Dinamika Kasta di India: Antara Kreasi Kolonial dan Kearifan Kultural
Zulfikar RH Pohan – 16 September 2021
Meski mengundang kontroversi dan diskriminasi, masyarakat Hindu di India mempertahankan keberadaan kasta atas nama agama. Di sisi lain, konsep kasta yang nonegaliter tampak bertentangan dengan doktrin ajaran Hindu vasudaiva katumbhakam ‘seisi bumi adalah saudara’. Lalu dari mana muasal kepercayaan kasta yang hierarkis itu?
Dalam amatan Claude Meillassoux pada artikelnya Are there Castes in India? (1973), kasta tak lain merupakan penyederhanaan kasar yang bersumber dari tata kelola administrasi kolonial di India. Secara bahasa, kasta bukanlah kata yang berasal dari India atau istilah dari agama Hindu, melainkan dari bahasa Latin dan digunakan oleh orang-orang Portugis (Durrant, 2003 dan Pitt-Rivers, 1971). Meillassoux menganggap kasta tidak benar-benar berasal dari tatanan sosial di India. Istilah agama Hindu yang dekat dengan makna kasta adalah varṇa atau jati. Penggunaan kata kasta, jati, dan varṇa seringkali disamakan. Padahal, ketiganya merupakan konsep yang amat berbeda.
Meillassoux cenderung menggunakan istilah varṇa yang merujuk pada konsep perserikatan atau pembagian kerja dalam tradisi Hindu. Konsep varṇa tertulis dalam Yajurveda (XXX, 5) yang berbunyi, “Tuhan telah menciptakan brahmanaa untuk pengetahuan, kesatria untuk perlindungan, waisya untuk perdagangan, dan sudra untuk pekerjaan jasmani.”
Rigvida, manuskrip kuno Hindu, memakai istilah varṇa untuk menunjukkan dua kategori sosial pada masyarakat yang tersusun dari ariya (penakluk) dan dāsa (yang ditaklukkan). Kedua konsep ini kemudian berevolusi menjadi sistem yang membagi kekuasaan. Ariya mengacu pada kelompok penakluk yang terdiri atas dua golongan yaitu kesatria (pemilik kekuasaan politik) dan brahmana (otoritas wacana keagamaan). Sementara, dāsa merujuk pada mereka yang ditaklukan/diperintah oleh kalangan ariya. Mereka adalah masyarakat pekerja atau budak yang dikenal sebagai kelompok sudra. Di antara ariya dan dāsa terdapat kelompok kecil yang berprofesi sebagai pedagang yaitu kalangan waisya. Mereka adalah kalangan bangsawan dari rakyat biasa yang memiliki kemapanan ekonomi yang didapat dari borjuasi pertanian, perdagangan, dan pemberi pinjaman.
Keruntuhan Kerajaan Mughal yang diikuti dengan bangkitnya Pemerintah Kolonial Inggris membuat pemahaman sistem varṇa bergeser dan melahirkan konsep tentang kasta. Terdapat perbedaan yang jelas pada sistem varṇa dan kasta. Varṇa diyakini sebagai klasifikasi karakter, jenis pekerjaan, dan potensi masyarakat yang berbeda satu sama lain. Sedangkan kasta ialah klasifikasi berdasarkan kepentingan politik, ekonomi, dan administrasi kolonial. Varṇa tidak mengurangi esensi dari setiap manusia, sedangkan sistem kasta berorientasi pada penaklukan dan perbudakan turun-temurun.
Kasta dan Konsep Masyarakat Kelas
Beberapa indianis melihat kasta sebagai bukan persoalan kelas, salah satunya L. Dumont dalam Homo Hierarchicus: The Caste System and Its Implications (1970). Dengan menelisik konsep varṇa dalam tradisi Hindu, Dumont menganggap kasta berbeda dengan relasi kelas dominan dan kelas rendah pada masyarakat kelas umumnya. Dengan kata lain, kasta bukanlah sekadar stratifikasi sosial masyarakat, melainkan sebuah hierarki berbasis ketidaksetaraan yang memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat.
Akan tetapi, argumen Dumont tersebut patut dikritisi. Kasta tidak dapat dipisahkan dari kelas sosial, apalagi jika terkait kepemilikan tanah, relasi sosial, dan politik. Misalnya, ketika menjabarkan kasta, Dumont membaginya menjadi dua, yaitu mereka yang memiliki tanah dan kasta yang tidak memiliki tanah. Analisis Dumont berangkat dari fakta bahwa kasta dominanlah, yaitu brahmana, yang menguasai sebagian besar hak tanah di Karmipur, India. Alih-alih menyebut penguasaan lahan pertanian tersebut sebagai relasi eksploitasi, Dumont justru menyebutnya sebagai “relasi klien” yang berpijak pada struktur nilai di masyarakat. Jika dicermati, relasi klien yang dijelaskan oleh Dumont tak lain adalah lahan eksploitasi besar-besaran terhadap kerja kasta sudra dan dalit (masyarakat bawah yang tidak tergolong dalam empat kasta tersebut). Kerja dan dominasi ekonomi tersebut disokong oleh sistem kasta. Perbudakan dapat terjadi dari relasi ini. Kasta sudra dan dalit diperlakukan laiknya budak karena status yang mereka dapat sejak lahir.
Kepentingan kekuasaan kerap kali menjadi motif untuk mempertahankan asas-asas kasta yang hierarkis. Rosalind O’Hanlon dalam Caste, Conflict, and Ideology (1985) dan Melinassoux menggarisbawahi bahwa agama Hindu seringkali menjadi alat bagi kalangan brahmana untuk menunjang kepentingannya. Awalnya agama digunakan sebagai pengontrol massa demi kepentingan kaum aristokrat militer. Namun, sebagai pemegang otoritas keagamaan, kaum brahmana diam-diam memiliki ambisi militer. Pun sebaliknya, kesatria berambisi menjadi “filsuf” untuk bersaing dengan citra para brahmana.
Selain faktor otoritas internal, kasta juga dipengaruhi oleh otoritas eksternal berupa campur tangan Inggris. Susan Bayly dalam Caste, Society and Politics in India from the Eighteenth Century to the Modern Age (2008) melihat kasta berperan dalam dinamika gerakan ekonomi dan sosial di India pada masa kolonialisme Inggris. Kasta digunakan sebagai jalan bagi hegemoni politik, baik oleh kalangan Hindu maupun pemerintah kolonial, yang menyebabkan konflik horisontal antarpenganut Hindu. Konflik pun kemudian berkutat pada permasalahan kasta dan agama.
Kendati berpotensi konflik, kasta tidak serta-merta dihilangkan atau “direhabilitasi” di kalangan penganut agama Hindu. Bahkan, dalam wacana kebudayaan, kasta disambut dengan euforia sebagai bagian dari tradisi. Dukungan juga datang dari kaum intelektual yang menuliskan kasta sebagai kearifan lokal, sembari seringkali menutup mata pada konflik horizontal yang terus terjadi pada masyarakat Hindu jaman kiwari.
Kasta dan Upaya Perlawanan di Baliknya
Dua abad belakangan, wacana tentang kasta semakin menguat di India. Tradisi kasta kemudian menjadi isu terkait asas-asas kemanusiaan. Misalnya dalam kasus kasta dalit, golongan terendah dalam masyarakat Hindu dan tidak termasuk caturvarṇa, yang diperlakukan laiknya hewan. Padahal sebagian masyarakat yang tergolong dalam kasta tersebut memiliki pekerjaan yang sama dengan kasta lainnya.
Beragam upaya dilakukan, terutama oleh kalangan kasta yang dianggap rendah ini, untuk mewujudukan India yang setara tanpa sekat-sekat kasta. O’Hanlon juga mencatat adanya gerakan ideologi dan organisasi dari kasta sudra dan dalit di India bagian barat yang diorganisasi oleh Jatirao Govindrao Phule, reformis antikasta di India, pada akhir abad ke-19. Gerakan masyarakat akar rumput tersebut beriringan dengan gerakan nasionalisme India. Di awal abad ke-20, India punya tokoh sekelas Mahatma Gandhi yang turut serta dalam penolakan diskriminasi berdasar kasta. Gandhi mengharapkan India terbuka bagi setiap kasta dan agama sekaligus secara terang-terangan membela kasta dalit. Nahas, pada 1948 Gandhi dibunuh dengan tiga kali tembakan jarak dekat oleh Nathuram Godse, seorang nasionalis Hindu. Selain gerakan nasionalisme dari kalangan akar rumput, pemerintah India pun membuat regulasi kebijakan yang lebih sekuler. Sekularisme di India ini, seperti yang digaungkan oleh Jawaharlal Nehru, merupakan upaya untuk menciptakan tatanan kultural dan agama yang bebas konflik seperti konflik agama (Hindu-Islam) dan konflik kasta (Hindu-Hindu).
Namun, sekularisme ala Nehru ini kurang optimal jika berhadapan langsung dengan tradisi kasta di India. Pasalnya, kasta dianggap sebagai konsep organik yang integral dalam masyarakat. Di sisi lain, tradisi kasta digunakan sebagai benteng bagi institusi untuk mempertahankan hak istimewa yang menguntungkan kasta brahmana dan kesatria. Dengan kata lain, kasta menjadi bagian penting tidak hanya sebagai pengikat identitas golongan, tetapi juga untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politisasi isu agama.
Pada akhirnya, melalui Amandemen ke-42 Konstitusi India tahun 1976, kata “sekuler” ditambahkan ke dalam pembukaan konsitusi. Akan tetapi, sekularisme India ini tidak lantas memisahkan secara gamblang agama dan negara. Hampir dua dekade berselang, Contitution Act 1992 menegaskan perlindungan terhadap hak-hak minoritas dari Scheduled Caste ‘Kasta Dalit’ dan Scheduled Tribes ‘Suku lokal’ karena merekalah yang paling rentan dalam akses terhadap keadilan. Kasta dalit (dan sudra) menjadi prioritas dalam pemberian hak sekolah, ekonomi, maupun hak hidup. Aturan dan perlindungan terhadap kaum miskin dan rentan di India ini merupakan upaya untuk menyetarakan warga negara di mata hukum. Sebelumnya, akses keadilan amat sukar didapatkan oleh warga kelas bawah.
Hinduisme merupakan corak kultural utama di India dan kasta seolah melekat di dalamnya. Di samping memilki konsep egaliter, hinduisme—sebagaimana banyak ajaran agama atau kepercayaan lainnya di dunia—juga memiliki elemen ajaran nonhierarkis. Akan tetapi, tafsiran-tafsiran baru atas ajaran ini tumbuh dan berkembang seiring ketegangan sosial, krisis ekonomi, maupun hegemoni politik dari penganutnya. Tak terkecuali pemahaman akan kasta yang banyak dipengaruhi oleh kolonialisme.
_______________________
Zulfikar Riza Haris Pohan adalah Alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Zulfikar lainnya di sini.