin disampaikan oleh buku “Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di Indonesia”?
A: Itu buku mencoba memetakan dialog antar-agama yang sudah pernah dilakukan di Indonesia. Jadi, kenapa buku itu ditulis, pertama kali, kita di Indonesia ini sudah banyak sekali pengalaman dialog antar-umat beragama tapi belum banyak dituliskan atau diteliti. Dan kalau saya ngomong banyak itu, banyak dibanding dengan negara-negara lain, apa mau di Asia, di Eropa di Amerika. Itu bisa dibilang fenomena yang agak baru. Nah, disini itu sebenarnya sudah lama, dialog antar-agama yang institutionalized itu sudah paling nggak seperti yang sudah dibaca dibuku itu paling tidak sudah 40 tahun, bisa jadi lebih. Waktu kita ada acara-acara di luar itu, acara interfaith dialogue misalnya, kita baru lihat ternyata Indonesia punya pengalaman yang banyak. Trus kita mau mencoba memetakan itu, apa yang sudah dilakukan selama ini di Indonesia. Trus, dipetakannya dengan mengikuti dialog dalam tiga wilayah; dialog yang disponsori pemerintah, dialog yang dilakukan oleh masyarakat sipil sama dialog yang terjadi di lingkungan akademik khususnya perguruan tinggi. Melihat itu saja, bahwa sudah ada dialog di beberapa level atau beberapa wilayah, itu sudah sesuatu yang menarik saya kira. Jadi itu tujuan utamanya, mencatat apa yang sudah dilakukan di Indonesia.
Q: Apa ekspektasi Anda terhadap pembaca setelah membaca buku ini?
A: Ya mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai dialog antar-umat beragama dan bahwa dialog itu ada bermacam-macam jenisnya, seperti yang saya bilang, ada yang disponsori pemerintah ada yang masyarakat sipil, dari bawah, lalu pilihan isunya bisa macam-macam, level dialog-nya bisa macam-macam juga, ada level elit, ada level bawah, segala macam. Jadi ada beragam jenis dialog. Menurut saya itu penting karena seringkali orang sekarang kalau ngomong dialog itu yang dibayangkan adalah para pemuka agama ketemu terus buat deklarasi atau apa. Nah yang sudah terjadi selama ini disini jauh lebih kaya dari itu. Itu hanya salah satu bentuk saja. Jadi ya itu, pembaca dapat pemahaman lebih baik mengenai apa yang sudah terjadi dan apa yang mungkin dilakukan.
Q: Siapa sasaran pembaca buku ini?
A: Saya kira agak luas publiknya mungkin, akademisi trus juga pemerintah. Kayak kemarin bahwa Kemenag tertarik untuk mengadakan diskusi buku itu, saya kira itu juga menunjukkan bahwa pemerintah juga tertarik untuk tahu lebih banyak tentang itu meskipun padahal sepertiga dari yang kita tulis itu adalah apa yang telah dilakukan kemenag mungkin. Tapi mereka juga tertarik untuk mendiskusikan itu. Jadi ya masyarakat, akademisi, pemerintah itu luas saya kira.
Q: Menurut Anda seberapa besar persoalan tentang dialog antar-agama disini?
A: Kalau kita lihat dari macam-macam yang ditulis dibuku itu, salah satu motif dialog itu adalah untuk mengatasi konflik atau ketegangan antar-umat beragama. Yang penting juga diingat adalah bahwa dialog itu tidak akan menyelesaikan semua masalah, dia bisa membantu meredakan ketegangan atau mengurangi kemungkinan salah paham, mengurangi prasangka, tapi masalah ketegangan antar-umat beragama atau bahkan konflik itu hanya cukup terjadi bukan karena tidak adanya dialog saja. Tapi karena ada sebab macam-macam, jadi dialog hanya menyelesaikan sebagian dari masalah. Saya kira harus jelas juga bahwa dialog itu bukan obat yang akan menyelesaikan semua penyakit. Itu hanya sebagian saja tapi penting, penting. Untuk menyelesaikan masalah ya ada beberapa hal yang harus dilakukan secara sekaligus. Masalah-masalah ketegangan antar-umat beragama misalnya itu ada sisi perbedaan keyakinan atau perbedaan ajaran, ada sisi politik, sisi ekonomi, nah itu yang aspek politik atau ekonominya harus diselesaikan dengan penyelesaian politis dan penyelesaian ekonomi. Tapi yang lain-lain dengan dialog bisa diselesaikan.
Q: Adakah tanggapan kritis dari forum?
Salah satu yang disampaikan oleh pembahasnya itu adalah Dr. Abdul Moqsith Ghazali, Peneliti Senior di Wahid Institute, dan penulis buku “Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”. Pembahasnya waktu itu adalah Moqsit Ghazali. Salah satu kritik yang diajukan bahwa buku ini harusnya lebih tebal, jauh lebih tebal dari yang ada sekarang, karena kalau segitu itu sekarang sudah cukup tebal hampir 300 halaman. Tapi memang tidak berhasil memotret semua yang sudah dilakukan dan kita sadari itu. Kita hanya melakukan sampling, yang kita ingin tahu adalah pola-polanya. Kita melakukan sampling beberapa lembaga-lembaga yang sangat penting kita tahu, tapi tidak masuk disitu karena kita merasa sudah terwakili oleh yang lain jadi tidak dibahas juga. Jadi dari sisi itu memang terbatas. Lalu juga, itu yang pertama ya, jadi itu memang tidak lengkap dan itu betul, karena kita juga punya persepsi bahwa buku ini juga semacam awal saja. Dari sini harusnya diteruskan dengan penelitian-penelitian, misalnya ada satu yang khusus melihat berbagai macam jenis dialog yang sudah dilakukan pada masayarakat sipil, polanya bagaimana, motifnya apa, tujuannya apa, sukses apa nggak, segala macam. Nah itu mungkin akan jadi riset-riset tersendiri, yang ini kan sekarang sangat luas memang, semacam survei saja, itu yang pertama.
Yang kedua juga ada salah satu kritik bahwa buku itu lebih menekankan pada melihat lembaga yang melakukan dialog, sementara orang-orang pelaku dialog tidak dilihat, itu betul juga. Jadi ada orang-orang yang penting, misalnya kalau dimasa awal sejarah dialog di Indonesia sekitar tahun 1960-an, misalnya Profesor Mukti Ali, ya kita sebut disitu, tapi tidak ada pemikiran Mukti Ali seperti apa. Lalu ada TH Sumartana, salah satu tokoh yang paling penting di Jogja sini yang mendirikan Interfidei, kita sebut itu bahwa dia sudah memulai yang baru sekali, dialog pada level masyarakat sipil. Tapi kita memang tidak melihat pemikirannya TH Sumartana. Jadi kita memang tidak banyak melihat. Lalu juga melihat orang-orang yang tidak suka pada dialog, baik itu dalam lingkup Islam, lingkup Kristen, dan sebagainya. Melihat dialog ini tidak bermanfaat atau tidak penting. Nah itu perlu dilihat juga dan itu tidak kita lihat. Jadi kita memang sadar bahwa itu juga satu kelemahan tapi ya kita tidak bisa melakukan semuanya dalam satu buku. Jadi ya itu kritik yang diantaranya paling penting itu soal kelengkapan. (dca)